• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Menelisik Peran dan Tujuan Oligarchy Finansial Dibalik Perang Rusia — Ukraina

By : Joni Sujarman

February 4, 2025
in Article
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Pengaruh geopolitik Rusia atas Eropa ditunjukkan dengan ketergantungan Eropa pada gas alamnya. Dengan kondisi seperti ini, jelas di satu sisi akan melindungi Rusia dari sanksi ekstrem dan serangan besar-besaran dari imperialisme AS-NATO. Di sisi yang lain, ini membuat AS akan berupaya dan mencoba merampas pengaruh geopolitik Rusia dengan mengekspor gas alam ke Eropa.

Sanksi ekstrim dan penyerangan langsung terhadap Rusia hanya dapat terjadi jika AS memiliki kerja sama penuh dengan negara-negara Eropa. Tetapi AS tidak dapat memiliki kerja sama penuh tersebut, selama Eropa bergantung pada gas alam Rusia untuk memenuhi berbagai hal penting. Baik memenuhi kebutuhan warganya, maupun pemenuhan kebutuhan industri.

Gas alam Rusia tidak hanya memberi Eropa listrik dan panas. Lebih dari itu, secara tidak langsung membantu kekuatan produktif di Eropa untuk menghasilkan barang-barang material bagi masyarakat Eropa. Selama ini tetap terjadi, maka negara-negara NATO di Eropa tidak dapat sepenuhnya membantu serangan AS terhadap Rusia.

Terus mau gimane? Selama lebih dari satu dekade, lembaga think tanks di AS, soal strategi kebijakan luar negeri, telah mendiskusikan dan menyusun berbagai cara untuk mengakhiri ketergantungan Eropa pada gas alam Rusia. Dan diskusi ini menjadi jauh lebih intensif sejak penggabungan Rusia atas Krimea pada tahun 2014.

Selama dalam masa penyusunan strategi ini, perusahaan minyak barat seperti Shell telah menguasai seni memproduksi Liquified Natural Gas (LNG). Sehingga Kartel Minyak Barat, yang selama ini dilayani oleh AS, dapat menggunakan modal baru mereka untuk mengekspor LNG ke Eropa.

Penting untuk kembali diingat, bahwa menurut teori Imperialisme Lenin kita hidup di tahap tertinggi dari kapitalisme. Yakni imperialisme, dimana kartel monopoli, yang dimiliki dan dikuasai oleh oligarki pemegang saham keuangan, mengekspor modal ke seluruh dunia semata-mata untuk mengumpulkan lebih banyak modal dari tenaga kerja kita.

Di bawah sistem imperialisme, kartel monopoli, yang dimiliki oleh pemegang saham swasta yang kuat, yang istilah Lenin disebut sebagai “Oligarchy Finansial”. Oligarchy Finansial ini lah yang mendominasi seluruh ekonomi global. Mereka melakukan akumulasi, kosentrasi, dan sentralisali begitu banyak modal, termasuk tenaga produktif dan sumber daya alam, di seluruh negara-negara di dunia.

Akumulasi modal, kosentrasi modal, dan sentralisali modal global ini memberikan kekuatan kepada oligarchy Finansial dan kartel-kartel monopolinya untuk mengekspor modal, termasuk modal utang. Sehingga negara-negara yang secara ekonomi subordinat, terutama negara-negara berkembang, mengakumulasi modal sebanyak mungkin.

Dalam persoalan ini, dapat dicermati, bahwa perusahaan minyak besar adalah kartel monopoli yang dimiliki oleh lembaga pemegang saham swasta seperti Black Rock, Vanguard, State Streets, Fidelity, JP Morgan, dan sebagainya, yang semuanya merupakan institusi oligarchy finansial.

Institusi oligarchy finansial yang memiliki perusahaan minyak serta bisnis kontraktor pertahanan (misalnya Raytheon, Lockheed, dan sebagainya) merupakan institusi yang mengendalikan pemerintah AS. Termasuk semua lembaga negara, seperti: Kongres, Mahkamah Agung, dan Cabang Eksekutif.

Guna mengatasi penurunan tingkat keuntungan, maka oligarchy finansial ini perlu menghasilkan keuntungan sebanyak mungkin. Salah satu cara yang dapat mereka lakukan adalah dengan merebut pasar gas Eropa dari Rusia. Sekaligus dengan membuat Eropa bergantung pada gas mereka dibandingkan dengan gas Rusia.

Oligarchy finansial dari perusahaan minyak sendiri telah berhasil menyempurnakan proses pembuatan LNG. Sehingga mereka dapat mengekspor LNG ke Eropa guna mengurangi ketergantungannya pada gas alam Rusia. Dengan demikian, ini secara substansial menghilangkan pengaruh Rusia dan serta merta juga meningkatkan keuntungan finansial mereka.

Ketika oligarchy finansial berhasil mencabut pengaruh geopolitik Rusia dari Eropa, maka imperialis AS lah yang menggantikan dan dibutuhkan untuk melindungi Eropa. Dengan demikian oligarchy finansial selangkah lebih dekat untuk menggulingkan Putin. Ketika kekuasaan Putin berhasil didongkel, maka mereka dapat menggantikannya dengan komprador boneka seperti Gorbachev atau Yeltsin dengan type baru atau versi terbaru, yang akan lebih baik melayani kepentingan mereka.

Ekonomi Rusia memiliki sektor publik yang cukup besar, sehingga banyak orang di Rusia bergantung pada stabilitas ekonomi dan sosial. Hal ini tentunya sangatlah menggiurkan bagi oligarchy finansial dunia. Mereka dapat memaksimalkan akumulasi modal, kosentrasi modal, dan sentralisali modal dengan melakukan privatisasi sektor publik dalam perekonomian di masing-masing negara bagian Rusia.

Privatisasi bagi oligarchy finansial, tak lebih dari sekedar menyingkirkan rakyat dari sumber mata pencaharian utama mereka. Tujuan akhir akhir di sini, untuk menjarah ekonomi Rusia sekali lagi. Caranya? Melakukan privatisasi besar-besaran demi memaksimal kan akumulasi modal, kosentrasi modal, dan sentralisali modal dengan tingkat percepatan yang tinggi.

Ekspor LNG AS ke Eropa jangan dimaknai hanya sekedar menghilangkan pengaruh geopolitik Rusia, dan secara ekonomi menempatkan Eropa di bawah imperialis AS. Lebih dari itu, ini akan memberi imperialis AS kendali penuh atas negara-negara NATO untuk tujuan imperialisnya sendiri. Yakni kepentingan oligarchy finansial. Jadi kepentingan AS dalam rangka penguasaan hegemoni dan dominasi ekspor LNG ke Eropa ini tidak dapat dilebih-lebihkan demi atas nama kepentingan demokrasi, hak asasi manusia dan lainnya.

Oligarchy finansial yang sama, yang memiliki perusahaan minyak, juga merupakan pemilik dari suatu kompleks industri militer. Mereka memiliki Raytheon, Lockheed, Boeing, dan lainnya. Jadi, mereka secara serta merta menggunakan perang ini juga untuk meningkatkan penjualan senjata dan teknologi militer, tidak hanya ke Ukraina, tetapi juga negara-negara NATO.

Ketika negara-negara NATO menjadi tergantung secara ekonomi, senjata dan teknologi militer yang diproduksi oleh Raytheon, Lockheed, General Dynamics, Northrop Grumman, dan lainnya, maka otomatis ini menghasilkan keuntungan besar bagi oligarchy finansial, serta meningkatkan hubungan antara negara-negara NATO dan AS.

Berkaca pada kebijakan Glasnot dan Perestroika yang diterapkan oleh Gorbachev, yang dijuluki sebagai The Pizza Man, sebagai tangan kanan Imperialis AS, oligarchy finansial pernah besar-besaran merampok kekayaan Uni Soviet, yang mengakibatkan Uni Soviet collapse dan akhirnya bubar. Maka, perang di Ukraina ini tak lebih dari “Glasnot dan Perestroika” type baru. Dengan artian, benar-benar merupakan peluang sangat besar bagi oligarchy finansial dan instrumen utama mereka, Imperialis AS, guna memajukan dominasi ekonomi dan politik mereka atas Eropa. Tegasnya untuk memajukan tujuan mereka melakukan perampokan secara besar-besaran. Atau dengan bahasa yang lebih sopan melakukan akumulasi modal, kosentrasi modal, dan sentralisali modal sebanyak mungkin dengan percepatan maksimal
▪️JS

Next Post

Pengelolaan Laut Afrika Selatan Dalam Memperkuat Kepentingan Nasional dan Pengaruh Internasional

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Unpacking the ASEAN-Canada Free Trade Agreement (ACAFTA): Risk and Threats of Investor Lawsuit to State for People, Environment, and Democracy

ASEAN and Canada are currently negotiating ASEAN - Canada Free Trade Agreement (ACAFTA). This agreement is central for Canada to respond the current geopolitical situation, particularly in relation to competition for securing access to critical minerals.

One of key concerns of CSOs and Communities is the inclusion of the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) mechanism which has repeatedly been used by multinational corporations to sue governments over public interest policies including the ones aimed at protecting the environment, indigenous rights, and public health.

In light of this concern, there is a pressing need to raise awareness and build capacity among civil society organizations and grassroots communities across ASEAN and Canada to critically discuss and examine the ACAFTA process and content.

Indonesia CSO Coalition for Economic Justice, Focus on the Global South, FTA Watch Thailand, Third World Network, AFTINET, Transnational Institute, and Canadian Centre for Policy Alternatives are hosting the webinar on:

Date: Thursday, 30 October 2025
Time: 19:00-21:00 Jakarta/Bangkok | 20:00-22:00 Malaysia/Manila | 08:00-10:00 Ottawa

Please register via bit.ly/AseanCanadaWebinar. Interpretation will be available in Indonesian and Thai.
  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute