• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Ancaman Jurus Prabowo-Gibran Membiayai Pembangunan Melalui Danantara

January 16, 2025
in Article, Collective Idea
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Pemerintah Telah membentuk Daya Anagata Nusantara (Danantara), lembaga baru setingkat menteri ini bertugas merencanakan, menyelenggarakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi investasi. Lembaga pengelola investasi strategis di luar APBN ini merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia untuk mendorong peningkatan investasi di dalam negeri dilakukan dalam skema superholding dari beberapa BUMN dan penyerapan dananya dimulai dari dana negara dan diikuti secara terbuka bagi dana investasi lainnya. Penetapannya dilakukan melalui Keppres 142/P Tahun 2024 tentang Pengangkatan Kepala dan Wakil Kepala Badan Pengelola Investigasi Daya Anagata Nusantara.

Danantara memiliki kewenangan menempatkan dana pada instrumen keuangan, menjalankan kegiatan pengelolaan aset, melakukan kerjasama, membentuk calon mitra investasi, memberi/menerima pinjaman dan menatausahakan aset. Modal negara akan diambil dari berbagai aset negara di K/L, saham BUMN seperti PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Telkom Indonesia Tbk (Persero), Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan MIND ID. Akumulasi aset BUMN dalam pemberitaan publik tercatat Rp.8.886 T sekitar 80% dari semua aset BUMN. 

“Negara menggunakan Danantara untuk dapat memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikan ke aset-aset yang luas” seperti disebutkan dalam aturan perundang-undangan SWF. Tugas Danantara diharapkan mendorong investasi di beberapa proyek penting pemerintah, terutama untuk hilirisasi di beberapa komoditi yang kerap dipromosikan oleh BKPM. Pengelolaan Danantara diharapkan dapat membuat APBN menjadi semakin longgar dengan adanya fasilitas investasi melalui badan ini. Pertumbuhan ekonomi dorong salah satunya dengan meningkatkan kapasitas investasi di dalam negeri, yang juga untuk penciptaan rantai produksi penting komoditi-komoditi domestik. Danantara mengisi kekurangan pembiayaan yang selama ini terjadi sehingga diharapkan akan efektif menyelenggarakan proyek hilirisasi.

Badan baru ini mendesak adanya revisi UU 19/2003 tentang BUMN, agar bisa memberi peluang  pengembangan aset modal negara melalui investasi. Praktik ini akan semakin menegaskan pemisahan keuangan negara dengan keuangan entitas perusahaan. Keuangan negara dan investasi akan disalurkan melalui lembaga penyangga ini dan investasi masyarakat atau asing tidak menjadi investasi langsung kepada BUMN maupun melalui skema lain yaitu utang negara. Selama ini praktik perluasan investasi publik terhadap BUMN telah dilakukan melalui penjualan saham pada 27 BUMN. Mekanisme ini harapannya akan mempermudah atau memperlancar masuknya aliran dana kepada BUMN.  Pelepasan kepemilikan negara pada BUMN ini oleh pemerintah dimaksudkan agar publik dapat memiliki sebagian saham BUMN. Tetapi keterbukaan ini tidak tertutup hanya pada masyarakat, melainkan juga pada entitas private lainnya. Hal memperlihatkan sinyalemen model baru privatisasi pada BUMN.

Pembiayaan kepada beberapa BUMN melalui mekanisme ini menyisakan pertanyaan terkait persoalan-persoalan yang dilakukan oleh beberapa BUMN seperti Waskita dan WIKA. Keduanya bermasalah ketika menggunakan dana SWF sebelumnya hingga menjadi terperiksa akibat temuan manipulasi laporan keuangan badan usaha. Kondisi terperiksa ini disinyalir tidak menghambat atau menghentikan, setidaknya untuk beberapa waktu, dalam mendapatkan pembiayaan melalui SWF yang lain. Hal ini setidaknya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga SWF ini.

Danantara sebagai pengelola SWF terlihat seperti meniru model Temasek-Singapura, Khazanah-malaysia dan Norges Bank Investment Manajemen-Norwegia. Adanya lembaga serupa menimbulkan kekuatiran akan adanya tumpang tindih fungsi kelembagaan dan berdampak pada inefisiensi atau dampak lain yang bisa lebih besar. Setidaknya terdapat dua lembaga serupa yaitu Sarana Multi Infrastruktur (PT.SMI) dikelola Kementerian Keuangan melalui aturan Peraturan Menteri Keuangan No.52/PMK.01/2007 tentang pembentukan PIP dan Lembaga Pengelola investasi lama Indonesia Investment Authority (INA) juga dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No.74/2020 tentang Lembaga pengelolaan investasi oleh pemerintah pusat. Hingga saat ini kedua lembaga tersebut juga tidak cukup terbuka kepada publik. Pembentukan lembaga baru Danantara menimbulkan pertanyaan, utamanya meliputi kedudukan badan yang setara menteri tetapi juga mengelola sebagian BUMN semenntara belum terlihat adanya aturan atau regulasi yang tegas soal hal ini.

Badan Danantara ini memiliki kelemahan untuk mencapai target idealnya, karena  belum terlihat adanya perubahan terkait isu transparansi. Badan Danantara tidak dijelaskan secara lengkap, sementara lembaga INA masih efektif berjalan membiayai investasi infrastruktur di Indonesia sementara pengelolaan modalnya juga berasal dari BUMN yang sama. Sebanyak dan sedalam apa perubahan aturan dan perundangan yang akan dilakukan agar tidak menjadi tumpang tindih dengan lembaga lainnya masih menjadi pertanyaan yang ditunggu kepastiannya. Satu bulan setelah pembentukan Danantara masih juga terlihat belum berjalan akibat aturan pelaksana yang tidak tersedia sehingga peluncuran pada 8 November 2024 berakhir dengan ditunda.

Sebagai badan baru, Danantara terlihat akan mengalami banyak tantangan di tengah tingginya harapan pemerintah untuk dapat mencapai pemenuhan pembiayaan proyek nasional. Jika entitas pengelola investasi pemerintah ini dibentuk secara tergopoh-gopoh maka memungkinkan akan terjadi kegagalan baik teknis dan substansial pada pembiayaan proyek strategis nasional. Pertumbuhan 8% yang hendak dilakukan dengan hilirisasi, akan terancam masalah loyonya dukungan pembiayaan dan kedepannya berpotensi merugikan negara akibat kegagalan badan pembiayaan super ini. ed. og

Penulis: Muslim Silaen

Previous Post

Somasi Terbuka kepada Pemerintah atas Masalah Uang Kuliah Mahal

Next Post

Judi Online: Konsekuensi Digital dan Kebebasan Aliran Data Lintas Negara

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute