• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Judi Online: Konsekuensi Digital dan Kebebasan Aliran Data Lintas Negara

January 16, 2025
in Article, Collective Idea
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Perjudian di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sejak jaman kerajaan, praktik perjudian seperti sabung ayam dan jenis taruhan lainnya telah menjadi bagian dari tradisi lokal. Praktik perjudian menjadi lebih terorganisir dan dilegalkan pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana otoritas kolonial memanfaatkan aktivitas judi sebagai salah satu sumber pendapatan melalui pajak. Rumah-rumah judi banyak didirikan khususnya di daerah Batavia, judi dadu dan kartu pun mulai diperkenalkan seiring para penjajah datang membawa kebiasaan judi mereka. 

Setelahnya, pada era pasca kemerdekaan, perjudian semakin berkembang bahkan sebagian bentuk perjudian dilegalkan oleh pemerintah masa itu. Pada awal 1960-an, salah satu bentuk perjudian yang diizinkan adalah Hwa-Hwee, yang merupakan permainan undian yang dikelola oleh pemerintah daerah. Ada pula Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas) serta Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang awalnya ditujukan menggalang dana sosial, namun juga dianggap sebagai perjudian terselubung. Legalisasi perjudian tersebut mendapat protes maupun kecaman dari masyarakat dan fatwa MUI yang mengharamkan perjudian, sehingga pada 1993 pemerintah Indonesia mencabut legalisasi perjudian sekaligus menandai berakhirnya era perjudian yang diizinkan secara resmi oleh pemerintah.

Meskipun demikian, aktivitas perjudian di Indonesia tidak berhenti begitu saja, namun tetap saja berlangsung kendati secara ilegal. Hingga pada era digital saat ini, perjudian telah bertransformasi berbasis online dengan kompleksitas sistem yang dimiliki oleh fasilitas digital dan internet. Tidak surutnya perjudian ini terlihat sejalannya dengan tidak menurunnya minat masyarakat terhadap judi. Tradisi masyarakat, situasi ekonomi dan situasi sosial lainnya terlihat masih sulit dibendung oleh sangsi hukum yang keras, nilai religiusitas yang selama ini terlihat menjadi pilar pertahanan utama. Internet dan fasilitas digital yang bisa diakses seluruh lapisan masyarakat, akhirnya menjadi sarana yang sangat efektif.

Menurut tempo.co, titik awal perkembangan judi online di Indonesia turut dipengaruhi situasi global, dimana Antigua dan Barbuda mengesahkan undang-undang yang memungkinkan lisensi untuk casino online pada tahun 1994. Sementara itu, situs judi online pertama di Indonesia mulai muncul pada awal 2000-an, dalam bentuk permainan seperti poker dan taruhan olahraga melalui internet. Saat itu regulasi terhadap judi online sangat lemah, sehingga banyak situs beroperasi tanpa pengawasan yang ketat.

Situs-situs judi online berkembang biak sedemikian rupa dan secara agresif muncul dalam bentuk iklan di berbagai platform media sosial. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan jumlah pemain dan volume taruhan naik secara signifikan. Terdapat sekitar 8,8 juta pengguna judi online di Indonesia pada tahun 2024, seperti dilansir Antaranews, dengan mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sementara itu, hingga awal November 2024, nilai transaksi judi online di Indonesia telah mencapai Rp 283 triliun.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 menyebutkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya mencapai 49,6%, dengan angka literasi digital yang tergolong rendah, yakni 41,48%. Kedua hal ini diyakini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat tidak menyadari risiko finansial dan ancaman pribadi yang ditimbulkan. Sebagian besar pecandu judi online tidak memiliki kontrol atas risiko tersebut, sehingga praktik perjudian online membawa masalah finansial dan kecanduan psikologis yang merusak.

Pemerintah sepertinya tidak tinggal diam, pada Juni 2024, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Judi Online melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024, yang bertujuan untuk mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap perjudian daring. Kemudian sejak 2023 hingga saat ini, pemerintah secara intensif memblokir akses ke situs-situs judi online dengan melibatkan penyelenggara platform digital dan operator seluler. Bahkan dalam kurun 20 Oktober hingga 18 November 2024, pemerintah melalui Kemkomdigi menyebutkan telah memblokir sebanyak 315.425 konten judi online, dengan rincian terbanyak berasal dari situs web dan IP address.

Persoalan tersebut tidaklah mudah seperti yang dilaporkan. Penghapusan alamat web tersebut tidak lantas menghentikan akses terhadap website. Nama website dan alamat website merupakan dua hal tidak sama dan melekat. Keduanya dihubungkan dalam sebuah sistem yang diatur secara global  di luar yuridiksi Indonesia. Keduanya, khususnya, terkait nama website yang seringkali diblokir, masih bisa diatasi dengan penamaan ‘beda’ atau ‘baru’ dan hal tersebut tersedia dengan murah dan relatif mudah. Selain itu, akses juga masih bisa dilakukan dengan menggunakan sistem ‘private’ yang tersedia dalam sistem internet global. Melihat hal ini, maka upaya pemblokiran sesungguhnya masih merupakan upaya mempersulit ketimbang memutus akses.

Namun upaya pemerintah tersebut tidak cukup optimal. Ada beberapa hal yang membuat aktifitas judi online sulit dihentikan, 

Pertama, Pengelolaan situs judi online bisa dilakukan oleh entitas bisnis yang berasal dari negara-negara yang memberlakukan judi sebagai aktivitas legal.Akibatnya menyulitkan otoritas hukum untuk menangani masalah ini secara menyeluruh. Situs-situs ini sering beroperasi dari negara dengan regulasi perjudian yang lebih longgar di negara-negara ASEAN yang berdekatan seperti Filipina, Kamboja, dan Vietnam. Legalitas ini kemudian berhadapan dengan akses yang sangat terbuka bagi siapa saja.

Kedua, Platform judi online sering kali beroperasi di luar yurisdiksi hukum Indonesia, menggunakan server yang terletak di negara lain, sehingga membuat regulasi pemberantasan judi online menjadi kurang efektif. Para pelaku bisnis judi online memanfaatkan celah arus data lintas batas negara (cross-border data flow/CBDF) yang saat ini masih longgar dan leluasa dalam penggunaan data lintas negara.. Akibatnya, para pelaku bisnis judi online lebih leluasa memanfaatkan data pribadi dari para penggunanya, untuk menggencarkan promosi aktivitas illegal ini. Judi online adalah salah satu dampak dari CBDF diantara aktivitas lainnya.

Ketiga, aktivitas perjudian dengan nominal transaksi yang sedemikian fantastis, semestinya bisa memudahkan aparat penegak hukum melacak identitas maupun keberadaan pelaku bisnis judi online tersebut, tapi praktik di lapangan tidak mudah. Para bandar judi online menggunakan berbagai metode untuk mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari aktivitas ilegal. Penggunaan rekening yang terdaftar atas nama individu, transaksi online fiktif, penggunaan money changer dan sebagainya adalah bentuk-bentuk yang telah diketahui melalui media massa. Belum lagi terkait payment gateway hingga proses money laundry yang sesungguhnya berpeluang untuk dibuka.

Pemerintah Indonesia memang telah berupaya memberantas judi online melalui regulasi pemberantasan judi online disertai dengan penindakan hukum. Namun, efektivitas langkah ini kerap dicederai oleh ulah oknum penegak hukum maupun pejabat terkait, yang justru diduga melindungi praktik judi online ini. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang integritas sistem hukum dan komitmen negara dalam mengatasi masalah perjudian. Persoalannya menjadi lebih kompleks bila ini dikaitkan dengan biaya politik dan kekuasaan yang dilibatkan ke dalamnya. Meski demikian, kita masih menunggu gebrakan konkrit dari pemerintahan baru untuk memberantas praktik judi online secara menyeluruh. Akankah praktik judi musnah, atau justru subur menjamur? Kita tunggu saja.ed.og

Penulis: Nunu Pradya Lestari

 

Previous Post

Ancaman Jurus Prabowo-Gibran Membiayai Pembangunan Melalui Danantara

Next Post

Kebijakan Pengupahan Yang Adil Bagi Buruh

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute