Tatanan ekonomi dan politik yang terjadi hingga saat ini, memperlihatkan semakin merosotnya dominasi tunggal dari kekuatan imperialis Amerika Serikat dan sekutunya, dan pada sisi lain Tiongkok dan Rusia muncul sebagai kekuatan ekonomi alternatif yang menyebabkan kerugian ekonomi negara-negara Selatan Global. Ketegangan Geopolitik global juga menjadi penanda bahwa Menanggapi kondisi ini, muncul perdebatan mengenai pentingnya tatanan global yang demokratis dan setara di Selatan-Selatan untuk mengatasi krisis ini. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pilihan ini benar-benar membebaskan atau justru mendukung bisnis yang tetap eksploitatif? Karena pada kenyataannya suatu negara masih memiliki ketergantungan pada negara-negara tertentu dan perusahaan-perusahaan raksasa; dan untuk mengubah kondisi tersebut, bergantung pada kekuatan rakyat itu sendiri.
Hal ini menjadi topik diskusi publik yang diselenggarakan oleh, Sahita Istitute (HINTS), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sembada Bersama, Konfederasi Kogres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), bersama-sama dengan Kelompok Kerja Global Beyond Development di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, pada 11 September 2025, dengan tema “Gerakan Rakyat Melawan Imperialisme Global di Tengah Tatanan Multipolar“. Diskusi ini menjadi forum penting untuk menyatukan pemahaman dan analisis kritis mengenai gagasan politik baru dari gerakan rakyat Indonesia. Acara ini dihadiri oleh berbagai narasumber dan aktivis dari dalam maupun luar negeri, menyoroti perubahan besar dalam situasi ekonomi dan politik global yang terjadi sampai saat ini.
Tujuan dari diskusi ini guna Menemukan bentuk-bentuk baru tatanan multipolar untuk mengatasi krisis globalisasi dan kerja sama sinergi Selatan-Selatan, kemudian untuk Memahami situasi politik dan ekonomi Indonesia sejak era reformasi hingga saat ini, terutama dalam menghadapi berbagai tekanan. Selain itu diskusi ini juga sebagai upaya dalam Menemukan cara untuk menghadapi ekspansi keuangan global dengan membangun solidaritas antar sektor dan membangun perjuangan anti-imperialis yang relevan dengan konteks terkini.
Geopolitik Global: Kolonialisme yang Belum Usai
Geopolitik baru secara langsung berdampak pada geoekonomi dan perdagangan global dalam lima tahun terakhir sejak pandemi covid 19. Dorothy Guerrero, aktivis WOMIN-Afrika, mengajak untuk sedikit menengok kebelakang, Ia mengatakan bahwa dulu dunia terbagi ke dalam dua kekuatan besar antara Amerika Serikat dan Rusia. Namun kini, situasinya berbeda, terutama dalam bidang ekonomi. Dunia mengalami empat perubahan besar yang memengaruhi cara hidup dan kebijakan ekonomi di banyak negara.
Pertama, perdagangan global kini bisa menentukan siapa yang hidup dan siapa yang terpuruk. Selama pandemi, negara-negara maju di belahan bumi utara menolak membantu negara berkembang memproduksi vaksin sendiri, memperlihatkan ketidakadilan global. Kedua, harga energi melonjak, membuat negara-negara Eropa berebut sumber daya gas dan minyak di Afrika. Ketiga, setelah perang Rusia–Ukraina, banyak pemerintah menaikkan harga kebutuhan pokok; di Inggris, orang bahkan harus memilih antara membeli makanan atau membayar pemanas rumah. Keempat, kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump yang menaikkan tarif perdagangan membuat banyak negara terkena dampaknya.
Akibatnya, banyak negara mengalami penurunan ekonomi hingga 25 persen. Dua dari sepuluh perusahaan di dunia tidak lagi menghasilkan keuntungan, sementara 40 persen pekerja terancam digantikan teknologi kecerdasan buatan. Di Eropa, stasiun kereta dan supermarket kini hampir sepenuhnya otomatis tanpa tenaga manusia. Dalam dua dekade terakhir, pendapatan pajak untuk pendidikan dan kesehatan terus menurun karena perusahaan besar menghindari pajak, sementara pemerintah enggan menaikkannya. Akibatnya, generasi muda akan tumbuh dalam kondisi sulit, dengan utang publik yang membengkak. Dunia kini menghadapi perubahan besar: tatanan ekonomi baru sedang terbentuk, dengan munculnya kekuatan seperti Tiongkok dan kelompok BRICS yang mulai menantang dominasi lama Amerika dan Eropa.
Hamza Hamouchene, peneliti Transnational Institute dari Aljazair, juga menyoroti pentingnya memahami sejarah anti-kolonialisme dan mengaitkannya dengan perjuangan pembebasan Palestina. Ia mengutip kalimat Ghassan Kanafani di tahun 1970, “Imperialisme telah meletakkan tubuhnya di atas dunia, kepalanya di Asia Timur, jantungnya di Timur Tengah, urat nadinya mencapai Afrika dan Amerika Latin. Di mana pun Anda menyerangnya, Anda merusaknya, dan Anda melayani Revolusi Dunia” dan Nelson Mandela “Kita tahu betul bahwa kebebasan kita tidak lengkap tanpa kebebasan Palestina.” juga mengingatkan bahwa kebebasan manusia tidak akan pernah lengkap tanpa kebebasan bagi Palestina. Hamza menyampaikan dari dua kutipan ini sama-sama menegaskan satu hal: perjuangan melawan penindasan tidak bisa berdiri sendiri. Semua bangsa yang tertindas terhubung dalam satu perjuangan besar melawan imperealisme global yang menindas mereka.
Hamza juga mengajak untuk menjadikan Tahun 2024 dan 2025 sebagai pengingat penting bagi sejarah perlawanan dunia. Ia menegaskan bahwa di tahun 2024 menandai 70 tahun kemenangan Vietnam atas penjajahan Prancis di Dien Bien Phu, serta 70 tahun dimulainya perjuangan kemerdekaan Aljazair. Sementara tahun ini, 2025, kita memperingati tujuh dekade Konferensi Asia-Afrika di Bandung, sebuah momen di mana negara-negara yang baru merdeka berdiri sejajar untuk menolak dominasi kolonial. Peringatan itu bukan sekadar nostalgia, tetapi panggilan untuk menghidupkan kembali semangat solidaritas di tengah dunia yang kini kembali dilanda ketimpangan dan konflik. menegaskan bahwa solidaritas transnasional sangat penting untuk mengisolasi entitas kolonial dan mempromosikan visi global untuk membebaskan diri dari sistem kapitalisme-imperealisme global.
Perjuangan rakyat Palestina hari ini menunjukkan bahwa kolonialisme belum benar-benar berakhir, hanya berubah bentuk. Penindasan yang mereka alami adalah cerminan dari sistem global yang masih menempatkan kepentingan kekuasaan di atas kemanusiaan. Karena itu, perjuangan pembebasan Palestina bukan hanya soal moral, tapi juga bagian dari perlawanan terhadap kapitalisme dan imperealisme global. Amerika mungkin masih memegang kekuatan, tapi hegemoninya mulai rapuh. Di tengah situasi yang penuh kekacauan ini, seperti kata Gramsci, kita sedang hidup di masa peralihan, di mana dunia lama belum mati, dan dunia yang baru belum lahir. Dan justru di masa seperti inilah, gerakan rakyat di seluruh dunia punya kesempatan untuk menciptakan tatanan yang lebih adil.
Imperialisme dan Anti-Imperialisme di Masa Interregnum
Narasi mengenai munculnya tatanan multipolar seringkali mengacu pada melemahnya dominasi Amerika Serikat dan sekutunya, diiringi oleh kebangkitan kekuatan alternatif seperti Tiongkok dan Rusia. Namun, Sofwan Al Banna, seorang Dosen Studi Internasional, mengusulkan penggunaan konsep “interregnum” dari Antonio Gramsci untuk menggambarkan periode saat ini. “Interregnum” dicirikan oleh ketidakstabilan, kekosongan hegemoni, dan munculnya “monster” sebagai gejala morbid dari tatanan lama yang sekarat, seperti genosida di Gaza. Pandangan ini menyiratkan bahwa meskipun hegemoni AS mungkin memudar, kita belum sepenuhnya memasuki era multipolar yang stabil, melainkan fase transisi yang penuh gejolak.
Di tengah pusaran zaman yang penuh ketidakpastian ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kita menempatkan Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, sebuah mercusuar solidaritas masa lalu, dalam tatanan dunia saat ini? Kita mungkin keliru jika menyebutnya multipolar, bahkan unipolar AS pun terasa usang. Lebih tepat, kita hidup dalam “interregnum” sebuah periode genting, seperti yang diungkapkan Antonio Gramsci, di mana tatanan lama sedang sekarat namun yang baru belum lahir sempurna. Inilah masa ketika hegemoni lama, yang selama ini dibungkus klaim hak asasi manusia, nilai liberal, dan kebebasan individu, mulai memperlihatkan wajah aslinya yang penuh kontradiksi. Bagaimana mungkin berbicara kebebasan berpendapat, namun mengkritik Israel di Jerman adalah tabu? Inilah gejala morbid, monster yang mewujud dalam genosida di Gaza, bukti nyata dari kondisi global yang tidak stabil dan tidak berfungsi optimal.
Sejarah, dengan segala kekejamannya, juga menyimpan pelajaran berharga. Gejala-gejala mengerikan ini, seperti genosida yang kita saksikan di Gaza, bisa berujung pada dua hal: kembali ke lingkaran eksploitasi yang sama, atau membuka jalan menuju dunia yang lebih baik. Namun, ada satu kekuatan yang terbukti mampu mengubah arah sejarah: kekuatan anti-kolonialisme dari rakyat. Merekalah yang di awal abad ke-20 berhasil memanfaatkan “interregnum” saat dunia lama runtuh, seperti Eropa yang meninggalkan La Belle Époque-untuk mendorong era baru yang lebih adil. Saat itu, intelektual dari negara-negara terjajah tidak tinggal diam, mereka membentuk Liga Anti-Imperialisme, menuntut kesetaraan, dan Soekarno muda menjadi salah satu suaranya, merajut mimpi Indonesia merdeka.
Kini, kita kembali berada di persimpangan jalan yang sama. “Interregnum” ini kembali memunculkan monster-monster, namun sekaligus menghadirkan peluang untuk dunia yang lebih baik. Di tengah kemunduran kekuatan dominan, ketidakpuasan global akibat globalisasi yang timpang, dan bangkitnya populisme sayap kanan, pertanyaannya adalah: akankah kita menyerah ditelan monster-monster ini, atau akankah kita, seperti para pendahulu kita di Bandung, mengambil inisiatif untuk membangun dunia baru yang lebih baik? Pilihan ada di tangan kita, untuk tidak lagi menunggu, melainkan bertindak.
Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi Global
Situasi ekonomi politik global telah menciptakan kerugian ekonomi, yang pada akhirnya membebani buruh dan masyarakat miskin. Di tengah pusaran krisis global yang dipicu oleh perang dagang AS-Tiongkok, Indonesia tak luput dari badai. Hal tersebut disampaikan oleh Sunarno, sebagai Ketua Umum KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). Sunar juga menyatakan bahwa, Perlambatan ekonomi yang menghantam saat ini membuat negara-negara kapitalis dan imperialis seolah berlomba memprovokasi konflik dari Rusia-Ukraina hingga Iran-Israel, bahkan India-Pakistan dan Thailand-Kamboja. Ini bukan sekadar perang, melainkan cerminan dari kapitalisme-imperialisme yang, menurut Gramsci, memasuki “tahap barbarisme nyata,” di mana krisis legitimasi demokrasi borjuis mendorong pada ketergantungan perang dan logika militeristik. Di tengah situasi geopolitik global yang penuh ketegangan ini, Indonesia mencoba menavigasi, namun dihadapkan pada kontradiksi internal yang menganga.
Di satu sisi, data ekonomi menunjukkan anomali: triwulan pertama dan kedua 2025 mengalami peningkatan signifikan, didorong oleh sektor pertanian dan konsumsi rumah tangga selama Ramadan dan Lebaran. Sebuah oase di tengah gurun. Ancaman PHK massal menjadi kenyataan pahit yang tak terhindarkan. Data menunjukkan bahwa jumlah PHK di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2024 dan 2025. Gelombang PHK menghantam 150 ribu pekerja hingga Agustus, terutama di industri padat karya yang dipicu oleh berbagai faktor eksternal seperti melemahnya permintaan global, suku bunga tinggi yang menekan investasi, dan gangguan rantai pasok global. Fenomena PHK massal ini menciptakan efek domino, meningkatkan pengangguran, menurunkan daya beli masyarakat, dan memperburuk ketimpangan ekonomi.
Sementara itu, program-program pemerintah yang baru, seperti efisiensi anggaran untuk makanan bergizi gratis yang dibarengi kenaikan pajak, terasa memberatkan rakyat kecil. Penggabungan badan usaha negara melalui Danantara dan Agrinas, meskipun bertujuan efisiensi, justru memunculkan kekhawatiran baru di tengah meningkatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin merajalela. Sebuah warisan rezim lama yang tak kunjung usai.
Kemarahan publik kian memuncak ketika kabinet presidensial digembungkan di tengah agenda efisiensi, dan elit politik memamerkan kekayaannya di atas penderitaan rakyat. Kesenjangan ekonomi melebar drastis: 1% oligarki menguasai keputusan politik dan ekonomi, sementara gelombang PHK dan kenaikan pajak menjerat masyarakat menengah ke bawah. Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 semakin menindas pekerja dengan sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja yang rentan upah murah dan pemutusan hubungan kerja yang mudah. Namun, di balik awan gelap ini, secercah harapan muncul: gerakan buruh, pemuda, mahasiswa, dan masyarakat sipil seperti Aliansi Taktis, Aliansi GEBRAK, dan Koalisi Perempuan Indonesia bersatu. Mereka tidak hanya mengkritik, tetapi juga mengkonsolidasikan kekuatan, berbekal putusan Mahkamah Konstitusi No. 168 sebagai momentum untuk merancang UU Ketenagakerjaan yang berpihak pada pekerja.
Tantangan dan Arah Perjuangan : Membangun Blok Politik Rakyat dan Solidaritas Transnasional
Olisias Gultom, sebagai Direktur Eksekutif Sahita Institute, Menjelaskan bahwa isu Global yang semakin kompleks pada akhirnya bermuara pada kerentanan domestik, terutama pada isu ketenagakerjaan di Indonesia. Pergeseran menuju tatanan multipolar menawarkan peluang untuk menuntaskan isu kemanusiaan, seperti Palestina, sekaligus memicu perdebatan fundamental tentang arah ekonomi dunia yakni perimbangan antara ekonomi finansial versus ekonomi berbasis produksi. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tatanan baru ini akan kembali pada bipolarisasi atau terjebak dalam polarisasi (baik ideologi, ekonomi, maupun militeristik) yang penuh dengan kekacauan, atau akan benar-benar dapat menciptakan tatanan dunia yang lebih adil.
Bagaimana gerakan menghadapi isu global yang kompleks saat ini.? Pada satu sisi seorang intelektual Indonesia sejak tahun 40-an memprediksi ada enam blok ekonomi raksasa yang akan terbentuk di dunia dan dunia sepertinya sedang menuju arah tersebut. Kita harus melihat dengan jelas apa yang terjadi dalam tatanan politik global. Pada saat sistem politik dan ekonomi internasional didominasi oleh beberapa negara, sangat penting bagi kita untuk bersatu, dalam protes revolusioner dan progresif. Kita membutuhkan kejelasan tujuan dari kekerasan dan ketidakadilan, dan mayoritas tertindas tidak bisa diam dalam sistem yang merendahkan manusia dan merusak ekologi.
Beberapa bulan lalu demonstrasi besar terjadi di Indonesia dan belahan negara lainnya. Mobilisasi besar tersebut terpicu oleh berita di media sosial. Namun, di tengah ketidakpastian ini, muncul kekhawatiran lain, berangkat dari gerakan besar khususnya Gen-Z yang memiliki kemampuan menggunakan media sosial baik dalam memicu gerakan dan memobilisasi massa yang besar dan cepat. Fenomena Gen-Z dengan ‘revolusi warna’ mereka, yang menggunakan media sosial sebagai alat utama untuk memicu perubahan politik di beberapa negara. Jika alat mobilisasi massa yang vital ini dikontrol atau dimanipulasi oleh kepentingan kapitalis/imperialis, maka gerakan rakyat dan upaya demokratisasi akan mudah disabotase atau diarahkan sesuai agenda kekuatan besar. Perjuangan melawan imperialisme kini harus mencakup perjuangan melawan imperialisme digital dan kontrol narasi.
Dorothy Guerrero¸ menegaskan bahwa pada situasi global yang sangat kompleks saat ini merupakan perjuangan generasi kita. Hal mendasar yang harus di ingat ini adalah kelanjutan dari perjuangan dan protes dari orang sebelum kita yang telah menciptakan berbagai jenis perjuangan, cara berorganisasi, dan manifestasinya. Tantangan bagi generasi baru adalah belajar dari generasi sebelumnya dan menciptakan ruangnya sendiri dan harus memastikan bahwa gerakannya memiliki tujuan untuk membebaskan diri dari cengkraman imprealisme. Pengorganisasian tidak akan berhasil tanpa pendidikan, mobilisasi, dan kerja sama jaringan. Inilah dasar pembangunan gerakan yang dapat kita terapkan pada semua aspek pengorganisasian dan mobilisasi, termasuk solidaritas baik lintas sektor hingga lintas negara.
Solidaritas transnasional sangat penting bagi perjuangan global dengan perspektif global untuk menekankan dan mengatasi berbagai keterbatasan dalam gerakan kita serta merangkul solidaritas internasional di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan belahan bumi selatan. Dengan perspektif internasional, kita harus melepaskan diri dari sistem kapitalis demi menjaga kemanusiaan. Tetapi kita melihat tren negara kembali memonopoli kekuasaan, otoritas, dan ekonomi. Dalam situasi internasional yang tidak stabil, negara akan memperkuat diri. Maka, selain solidaritas yang kuat, penting bagi kita untuk merebut kedaulatan politik rakyat terhadap negara atau sebagian otoritas dari negara dengan membangun blok politik yang kuat, karena jika tidak, negara akan diambil alih oleh kekuatan anti-pembebasan yang ingin melanjutkan status quo, baik di ranah domestik yang eksploitatif dan kapitalis, maupun di ranah global yang ingin melanjutkan pembagian kerja internasional yang juga eksploitatif.
Ini adalah momen krusial untuk membangun kekuatan politik alternatif-progresif, yang mengembalikan kekuasaan kepada petani, buruh, masyarakat adat, kaum miskin kota, nelayan, dan perempuan. Martin Lois, Sekertaris Nasional KPR menegaskan hal tersebut, menurutnya Membangun kekuatan Politik alternatif menjadi sangat penting untuk melawan kekuatan dari penguasa, dan gerakan di indonesia juga sedang mengupayakan untuk melakukan konsolidasi dalam membangun kekuatan politik untuk bisa berhadapan langsung dengan elit politik yang membawa kepentingan bojuasi nasional dan internasional. Ini bukan hanya tentang menuntut hak, tetapi tentang mendefinisikan ulang masa depan di tengah krisis global dan ketidakadilan domestik. Konsolidasi gerakan ini adalah upaya fundamental untuk tidak hanya melawan kebijakan yang menyengsarakan, tetapi juga untuk menciptakan tatanan yang lebih adil dan setara bagi semua. Persatuan kaum tertindas di seluruh dunia diperlukan untuk melawan dominasi kapitalisme dan imperialisme.
Dalam situasi ini, negara-negara berkembang tidak hanya menghadapi beban eksploitasi yang lama, tetapi juga beban baru, seiring solusi “hijau” yang dipaksakan yang mereproduksi logika ekstraktif dan memperdalam ketimpangan. Berdiri bersama melintasi batas berarti menolak perpecahan, melawan kekuatan-kekuatan yang memecah belah kita, dan bersama-sama membayangkan dunia yang layak kita wujudkan. Tan Malaka pernah berkata, “Kebebasan tidak pernah diberikan, melainkan dimulai dengan perjuangan.” Oleh karena itu, dalam situasi ketidakpastian di tingkat nasional maupun global, kita tidak layak hanya menunggu. Kita hanya bisa mendapatkan hak kita dengan berjuang. Dengan latar belakang kita yang beragam, marilah kita bangun solidaritas internasional, karena tanpa gerakan, kita akan binasa. Mengingatkan kita bahwa perubahan sejati selalu lahir dari inisiatif rakyat. Seruan revolusioner yang dinyanyikan di Festival Pan-Afrika 1969, “Hancurkan imperialisme, hancurkan kolonialisme! ‘Kolonialisme, kita harus berjuang sampai menang! Imperialisme, kita harus berjuang sampai menang!” masih relevan hingga kini. Slogan tersebut diperkuat dengan semangat perjuangan kontemporer: “From the River to the Sea, Palestine will be Free!”. Perjuangan terus berlanjut, dan solidaritas adalah kunci untuk mewujudkan dunia yang adil.!!!!








Discussion about this post