Pemerintah Telah membentuk Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga baru setingkat menteri ini bertugas merencanakan, menyelenggarakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi investasi. Lembaga pengelola investasi strategis di luar APBN ini merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia untuk mendorong peningkatan investasi di dalam negeri dilakukan dalam skema superholding dari beberapa BUMN dan penyerapan dananya dimulai dari dana negara dan diikuti secara terbuka bagi dana investasi lainnya. Penetapannya dilakukan melalui Keppres 142/P Tahun 2024 tentang Pengangkatan Kepala dan Wakil Kepala Badan Pengelola Investigasi Daya Anagata Nusantara.
Danantara memiliki kewenangan menempatkan dana pada instrumen keuangan, menjalankan kegiatan pengelolaan aset, melakukan kerjasama, membentuk calon mitra investasi, memberi/menerima pinjaman dan menatausahakan aset. Modal negara akan diambil dari berbagai aset negara di K/L, saham BUMN seperti PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Telkom Indonesia Tbk (Persero), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan MIND ID. Akumulasi aset BUMN dalam pemberitaan publik tercatat Rp.8.886 T sekitar 80% dari semua aset BUMN.
“Negara menggunakan Danantara untuk dapat memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikan ke aset-aset yang luas” seperti disebutkan dalam aturan perundang-undangan SWF. Tugas Danantara diharapkan mendorong investasi di beberapa proyek penting pemerintah, terutama untuk hilirisasi di beberapa komoditi yang kerap dipromosikan oleh BKPM. Pengelolaan Danantara diharapkan dapat membuat APBN menjadi semakin longgar dengan adanya fasilitas investasi melalui badan ini. Pertumbuhan ekonomi dorong salah satunya dengan meningkatkan kapasitas investasi di dalam negeri, yang juga untuk penciptaan rantai produksi penting komoditi-komoditi domestik. Danantara mengisi kekurangan pembiayaan yang selama ini terjadi sehingga diharapkan akan efektif menyelenggarakan proyek hilirisasi.
Badan baru ini mendesak adanya revisi UU 19/2003 tentang BUMN, agar bisa memberi peluang pengembangan aset modal negara melalui investasi. Praktik ini akan semakin menegaskan pemisahan keuangan negara dengan keuangan entitas perusahaan. Keuangan negara dan investasi akan disalurkan melalui lembaga penyangga ini dan investasi masyarakat atau asing tidak menjadi investasi langsung kepada BUMN maupun melalui skema lain yaitu utang negara. Selama ini praktik perluasan investasi publik terhadap BUMN telah dilakukan melalui penjualan saham pada 27 BUMN. Mekanisme ini harapannya akan mempermudah atau memperlancar masuknya aliran dana kepada BUMN. Pelepasan kepemilikan negara pada BUMN ini oleh pemerintah dimaksudkan agar publik dapat memiliki sebagian saham BUMN. Tetapi keterbukaan ini tidak tertutup hanya pada masyarakat, melainkan juga pada entitas private lainnya. Hal memperlihatkan sinyalemen model baru privatisasi pada BUMN.
Pembiayaan kepada beberapa BUMN melalui mekanisme ini menyisakan pertanyaan terkait persoalan-persoalan yang dilakukan oleh beberapa BUMN seperti Waskita dan WIKA. Keduanya bermasalah ketika menggunakan dana SWF sebelumnya hingga menjadi terperiksa akibat temuan manipulasi laporan keuangan badan usaha. Kondisi terperiksa ini disinyalir tidak menghambat atau menghentikan, setidaknya untuk beberapa waktu, dalam mendapatkan pembiayaan melalui SWF yang lain. Hal ini setidaknya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga SWF ini.
Danantara sebagai pengelola SWF terlihat seperti meniru model Temasek-Singapura, Khazanah-malaysia dan Norges Bank Investment Manajemen-Norwegia. Adanya lembaga serupa menimbulkan kekuatiran akan adanya tumpang tindih fungsi kelembagaan dan berdampak pada inefisiensi atau dampak lain yang bisa lebih besar. Setidaknya terdapat dua lembaga serupa yaitu Sarana Multi Infrastruktur (PT.SMI) dikelola Kementerian Keuangan melalui aturan Peraturan Menteri Keuangan No.52/PMK.01/2007 tentang pembentukan PIP dan Lembaga Pengelola investasi lama Indonesia Investment Authority (INA) juga dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.74/2020 tentang Lembaga pengelolaan investasi oleh pemerintah pusat. Hingga saat ini kedua lembaga tersebut juga tidak cukup terbuka kepada publik. Pembentukan lembaga baru Danantara menimbulkan pertanyaan, utamanya meliputi kedudukan badan yang setara menteri tetapi juga mengelola sebagian BUMN semenntara belum terlihat adanya aturan atau regulasi yang tegas soal hal ini.
Badan Danantara ini memiliki kelemahan untuk mencapai target idealnya, karena belum terlihat adanya perubahan terkait isu transparansi. Badan Danantara tidak dijelaskan secara lengkap, sementara lembaga INA masih efektif berjalan membiayai investasi infrastruktur di Indonesia sementara pengelolaan modalnya juga berasal dari BUMN yang sama. Sebanyak dan sedalam apa perubahan aturan dan perundangan yang akan dilakukan agar tidak menjadi tumpang tindih dengan lembaga lainnya masih menjadi pertanyaan yang ditunggu kepastiannya. Satu bulan setelah pembentukan Danantara masih juga terlihat belum berjalan akibat aturan pelaksana yang tidak tersedia sehingga peluncuran pada 8 November 2024 berakhir dengan ditunda.
Sebagai badan baru, Danantara terlihat akan mengalami banyak tantangan di tengah tingginya harapan pemerintah untuk dapat mencapai pemenuhan pembiayaan proyek nasional. Jika entitas pengelola investasi pemerintah ini dibentuk secara tergopoh-gopoh maka memungkinkan akan terjadi kegagalan baik teknis dan substansial pada pembiayaan proyek strategis nasional. Pertumbuhan 8% yang hendak dilakukan dengan hilirisasi, akan terancam masalah loyonya dukungan pembiayaan dan kedepannya berpotensi merugikan negara akibat kegagalan badan pembiayaan super ini. ed. og
Penulis: Muslim Silaen
Discussion about this post