• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Kebijakan Pengupahan Yang Adil Bagi Buruh

SERIAL MONITORING

January 16, 2025
in Article, Collective Idea
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Polemik hampir pasti terjadi setiap tahun menjelang penetapan kenaikan upah minimum, selain diiringi aksi-aksi serikat buruh, ancaman mogok nasional pun kerap menjadi ancaman atas syarat pemenuhan upah minimum kerja. Setiap tahun begitu intens dan keras, sebuah upaya yang terlihat tanpa nilai tawar. situasi ini selain menjadi perhatian bagi sebagian pekerja, juga bagi bagi pegusaha dan politisi dengan berbagai kepentingannya.

Setelah Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterbitkan, institusi perumus upah minimum telah berganti dari dewan penelitian pengupahan nasional/daerah menjadi dewan pengupahan nasional, dewan pengupahan kabupaten, dan dewan pengupahan kota. Komposisi unsur pemerintah, serikat pekerja/buruh, dan pengusaha menjadi imbang. Fungsi survei harga yang dulu hanya dilakukan oleh unsur pemerintah berubah menjadi melibatkan semua unsur di dewan pengupahan.

Perubahan juga terjadi pada jumlah dan nama komponen, dari 43 kebutuhan hidup minimum (KHM) menjadi 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Variabel ini kemudian berubah lagi menjadi 60 komponen pada 2013.  Perubahan kebijakan terjadi lagi pada tahun 2015 ketika pemerintah mengeluarkan PP No. 78/2015, formula yang dipakai untuk kenaikan upah hanyalah berdasarkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dan nilai inflasi, tidak lagi memakai survey KHL yang dilakukan pada tahun itu. Sejak saat itu peran dewan pengupahan ditiadakan. Perubahan berlanjut dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan lalu diperbarui melalui Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Dan terakhir adalah PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan yang merupakan revisi PP No 36/2021. Pada perubahan terakhir formula yang menjadi landasan kenaikan upah hanya berdasarkan tingkat kenaikan inflasi.

Berbagai perubahan peraturan dan formula perhitungan penetapan upah minimum sudah tentu berpengaruh langsung pada besaran nilai kenaikan upah minimum. Tercatat kenaikan upah tertinggi di Jabodetabek berada pada periode 2011-2013 yakni berkisar antara 20-40% . Melalui PP 78/2015, dari tahun 2015-2020 nilai kenaikan upah berkisar dari 8-10%, lalu periode 2021-2024 saat UU Cipta Kerja/Omnibus Law disahkan kenaikan persentase upah hanya berkisar 1,5-3,7%.1

Penetapan upah minimum tahun 2025 menjadi semakin “panas” setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian tuntutan buruh termasuk pasal yang mengatur soal pengupahan. MK dalam putusannya mengembalikan komponen hidup layak ke dalam struktur upah yang sebelumnya dilenyapkan dalam UU Cipta Kerja. Pelaku usaha menolak kenaikan upah yang tinggi karena bisa mengganggu daya saing dengan negara-negara lain, utamanya di sektor manufaktur. Pemerintah diwakili Menteri Tenaga Kerja menyatakan menghormati putusan MK. Diperlukan payung hukum sebagai dasar penetapan upah minimum agar kekosongan hukum pasca putusan MK tidak berlangsung lama dan menjadi multi tafsir bagi para pihak.

Kenaikan upah yang layak tentu akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat. Upah yang layak juga akan membuat  buruh lebih nyaman dalam bekerja dan akan berimbas pada produktivitas. Peningkatan daya beli dan produktivitas akan merangsang pertumbuhan ekonomi negara menjadi lebih tinggi lagi. Berbalik dengan mitos yang menyatakan bahwa kenaikan upah hanya akan mendorong lesunya perekonomian dan terjadinya PHK massal. 

Kebijakan pengupahan juga tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan ekonomi lainnya. Subsidi jaminan sosial seperti transportasi publik, perumahan, kesehatan, pendidikan serta pengendalian harga bahan pokok juga harus terus dilakukan agar kualitas nilai upah tidak tergerus dan pengembangan SDM kelas buruh Indonesia dapat meningkat. Konsekuensi ini masih menjadi momok atas kenaikan upah minimum dan tidak memiliki jaminan agar tidak terjadi. ed.og.

Penulis: Rizki Ramadhan


  1. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwIzI=/upah-minimum-regional-propinsi.html

Previous Post

Judi Online: Konsekuensi Digital dan Kebebasan Aliran Data Lintas Negara

Next Post

Nasib Pekerja Alih Daya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Unpacking the ASEAN-Canada Free Trade Agreement (ACAFTA): Risk and Threats of Investor Lawsuit to State for People, Environment, and Democracy

ASEAN and Canada are currently negotiating ASEAN - Canada Free Trade Agreement (ACAFTA). This agreement is central for Canada to respond the current geopolitical situation, particularly in relation to competition for securing access to critical minerals.

One of key concerns of CSOs and Communities is the inclusion of the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) mechanism which has repeatedly been used by multinational corporations to sue governments over public interest policies including the ones aimed at protecting the environment, indigenous rights, and public health.

In light of this concern, there is a pressing need to raise awareness and build capacity among civil society organizations and grassroots communities across ASEAN and Canada to critically discuss and examine the ACAFTA process and content.

Indonesia CSO Coalition for Economic Justice, Focus on the Global South, FTA Watch Thailand, Third World Network, AFTINET, Transnational Institute, and Canadian Centre for Policy Alternatives are hosting the webinar on:

Date: Thursday, 30 October 2025
Time: 19:00-21:00 Jakarta/Bangkok | 20:00-22:00 Malaysia/Manila | 08:00-10:00 Ottawa

Please register via bit.ly/AseanCanadaWebinar. Interpretation will be available in Indonesian and Thai.
  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute