Reporter : DWI ILHAMI
Editor : ESTI FITRIA WULANDARI
RM.id Rakyat Merdeka – Pemerintah telah menavigasi ekonomi dengan arah yang benar. Namun arus global terlalu kuat untuk dihindari.
Perlambatan ekonomi global kembali terasa di awal 2025. Kenaikan harga energi dan gangguan pasokan internasional membuat biaya produksi meningkat di banyak negara. Di saat bersamaan, kebijakan suku bunga tinggi yang dipertahankan Amerika Serikat dan Eropa menahan arus investasi ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Tekanan eksternal yang berlangsung berkepanjangan itu mulai menguji ketahanan ekonomi nasional yang selama ini tumbuh stabil.
Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah menjalankan kebijakan ekonomi dengan disiplin dan kehati-hatian. Defisit fiskal dijaga agar tetap terkendali, inflasi ditahan melalui kombinasi kebijakan harga dan subsidi, serta konsumsi domestik dijaga agar roda ekonomi terus berputar. Langkah-langkah itu membuat Indonesia relatif tangguh ketika banyak negara lain mulai goyah. Namun 2025 membawa tantangan baru, bukan karena kesalahan arah, melainkan karena arah angin dunia yang berubah drastis.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook1, April 2025 mencatat bahwa pergeseran arah kebijakan ekonomi global berpotensi memicu pengetatan likuiditas secara mendadak serta arus modal keluar, tekanan yang paling terasa di negara-negara berkembang. Ketegangan geopolitik yang belum mereda di Ukraina dan Timur Tengah, serta perlambatan ekonomi Tiongkok, memperburuk situasi global yang sudah rapuh.
Bank Dunia dalam Global Economic Prospects2, Juni 2025 melaporkan bahwa disrupsi rantai pasok dan fragmentasi perdagangan masih menjadi beban utama bagi pertumbuhan global. Kenaikan harga minyak dan bahan pangan mendorong inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia, yang sejak lama mengandalkan konsumsi domestik sebagai penopang utama pertumbuhan. Dampaknya mulai terasa dalam bentuk peningkatan biaya produksi, inflasi impor, dan melemahnya daya beli masyarakat.
Tekanan itu semakin berat karena kebijakan moneter negara-negara maju belum melunak. OECD Economic Outlook 20253 menegaskan bahwa risiko gangguan arus modal kini meningkat tajam di negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat dan Eropa memperkuat dolar serta menekan nilai tukar mata uang negara berkembang. Modal asing keluar dari pasar keuangan, biaya pembiayaan proyek meningkat, dan investasi baru cenderung tertahan.
Menurut Ernst & Young (EY) Global Economic Outlook4, Juni 2025, aktivitas ekonomi dunia hanya akan tumbuh secara moderat dan tidak merata akibat ketegangan dagang, kenaikan imbal hasil obligasi, serta ketidakpastian kebijakan yang ekstrem. Dunia kini bergerak di bawah awan ketidakpastian, dan setiap perubahan arah kebijakan di negara besar dapat mengguncang perekonomian negara lain, termasuk Indonesia.
Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Kebijakan fiskal dijalankan dengan disiplin, koordinasi antara lembaga keuangan diperketat, dan cadangan devisa dijaga di atas ambang aman. IMF menilai bahwa Indonesia tetap menunjukkan permintaan domestik yang kuat serta kehati-hatian fiskal di tengah ketidakpastian global. Artinya, Indonesia telah menempuh semua langkah rasional dan terukur, namun badai global tidak memilih korban. Tekanan eksternal menimpa hampir seluruh ekonomi dunia, dan Indonesia kini ikut menanggung gelombangnya.
Pengamat ekonomi dan Dewan Pakar Sahita Institute Iwan Nurdin mengatakan sinyalemen Menteri Keuangan Purbaya yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Juli-September 2025 melambat, nyaris tak terbantahkan. Oleh karena itu, menurut dia, langkah pemerintah dengan mempercepat belanja pemerintah harus didukung dengan tetap menunjukkan cara-cara yang yang taat dan transparan.
“Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah terbaik dalam koridor kebijakan yang tersedia, tetapi kita berhadapan dengan masalah yang sifatnya sistemik, bukan domestik. Tak ada kebijakan tunggal yang bisa menahan arus ekonomi global yang bergolak sekeras ini,” ujar Iwan.
Dampaknya kini nyata di lapangan. Pendapatan korporasi tumbuh lebih lambat, margin usaha menipis, dan sejumlah proyek investasi ditinjau ulang. Daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan harga energi dan pangan. “Uji ketahanan terbesar bagi negara berkembang sejak krisis keuangan 2008. Indonesia masih berdiri kokoh, tetapi fondasinya kini diuji oleh arus global yang tidak menentu,” ujar Iwan.
Namun di tengah tekanan yang terus membesar, kesadaran baru mulai tumbuh, bahwa dunia tak bisa terus berjalan dengan logika kompetisi dan ego ekonomi. “Negara-negara besar harus mulai menyadari bahwa kebijakan mereka menimbulkan efek sistemik bagi negara lain. Dalam ekonomi yang saling terhubung, tanggung jawab moral juga harus melampaui batas negara,” kata pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto.
Indonesia kini berdiri di tengah pusaran dunia yang penuh pertarungan kepentingan, antara perebutan pengaruh politik, perdagangan, dan sumber daya. Namun dalam posisinya yang moderat, Indonesia memilih jalan Tengah, menyerukan keseimbangan, menegakkan prinsip non-blok, dan membuka ruang dialog yang rasional di tengah polarisasi dunia.
Keterbukaan ekonomi dan diplomasi yang berimbang menjadi dasar untuk memperjuangkan kepentingan nasional tanpa menutup diri terhadap kerja sama global. Melalui forum-forum internasional, diplomasi ekonomi Indonesia kian berperan sebagai jembatan antara utara dan selatan, antara industri maju dan pasar berkembang, antara kekuatan modal dan keadilan sosial.
Namun di atas semua itu, 2025 menjadi ujian bagi nurani dunia. Untuk Indonesia, ini bukan sekadar persoalan menjaga pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang mempertahankan ruang hidup bagi bangsa-bangsa yang sedang tumbuh agar tetap bisa bernapas di tengah sistem global yang makin menekan.
Sudah saatnya para pemimpin dunia menurunkan ego dan menghentikan kompetisi kebijakan yang saling melukai. Negara-negara berkembang membutuhkan waktu dan ruang untuk beradaptasi, untuk tumbuh, dan untuk menghirup angin perekonomian yang adil dan berkelanjutan.
“Jika dunia terus bergerak dengan logika yang hanya menguntungkan segelintir negara, maka krisis berikutnya bukan soal angka, tapi soal kemanusiaan. Negara berkembang butuh oksigen agar tetap hidup dalam sistem global, bukan dibiarkan sesak oleh kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi mereka,” ujar Suroto.
Pemerintah Indonesia telah berlayar dengan arah yang benar, menjaga disiplin fiskal, menahan defisit, dan memperkuat fondasi ekonomi domestik. Namun laut global sedang bergolak, dan gelombangnya tidak bisa dihadapi sendirian.
Yang dibutuhkan kini bukan hanya strategi ekonomi, melainkan kebijaksanaan global: keberanian untuk menenangkan dunia yang kehilangan keseimbangannya, dan kemurahan hati untuk memberi ruang bagi negara-negara berkembang menghirup udara kemajuan. [DWI]








Discussion about this post