• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Kripto Semakin Mendesak dalam Sistem Keuangan Indonesia

Oleh : Nunu Lestari

January 24, 2025
in Article
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Perkembangan teknologi finansial telah melahirkan mata uang digital atau cryptocurrency (kripto), yang semakin populer sebagai alternatif uang konvensional. Data Bappebti sampai November 2024, terdapat 22,11 juta pelanggan aset kripto yang terdaftar di Indonesia. Sekitar 1,3 juta dari angkat itu masuk kategori aktif bertransaksi pada November 2024. Meskipun sempat mengalami penurunan transaksi dalam dua tahun terakhir, namun dalam kurun Januari – November 2024 nilai transaksi aset kripto di Indonesia melonjak hingga mencapai Rp 556,53 triliun.

Kripto atau cryptocurrency adalah uang digital yang hanya ada di internet. Tidak seperti uang yang biasa kita gunakan, termasuk uang digital yang digunakan selama ini, kripto hanya berupa kode komputer. Uang ini dibuat menggunakan teknologi blockchain yang hingga kini diyakini sangat aman digunakan, mirip seperti buku catatan pembukuan besar tempat semua transaksi dicatat agar tidak ada yang bisa curang. Kripto banyak dipercaya merupakan inovasi dalam sistem keuangan global dan melalui teknologi blockchain memungkinkan transaksi berjalan transparan dan tanpa perantara. Berbeda dengan uang konvensional yang dikendalikan oleh otoritas negara atau bank sentral, kripto bebas dari kendali pihak ketiga.

Selain dimulai dengan kritik terhadap sistem keuangan global dipengaruhi kepentingan pihak ketiga, Kripto semakin digemari karena mampu mempermudah transaksi lintas negara tanpa biaya besar dan memberikan akses keuangan kepada penggunanya tanpa rekening bank. Pengguna biasanya memanfaatkan kripto sebagai alternatif pembayaran untuk berbagai keperluan, seperti membeli produk digital, melakukan perdagangan internasional, atau berinvestasi, walaupun masih terbatas.

Meskipun penggunaannya memberikan kemudahan, nilai harganya yang sering naik turun membuat kripto menjadi aset spekulatif yang berisiko. Selain itu sifatnya yang anonym, membuat eksistensi kripto menimbulkan tantangan besar bagi otoritas keuangan negara. Ketidakmampuan negara mengontrol transaksi kripto menimbulkan kekhawatiran, termasuk potensi pencucian uang, pendanaan terorisme, dan penipuan. Selain itu, penggunaannya dalam sistem keuangan global turut memunculkan tantangan lain, seperti regulasi yang berbeda di setiap negara dan dampaknya pada stabilitas keuangan tradisional.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari Rp. 800 miliar telah dicuci melalui aset kripto antara 2022 hingga 2024. Aset kripto sering digunakan untuk menyamarkan asal-usul harta hasil kejahatan karena sifatnya yang anonim dan kemudahan transaksinya. Selain itu, aset ini dapat melewati batas negara dengan mudah, sehingga sulit dilacak.

Salah satu contoh, pada Juni 2023, Polda Metro Jaya menangkap dua pelaku penipuan yang mencatut nama platform investasi Indodax. Mereka menggunakan akun media sosial palsu untuk menawarkan investasi fiktif, menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah. Kemudian pada Januari 2025, polisi kembali mengungkap kasus penipuan investasi kripto dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Pelaku menjanjikan keuntungan tinggi kepada korban, lalu menghilang setelah menerima uang. Beberapa pelaku bahkan menggunakan aplikasi palsu yang menyerupai platform trading kripto terkenal untuk menipu pengguna.

Blockchain analytics firm, Chainalysis, melansir data total nilai transaksi kripto illegal secara global pada tahun 2024 diperkirakan mencapai $40,1 miliar, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai $46,1 miliar.[1] Namun, angka ini diprediksi akan meningkat hingga $51 miliar seiring dengan ketersediaan data tambahan. Serangan phishing menjadi metode pencurian yang paling banyak digunakan pada tahun 2024, dengan total kerugian lebih dari $1,05 miliar dari hampir 300 insiden. Rata-rata kerugian per insiden mencapai sekitar $3,1 juta.[2] Selain itu, kejahatan yang melibatkan aset kripto semakin berkembang dengan taktik yang lebih canggih, termasuk penggunaan kecerdasan buatan untuk menghindari deteksi.

Media tirto.id melansir, peneliti Associate Professor dalam Strategi Digital dan Ilmu Data di Universitas Monash, Arif Perdana, bersama Hee Jhee Jiow dari Singapore Institute of Technology, mengeksplorasi modus penipuan di dunia cryptocurrency melalui Model Eksploitasi Kognitif-Kripto. Model ini menunjukkan bahwa penipuan kripto memanfaatkan kelemahan psikologis manusia, seperti ketidakmampuan mengambil keputusan secara rasional, serta aspek unik dari teknologi blockchain. Arif menemukan bahwa modus penipuan kripto terdiri dari tiga lapis, yaitu kerentanan kognitif, rekayasa sosial, dan pemanfaatan teknologi kripto.

Lapisan pertama, kerentanan kognitif, memanfaatkan cara berpikir dan fenomena psikologis seperti fear of missing out (FOMO). Korban sering terburu-buru berinvestasi karena melihat peluang keuntungan besar tanpa memahami risikonya. Lapisan kedua, rekayasa sosial, menggunakan trik psikologis seperti berpura-pura menjadi ahli keuangan atau teknologi untuk mendapatkan kepercayaan. Penipu sering menunjukkan bukti palsu keberhasilan mereka dalam mengelola aset kripto untuk meyakinkan korban. Lapisan ketiga, yang menjadi ciri khas modus penipuan kripto yaitu memanfaatkan kompleksitas teknologi. Istilah teknis seperti “cloud mining“[3] atau “liquidity mining“[4] digunakan untuk membingungkan korban. Selain itu, meskipun blockchain transparan, unsur anonimitas semu membuat pelacakan penipuan menjadi sulit. Penipu sering menggunakan teknik seperti “chain hopping” atau “mixer services“[5] untuk mempersulit pelacakan transaksi, mirip dengan metode pencucian uang.

Saat ini di Indonesia, aset kripto dianggap sebagai komoditas dan tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, berbeda dengan Amerika Serikat atau Jepang yang telah mengakui kripto sebagai alat pembayaran. Hal ini diatur dalam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan diperjelas dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sementara itu status aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan di bursa berjangka secara legal diakui sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018, yang mengatur kebijakan umum penyelenggaraan perdagangan berjangka aset kripto.

Pengawasan perdagangan aset kripto diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), kemudian dilimpahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 10 Januari 2025. Meskipun ada regulasi dari Bappebti yang mengatur aturan main transaksi aset kripto, namun regulasi yang ada belum mencakup keseluruhan aspek dari sistem kripto, sehingga masih terdapat celah yang bisa disalahgunakan oleh pelaku cybercrime. Selain itu, literasi digital dan literasi keuangan yang minim, menjadi salah satu faktor utama kejahatan kripto di Indonesia.

Karena itu, aturan internasional dibutuhkan agar pengawasan terhadap kripto berlaku sama di semua negara. Teknologi blockchain bisa dipakai untuk membuat pengawasan lebih transparan tanpa menghilangkan sifat desentralisasi. Negara juga bisa membuat uang digital bank sentral (CBDC) sebagai alternatif yang lebih terkontrol. Melalui CBDC, teknologi kripto bisa digunakan dalam aturan yang jelas, sehingga risiko penyalahgunaan bisa dikurangi.ed.og.


[1]https://www.mariblock.com/crypto-crime-proceeds-valued-at-40-1-billion-in-2024-chainalysis/
[2]https://www.straitstimes.com/business/crypto-crime-value-likely-hit-a-high-of-56-billion-in-2024-says-report
[3] Menyewa komputer di internet untuk menghasilkan uang digital seperti Bitcoin.
[4] Memberi uang digital ke aplikasi agar orang lain bisa menukar uang digital, lalu kita mendapat hadiah.
[5] Teknik “chain hopping” atau menggunakan “mixer services” adalah cara seseorang menyembunyikan asal-usul uang digital, seperti Bitcoin, agar tidak bisa dilacak.
Previous Post

ACFTA dan Runtuhnya Industri Tekstil Indonesia: Salah Siapa?

Next Post

Surat Pernyataan Bersama mengenai bahan baku mentah dalam Indonesia-Uni Eropa (EU) CEPA

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute