Perjudian di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sejak jaman kerajaan, praktik perjudian seperti sabung ayam dan jenis taruhan lainnya telah menjadi bagian dari tradisi lokal. Praktik perjudian menjadi lebih terorganisir dan dilegalkan pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana otoritas kolonial memanfaatkan aktivitas judi sebagai salah satu sumber pendapatan melalui pajak. Rumah-rumah judi banyak didirikan khususnya di daerah Batavia, judi dadu dan kartu pun mulai diperkenalkan seiring para penjajah datang membawa kebiasaan judi mereka.
Setelahnya, pada era pasca kemerdekaan, perjudian semakin berkembang bahkan sebagian bentuk perjudian dilegalkan oleh pemerintah masa itu. Pada awal 1960-an, salah satu bentuk perjudian yang diizinkan adalah Hwa-Hwee, yang merupakan permainan undian yang dikelola oleh pemerintah daerah. Ada pula Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas) serta Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang awalnya ditujukan menggalang dana sosial, namun juga dianggap sebagai perjudian terselubung. Legalisasi perjudian tersebut mendapat protes maupun kecaman dari masyarakat dan fatwa MUI yang mengharamkan perjudian, sehingga pada 1993 pemerintah Indonesia mencabut legalisasi perjudian sekaligus menandai berakhirnya era perjudian yang diizinkan secara resmi oleh pemerintah.
Meskipun demikian, aktivitas perjudian di Indonesia tidak berhenti begitu saja, namun tetap saja berlangsung kendati secara ilegal. Hingga pada era digital saat ini, perjudian telah bertransformasi berbasis online dengan kompleksitas sistem yang dimiliki oleh fasilitas digital dan internet. Tidak surutnya perjudian ini terlihat sejalannya dengan tidak menurunnya minat masyarakat terhadap judi. Tradisi masyarakat, situasi ekonomi dan situasi sosial lainnya terlihat masih sulit dibendung oleh sangsi hukum yang keras, nilai religiusitas yang selama ini terlihat menjadi pilar pertahanan utama. Internet dan fasilitas digital yang bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, akhirnya menjadi sarana yang sangat efektif.
Menurut tempo.co, titik awal perkembangan judi online di Indonesia turut dipengaruhi situasi global, dimana Antigua dan Barbuda mengesahkan undang-undang yang memungkinkan lisensi untuk casino online pada tahun 1994. Sementara itu, situs judi online pertama di Indonesia mulai muncul pada awal 2000-an, dalam bentuk permainan seperti poker dan taruhan olahraga melalui internet. Saat itu regulasi terhadap judi online sangat lemah, sehingga banyak situs beroperasi tanpa pengawasan yang ketat.
Situs-situs judi online berkembang biak sedemikian rupa dan secara agresif muncul dalam bentuk iklan di berbagai platform media sosial. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan jumlah pemain dan volume taruhan naik secara signifikan. Terdapat sekitar 8,8 juta pengguna judi online di Indonesia pada tahun 2024, seperti dilansir Antaranews, dengan mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sementara itu, hingga awal November 2024, nilai transaksi judi online di Indonesia telah mencapai Rp 283 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 menyebutkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya mencapai 49,6%, dengan angka literasi digital yang tergolong rendah, yakni 41,48%. Kedua hal ini diyakini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat tidak menyadari risiko finansial dan ancaman pribadi yang ditimbulkan. Sebagian besar pecandu judi online tidak memiliki kontrol atas risiko tersebut, sehingga praktik perjudian online membawa masalah finansial dan kecanduan psikologis yang merusak.
Pemerintah sepertinya tidak tinggal diam, pada Juni 2024, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Judi Online melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024, yang bertujuan untuk mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap perjudian daring. Kemudian sejak 2023 hingga saat ini, pemerintah secara intensif memblokir akses ke situs-situs judi online dengan melibatkan penyelenggara platform digital dan operator seluler. Bahkan dalam kurun 20 Oktober hingga 18 November 2024, pemerintah melalui Kemkomdigi menyebutkan telah memblokir sebanyak 315.425 konten judi online, dengan rincian terbanyak berasal dari situs web dan IP address.
Persoalan tersebut tidaklah mudah seperti yang dilaporkan. Penghapusan alamat web tersebut tidak lantas menghentikan akses terhadap website. Nama website dan alamat website merupakan dua hal tidak sama dan melekat. Keduanya dihubungkan dalam sebuah sistem yang diatur secara global di luar yuridiksi Indonesia. Keduanya, khususnya, terkait nama website yang seringkali diblokir, masih bisa diatasi dengan penamaan ‘beda’ atau ‘baru’ dan hal tersebut tersedia dengan murah dan relatif mudah. Selain itu, akses juga masih bisa dilakukan dengan menggunakan sistem ‘private’ yang tersedia dalam sistem internet global. Melihat hal ini, maka upaya pemblokiran sesungguhnya masih merupakan upaya mempersulit ketimbang memutus akses.
Namun upaya pemerintah tersebut tidak cukup optimal. Ada beberapa hal yang membuat aktifitas judi online sulit dihentikan,
Pertama, Pengelolaan situs judi online bisa dilakukan oleh entitas bisnis yang berasal dari negara-negara yang memberlakukan judi sebagai aktivitas legal.Akibatnya menyulitkan otoritas hukum untuk menangani masalah ini secara menyeluruh. Situs-situs ini sering beroperasi dari negara dengan regulasi perjudian yang lebih longgar di negara-negara ASEAN yang berdekatan seperti Filipina, Kamboja, dan Vietnam. Legalitas ini kemudian berhadapan dengan akses yang sangat terbuka bagi siapa saja.
Kedua, Platform judi online sering kali beroperasi di luar yurisdiksi hukum Indonesia, menggunakan server yang terletak di negara lain, sehingga membuat regulasi pemberantasan judi online menjadi kurang efektif. Para pelaku bisnis judi online memanfaatkan celah arus data lintas batas negara (cross-border data flow/CBDF) yang saat ini masih longgar dan leluasa dalam penggunaan data lintas negara.. Akibatnya, para pelaku bisnis judi online lebih leluasa memanfaatkan data pribadi dari para penggunanya, untuk menggencarkan promosi aktivitas illegal ini. Judi online adalah salah satu dampak dari CBDF diantara aktivitas lainnya.
Ketiga, aktivitas perjudian dengan nominal transaksi yang sedemikian fantastis, semestinya bisa memudahkan aparat penegak hukum melacak identitas maupun keberadaan pelaku bisnis judi online tersebut, tapi praktik di lapangan tidak mudah. Para bandar judi online menggunakan berbagai metode untuk mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari aktivitas ilegal. Penggunaan rekening yang terdaftar atas nama individu, transaksi online fiktif, penggunaan money changer dan sebagainya adalah bentuk-bentuk yang telah diketahui melalui media massa. Belum lagi terkait payment gateway hingga proses money laundry yang sesungguhnya berpeluang untuk dibuka.
Pemerintah Indonesia memang telah berupaya memberantas judi online melalui regulasi pemberantasan judi online disertai dengan penindakan hukum. Namun, efektivitas langkah ini kerap dicederai oleh ulah oknum penegak hukum maupun pejabat terkait, yang justru diduga melindungi praktik judi online ini. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang integritas sistem hukum dan komitmen negara dalam mengatasi masalah perjudian. Persoalannya menjadi lebih kompleks bila ini dikaitkan dengan biaya politik dan kekuasaan yang dilibatkan ke dalamnya. Meski demikian, kita masih menunggu gebrakan konkrit dari pemerintahan baru untuk memberantas praktik judi online secara menyeluruh. Akankah praktik judi musnah, atau justru subur menjamur? Kita tunggu saja.ed.og
Penulis: Nunu Pradya Lestari