Perkembangan teknologi finansial telah melahirkan mata uang digital atau cryptocurrency (kripto), yang semakin populer sebagai alternatif uang konvensional. Data Bappebti sampai November 2024, terdapat 22,11 juta pelanggan aset kripto yang terdaftar di Indonesia. Sekitar 1,3 juta dari angkat itu masuk kategori aktif bertransaksi pada November 2024. Meskipun sempat mengalami penurunan transaksi dalam dua tahun terakhir, namun dalam kurun Januari – November 2024 nilai transaksi aset kripto di Indonesia melonjak hingga mencapai Rp 556,53 triliun.
Kripto atau cryptocurrency adalah uang digital yang hanya ada di internet. Tidak seperti uang yang biasa kita gunakan, termasuk uang digital yang digunakan selama ini, kripto hanya berupa kode komputer. Uang ini dibuat menggunakan teknologi blockchain yang hingga kini diyakini sangat aman digunakan, mirip seperti buku catatan pembukuan besar tempat semua transaksi dicatat agar tidak ada yang bisa curang. Kripto banyak dipercaya merupakan inovasi dalam sistem keuangan global dan melalui teknologi blockchain memungkinkan transaksi berjalan transparan dan tanpa perantara. Berbeda dengan uang konvensional yang dikendalikan oleh otoritas negara atau bank sentral, kripto bebas dari kendali pihak ketiga.
Selain dimulai dengan kritik terhadap sistem keuangan global dipengaruhi kepentingan pihak ketiga, Kripto semakin digemari karena mampu mempermudah transaksi lintas negara tanpa biaya besar dan memberikan akses keuangan kepada penggunanya tanpa rekening bank. Pengguna biasanya memanfaatkan kripto sebagai alternatif pembayaran untuk berbagai keperluan, seperti membeli produk digital, melakukan perdagangan internasional, atau berinvestasi, walaupun masih terbatas.
Meskipun penggunaannya memberikan kemudahan, nilai harganya yang sering naik turun membuat kripto menjadi aset spekulatif yang berisiko. Selain itu sifatnya yang anonym, membuat eksistensi kripto menimbulkan tantangan besar bagi otoritas keuangan negara. Ketidakmampuan negara mengontrol transaksi kripto menimbulkan kekhawatiran, termasuk potensi pencucian uang, pendanaan terorisme, dan penipuan. Selain itu, penggunaannya dalam sistem keuangan global turut memunculkan tantangan lain, seperti regulasi yang berbeda di setiap negara dan dampaknya pada stabilitas keuangan tradisional.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari Rp. 800 miliar telah dicuci melalui aset kripto antara 2022 hingga 2024. Aset kripto sering digunakan untuk menyamarkan asal-usul harta hasil kejahatan karena sifatnya yang anonim dan kemudahan transaksinya. Selain itu, aset ini dapat melewati batas negara dengan mudah, sehingga sulit dilacak.
Salah satu contoh, pada Juni 2023, Polda Metro Jaya menangkap dua pelaku penipuan yang mencatut nama platform investasi Indodax. Mereka menggunakan akun media sosial palsu untuk menawarkan investasi fiktif, menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah. Kemudian pada Januari 2025, polisi kembali mengungkap kasus penipuan investasi kripto dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Pelaku menjanjikan keuntungan tinggi kepada korban, lalu menghilang setelah menerima uang. Beberapa pelaku bahkan menggunakan aplikasi palsu yang menyerupai platform trading kripto terkenal untuk menipu pengguna.
Blockchain analytics firm, Chainalysis, melansir data total nilai transaksi kripto illegal secara global pada tahun 2024 diperkirakan mencapai $40,1 miliar, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai $46,1 miliar.[1] Namun, angka ini diprediksi akan meningkat hingga $51 miliar seiring dengan ketersediaan data tambahan. Serangan phishing menjadi metode pencurian yang paling banyak digunakan pada tahun 2024, dengan total kerugian lebih dari $1,05 miliar dari hampir 300 insiden. Rata-rata kerugian per insiden mencapai sekitar $3,1 juta.[2] Selain itu, kejahatan yang melibatkan aset kripto semakin berkembang dengan taktik yang lebih canggih, termasuk penggunaan kecerdasan buatan untuk menghindari deteksi.
Media tirto.id melansir, peneliti Associate Professor dalam Strategi Digital dan Ilmu Data di Universitas Monash, Arif Perdana, bersama Hee Jhee Jiow dari Singapore Institute of Technology, mengeksplorasi modus penipuan di dunia cryptocurrency melalui Model Eksploitasi Kognitif-Kripto. Model ini menunjukkan bahwa penipuan kripto memanfaatkan kelemahan psikologis manusia, seperti ketidakmampuan mengambil keputusan secara rasional, serta aspek unik dari teknologi blockchain. Arif menemukan bahwa modus penipuan kripto terdiri dari tiga lapis, yaitu kerentanan kognitif, rekayasa sosial, dan pemanfaatan teknologi kripto.
Lapisan pertama, kerentanan kognitif, memanfaatkan cara berpikir dan fenomena psikologis seperti fear of missing out (FOMO). Korban sering terburu-buru berinvestasi karena melihat peluang keuntungan besar tanpa memahami risikonya. Lapisan kedua, rekayasa sosial, menggunakan trik psikologis seperti berpura-pura menjadi ahli keuangan atau teknologi untuk mendapatkan kepercayaan. Penipu sering menunjukkan bukti palsu keberhasilan mereka dalam mengelola aset kripto untuk meyakinkan korban. Lapisan ketiga, yang menjadi ciri khas modus penipuan kripto yaitu memanfaatkan kompleksitas teknologi. Istilah teknis seperti “cloud mining“[3] atau “liquidity mining“[4] digunakan untuk membingungkan korban. Selain itu, meskipun blockchain transparan, unsur anonimitas semu membuat pelacakan penipuan menjadi sulit. Penipu sering menggunakan teknik seperti “chain hopping” atau “mixer services“[5] untuk mempersulit pelacakan transaksi, mirip dengan metode pencucian uang.
Saat ini di Indonesia, aset kripto dianggap sebagai komoditas dan tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, berbeda dengan Amerika Serikat atau Jepang yang telah mengakui kripto sebagai alat pembayaran. Hal ini diatur dalam sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan diperjelas dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sementara itu status aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan di bursa berjangka secara legal diakui sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018, yang mengatur kebijakan umum penyelenggaraan perdagangan berjangka aset kripto.
Pengawasan perdagangan aset kripto diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), kemudian dilimpahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 10 Januari 2025. Meskipun ada regulasi dari Bappebti yang mengatur aturan main transaksi aset kripto, namun regulasi yang ada belum mencakup keseluruhan aspek dari sistem kripto, sehingga masih terdapat celah yang bisa disalahgunakan oleh pelaku cybercrime. Selain itu, literasi digital dan literasi keuangan yang minim, menjadi salah satu faktor utama kejahatan kripto di Indonesia.
Karena itu, aturan internasional dibutuhkan agar pengawasan terhadap kripto berlaku sama di semua negara. Teknologi blockchain bisa dipakai untuk membuat pengawasan lebih transparan tanpa menghilangkan sifat desentralisasi. Negara juga bisa membuat uang digital bank sentral (CBDC) sebagai alternatif yang lebih terkontrol. Melalui CBDC, teknologi kripto bisa digunakan dalam aturan yang jelas, sehingga risiko penyalahgunaan bisa dikurangi.ed.og.
Discussion about this post