Mahkamah Konstitusi telah mengubah 21 aturan dalam Undang Undang No.6/2023 tentang Cipta Kerja. Hal ini dimuat dalam Putusan No.168/PUU-XXI/2023. Putusan MK ini akan berdampak luas bagi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Putusan MK yang dinilai penting ialah Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
Seberapa besar pengaruh putusan MK mengenai alih daya khususnya bagi pekerja dan industri pada umumnya? Sebelum putusan MK, peraturan yang mengenai pekerjaan alih daya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.35 Tahun 2021 tentang tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Intinya alih daya bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan.
Pasal 64 dan 66 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebelum terbitnya UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 alih daya dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang sifatnya penunjang. Pekerjaan alih daya yang diserahkan kepada ke perusahaan lain itu adalah pekerjaan yang dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung, kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sesuai dengan alur yang ditetapkan, dan tidak menghambat proses produksi.
Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh antara lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); Usaha penyediaan makanan bagi pekerja; Usaha tenaga pengamanan; Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; Usaha penyediaan angkutan pekerja. Jenis pekerjaan tersebut sesungguhnya merupakan jenis pekerjaan yang boleh diserahkan ke penyedia jasa tenaga kerja atau alih daya yang kita kenal dengan istilah outsourcing. Namun, praktek dilapangan tidak berkata demikian. Dalam industri manufaktur hampir semua bagian pekerjaan telah diserahkan atau dikerjakan oleh pekerja alih daya / outsourcing.
Pekerja outsourcing saat ini merupakan pekerja yang sangat rentan manipulasi karena tidak mempunyai hubungan kerja yang tetap baik kepada perusahaan penyedia jasa maupun perusahaan tempat ia bekerja. Hubungan kerja yang rentan tersebut mengakibatkan mudahnya mengalami pemutusan hubungan kerja, ditambah tidak ada tunjangan yang didapat layaknya pekerja tetap lainnya seperti pesangon. Hal lazim lain yang juga sering terjadi pada pekerja outsourcing yaitu tidak mendapatkan upah dan tunjangan yang sama dengan pekerja tetap, bahkan dalam banyak kasus upah dipotong tiap bulannya oleh Perusahaan penyedia jasa. Calon pekerja juga diharuskan membayar sekian juta kepada Perusahaan penyedia jasa sebagai syarat penempatan kerja .
Istilah outsourcing atau alih daya kita kenal dalam 20 tahun terakhir. Perkembangan dunia industri yang semakin pesat dengan tumbuhnya global supply chain mendorong pelaku usaha berkompetisi untuk terus menciptakan siasat dengan melakukan efisiensi, khususnya dalam upaya menekan cost produksi. Jika dahulu suatu perusahaan mengerjakan/memproduksi semua komponen dalam satu pabrik, saat ini perusahaan dapat menyerahkan pekerjaan suatu komponen kepada vendor Perusahaan lain yang memproduksi komponen tersebut. Ini sesungguhnya yang disebut dengan outsourcing.
Outsourcing seharusnya tidak menghapuskan hak dan perlindungan pekerja. Salah kaprah yang sengaja dimanfaatkan banyak perusahaan justru menjadikan outsourcing sebagai jurus menciptakan tenaga kerja murah yang digadang-gadang untuk mengundang investasi. Negara maju yang mengadopsi sistem kerja outsourcing justru membuat standar nilai yang tinggi bagi pekerja outsourcing. Pekerja outsourcing dinilai memiliki keahlian dan skill serta waktu pekerjaan tertentu yang dibutuhkan oleh Perusahaan / penerima jasa. Sebab itu nilai jasa pekerja outsourcing dianggap penting sehingga mendapatkan hak yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan seperti yang dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa dimana perlindungan terhadap hak pekerja outsourcing turut ditetapkan dalam regulasi dengan pengawasan yang ketat.
Putusan MK harus menjadi momentum untuk membenahi baik pemahaman maupun praktek mengenai outsourcing. Outsourcing dapat dilakukan dengan memindahkan/ alih daya pekerjaan tertentu kepada Perusahaan lain, bukan memindahkan/merubah status pekerja yang mengerjakan pekerjaan tersebut menjadi pekerja outsourcing. Tentu butuh pengawasan yang ketat oleh Kementerian Tenaga Kerja terhadap praktek sistem kerja outsourcing ini, terlebih praktek yang salah ini telah berjalan lama tanpa ada upaya untuk mengkoreksinya. Untuk itu juga diperlukan peraturan pengganti dari Peraturan Pemerintah (PP) No.35 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang selama ini dijadikan landasan bagi penerapan sistem kerja outsourcing. ed.og.
Discussion about this post