Polemik hampir pasti terjadi setiap tahun menjelang penetapan kenaikan upah minimum, selain diiringi aksi-aksi serikat buruh, ancaman mogok nasional pun kerap menjadi ancaman atas syarat pemenuhan upah minimum kerja. Setiap tahun begitu intens dan keras, sebuah upaya yang terlihat tanpa nilai tawar. situasi ini selain menjadi perhatian bagi sebagian pekerja, juga bagi bagi pegusaha dan politisi dengan berbagai kepentingannya.
Setelah Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterbitkan, institusi perumus upah minimum telah berganti dari dewan penelitian pengupahan nasional/daerah menjadi dewan pengupahan nasional, dewan pengupahan kabupaten, dan dewan pengupahan kota. Komposisi unsur pemerintah, serikat pekerja/buruh, dan pengusaha menjadi imbang. Fungsi survei harga yang dulu hanya dilakukan oleh unsur pemerintah berubah menjadi melibatkan semua unsur di dewan pengupahan.
Perubahan juga terjadi pada jumlah dan nama komponen, dari 43 kebutuhan hidup minimum (KHM) menjadi 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Variabel ini kemudian berubah lagi menjadi 60 komponen pada 2013. Perubahan kebijakan terjadi lagi pada tahun 2015 ketika pemerintah mengeluarkan PP No. 78/2015, formula yang dipakai untuk kenaikan upah hanyalah berdasarkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dan nilai inflasi, tidak lagi memakai survey KHL yang dilakukan pada tahun itu. Sejak saat itu peran dewan pengupahan ditiadakan. Perubahan berlanjut dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan lalu diperbarui melalui Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Dan terakhir adalah PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan yang merupakan revisi PP No 36/2021. Pada perubahan terakhir formula yang menjadi landasan kenaikan upah hanya berdasarkan tingkat kenaikan inflasi.
Berbagai perubahan peraturan dan formula perhitungan penetapan upah minimum sudah tentu berpengaruh langsung pada besaran nilai kenaikan upah minimum. Tercatat kenaikan upah tertinggi di Jabodetabek berada pada periode 2011-2013 yakni berkisar antara 20-40% . Melalui PP 78/2015, dari tahun 2015-2020 nilai kenaikan upah berkisar dari 8-10%, lalu periode 2021-2024 saat UU Cipta Kerja/Omnibus Law disahkan kenaikan persentase upah hanya berkisar 1,5-3,7%.1
Penetapan upah minimum tahun 2025 menjadi semakin “panas” setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian tuntutan buruh termasuk pasal yang mengatur soal pengupahan. MK dalam putusannya mengembalikan komponen hidup layak ke dalam struktur upah yang sebelumnya dilenyapkan dalam UU Cipta Kerja. Pelaku usaha menolak kenaikan upah yang tinggi karena bisa mengganggu daya saing dengan negara-negara lain, utamanya di sektor manufaktur. Pemerintah diwakili Menteri Tenaga Kerja menyatakan menghormati putusan MK. Diperlukan payung hukum sebagai dasar penetapan upah minimum agar kekosongan hukum pasca putusan MK tidak berlangsung lama dan menjadi multi tafsir bagi para pihak.
Kenaikan upah yang layak tentu akan mendorong kenaikan daya beli masyarakat. Upah yang layak juga akan membuat buruh lebih nyaman dalam bekerja dan akan berimbas pada produktivitas. Peningkatan daya beli dan produktivitas akan merangsang pertumbuhan ekonomi negara menjadi lebih tinggi lagi. Berbalik dengan mitos yang menyatakan bahwa kenaikan upah hanya akan mendorong lesunya perekonomian dan terjadinya PHK massal.
Kebijakan pengupahan juga tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan ekonomi lainnya. Subsidi jaminan sosial seperti transportasi publik, perumahan, kesehatan, pendidikan serta pengendalian harga bahan pokok juga harus terus dilakukan agar kualitas nilai upah tidak tergerus dan pengembangan SDM kelas buruh Indonesia dapat meningkat. Konsekuensi ini masih menjadi momok atas kenaikan upah minimum dan tidak memiliki jaminan agar tidak terjadi. ed.og.
Penulis: Rizki Ramadhan