• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

President-elect asked to care for community, environment at downstream nickel industry

December 23, 2024
in News
Home Collective Idea News
Share on FacebookShare on Twitter

October 17, 2024

The National Conference on Critical Minerals Indonesia (KNMKI), held on October 9-10, 2024, has produced a joint communiqué that calls on all stakeholders in the critical minerals sector, particularly nickel, to prioritize human rights of the marginalized social groups and sustainable environment and social governance.

The joint communiqué asks the Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka administration that will be inaugurated on October 20, 2024 not to use nickel downstreaming as a mere tool for economic growth as reality on the ground shows that there are many negative impacts threatening the welfare of the community and the environment around the nickel downstreaming area.

The group said that nickel downstreaming should be a strategic move to increase added value and create decent jobs. However, they still doubt the government’s commitment to ensuring equitable and sustainable growth.

The joint communiqué, produced by over 60 organizations/communities (civil society organizations, affected communities and unions of nickel processing industry workers), affirms that mineral resources management should take human rights of the marginalized social groups and environmental impacts more seriously.

Committee chairperson and executive director of Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA) or Transformation for Indonesian Justice, Linda Rosalina, emphasized that the conference was crucial in order to immediately reduce the destructive impact of the mining sector and critical mineral industry.

“We are determined to fight for fairer, more sustainable nickel governance that respects the rights of local communities and environmental protection. We urge the Prabowo-Gibran government to listen directly to the voices of affected residents and immediately take concrete steps in formulating inclusive and responsible policies,” Linda said in a statement as quoted on Monday, October 14, 2024.

“Nickel downstreaming should not only benefit a handful of parties, but must protect community rights and ensure environmental sustainability for common welfare,” she added.

Nickel demand and environmental impacts

Planning for nickel demand in Indonesia has not been adequately clarified in national strategic documents, including the he National Long Term Development Plan (RPJPN), National Medium-Term Development Plan (RPJMN), or other derivative documents.

Although the nickel industry continues to grow rapidly, attention to environmental impacts, especially carbon emissions, is still minimal. This is evident from the lack of environmental monitoring of the industry, which is clearly having a negative impact on the ecosystem.

A group concerned in banking system and industry financing, the Bank Indonesia Response Coalition, highlighted this worsening condition due to massive financing in the nickel sector which is also supported by regulations that place nickel as a basic need for green energy transition.

“Whereas banks as corporate capital lenders have a role as catalysts and accelerators for financing, the reckless exploitation of nickel has actually caused environmental damage and community conflict. Banks need to integrate responsible financing practices that support the implementation of the fulfillment of human rights and environmental preservation,” Herni Ramdlaningrum, an activist with the Bank Indonesia Response Coalition, said.

She cited that supervision of nickel mining companies is also far from optimal, especially at the regional level, while the limited authority of provincial governments and overlapping policies between Jakarta and the regions further complicate the situation.

“As a result, law enforcement against environmental violations is often ineffective.
Furthermore, the 2020 Mineral and Coal Mining Law and Government Regulation in Lieu of Law No. 2/2022 on Job Creation, which centralize the authority for operating permits at the central level, narrow the space for civil society to conduct oversight,” she said.

The coalition also sees recovery mechanisms for affected communities often stagnate, especially in areas where local governments have conflicts of interest due to shareholdings in the nickel mining industry.

“The nickel industry plays an important role in supporting energy transition, but the sector’s rapid growth must be couple with serious attention to environmental and social impacts. Weaknesses in national strategic planning, coupled with governance that is far from transparent, as well as weak oversight of the nickel mining industry, are exacerbating the ongoing environmental crisis,” Meliana Lumbantoruan, Deputy Director of Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, said.

She was of the opinion that the government needs to strengthen the governance of the nickel sector by improving transparency, accountability and coordination between institutions, both at the central and regional levels. In addition, active involvement of civil society in monitoring must also be guaranteed, so that industrial activities run more responsibly and recovery for affected communities can be realized more effectively.

Olisias Gultom, Director of Sahita Institute (HINTS), emphasized that all stakeholders need to beware that corrupt practices have contributed to environmental damages and marginalized local communities in this industry. He cited the lack of alignment on access to decent livelihoods for workers.

“Industrial development or downstreaming must be in line with the principles of humanity and social justice. It is urgent that this is done before bigger mistakes are made and severe damages threatened all aspects of life,” he said.

Journalist : Gusty da Costa

Source : https://indonesiabusinesspost.com/insider/president-elect-asked-to-care-for-community-environment-at-downstream-nickel-industry/

Previous Post

MKE Desak Pemerintah Hentikan Perundingan Perdagangan Bebas dengan Uni Eropa

Next Post

Somasi Terbuka kepada Pemerintah atas Masalah Uang Kuliah Mahal

Editorial

Editorial

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute