• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Indonesia Di Tengah Badai Dunia

November 3, 2025
in News
Home Collective Idea News
Share on FacebookShare on Twitter

Reporter : DWI ILHAMI
Editor : ESTI FITRIA WULANDARI

RM.id Rakyat Merdeka – Pemerintah telah menavigasi ekonomi dengan arah yang benar. Namun arus global terlalu kuat untuk dihindari.

Perlambatan ekonomi global kembali terasa di awal 2025. Kenaikan harga energi dan gangguan pasokan internasional membuat biaya produksi meningkat di banyak negara. Di saat bersamaan, kebijakan suku bunga tinggi yang dipertahankan Amerika Serikat dan Eropa menahan arus investasi ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Tekanan eksternal yang berlangsung berkepanjangan itu mulai menguji ketahanan ekonomi nasional yang selama ini tumbuh stabil.

Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah menjalankan kebijakan ekonomi dengan disiplin dan kehati-hatian. Defisit fiskal dijaga agar tetap terkendali, inflasi ditahan melalui kombinasi kebijakan harga dan subsidi, serta konsumsi domestik dijaga agar roda ekonomi terus berputar. Langkah-langkah itu membuat Indonesia relatif tangguh ketika banyak negara lain mulai goyah. Namun 2025 membawa tantangan baru, bukan karena kesalahan arah, melainkan karena arah angin dunia yang berubah drastis.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook1, April 2025 mencatat bahwa pergeseran arah kebijakan ekonomi global berpotensi memicu pengetatan likuiditas secara mendadak serta arus modal keluar, tekanan yang paling terasa di negara-negara berkembang. Ketegangan geopolitik yang belum mereda di Ukraina dan Timur Tengah, serta perlambatan ekonomi Tiongkok, memperburuk situasi global yang sudah rapuh.

Bank Dunia dalam Global Economic Prospects2, Juni 2025 melaporkan bahwa disrupsi rantai pasok dan fragmentasi perdagangan masih menjadi beban utama bagi pertumbuhan global. Kenaikan harga minyak dan bahan pangan mendorong inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia, yang sejak lama mengandalkan konsumsi domestik sebagai penopang utama pertumbuhan. Dampaknya mulai terasa dalam bentuk peningkatan biaya produksi, inflasi impor, dan melemahnya daya beli masyarakat.

Tekanan itu semakin berat karena kebijakan moneter negara-negara maju belum melunak. OECD Economic Outlook 20253 menegaskan bahwa risiko gangguan arus modal kini meningkat tajam di negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat dan Eropa memperkuat dolar serta menekan nilai tukar mata uang negara berkembang. Modal asing keluar dari pasar keuangan, biaya pembiayaan proyek meningkat, dan investasi baru cenderung tertahan.

Menurut Ernst & Young (EY) Global Economic Outlook4, Juni 2025, aktivitas ekonomi dunia hanya akan tumbuh secara moderat dan tidak merata akibat ketegangan dagang, kenaikan imbal hasil obligasi, serta ketidakpastian kebijakan yang ekstrem. Dunia kini bergerak di bawah awan ketidakpastian, dan setiap perubahan arah kebijakan di negara besar dapat mengguncang perekonomian negara lain, termasuk Indonesia.

Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Kebijakan fiskal dijalankan dengan disiplin, koordinasi antara lembaga keuangan diperketat, dan cadangan devisa dijaga di atas ambang aman. IMF menilai bahwa Indonesia tetap menunjukkan permintaan domestik yang kuat serta kehati-hatian fiskal di tengah ketidakpastian global. Artinya, Indonesia telah menempuh semua langkah rasional dan terukur, namun badai global tidak memilih korban. Tekanan eksternal menimpa hampir seluruh ekonomi dunia, dan Indonesia kini ikut menanggung gelombangnya.

Pengamat ekonomi dan Dewan Pakar Sahita Institute Iwan Nurdin mengatakan sinyalemen Menteri Keuangan Purbaya yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Juli-September 2025 melambat, nyaris tak terbantahkan. Oleh karena itu, menurut dia, langkah pemerintah dengan mempercepat belanja pemerintah harus didukung dengan tetap menunjukkan cara-cara yang yang taat dan transparan.

“Pemerintah sudah melakukan langkah-langkah terbaik dalam koridor kebijakan yang tersedia, tetapi kita berhadapan dengan masalah yang sifatnya sistemik, bukan domestik. Tak ada kebijakan tunggal yang bisa menahan arus ekonomi global yang bergolak sekeras ini,” ujar Iwan.

Dampaknya kini nyata di lapangan. Pendapatan korporasi tumbuh lebih lambat, margin usaha menipis, dan sejumlah proyek investasi ditinjau ulang. Daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan harga energi dan pangan. “Uji ketahanan terbesar bagi negara berkembang sejak krisis keuangan 2008. Indonesia masih berdiri kokoh, tetapi fondasinya kini diuji oleh arus global yang tidak menentu,” ujar Iwan.

Namun di tengah tekanan yang terus membesar, kesadaran baru mulai tumbuh, bahwa dunia tak bisa terus berjalan dengan logika kompetisi dan ego ekonomi. “Negara-negara besar harus mulai menyadari bahwa kebijakan mereka menimbulkan efek sistemik bagi negara lain. Dalam ekonomi yang saling terhubung, tanggung jawab moral juga harus melampaui batas negara,” kata pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto.

Indonesia kini berdiri di tengah pusaran dunia yang penuh pertarungan kepentingan, antara perebutan pengaruh politik, perdagangan, dan sumber daya. Namun dalam posisinya yang moderat, Indonesia memilih jalan Tengah, menyerukan keseimbangan, menegakkan prinsip non-blok, dan membuka ruang dialog yang rasional di tengah polarisasi dunia.

Keterbukaan ekonomi dan diplomasi yang berimbang menjadi dasar untuk memperjuangkan kepentingan nasional tanpa menutup diri terhadap kerja sama global. Melalui forum-forum internasional, diplomasi ekonomi Indonesia kian berperan sebagai jembatan antara utara dan selatan, antara industri maju dan pasar berkembang, antara kekuatan modal dan keadilan sosial.

Namun di atas semua itu, 2025 menjadi ujian bagi nurani dunia. Untuk Indonesia, ini bukan sekadar persoalan menjaga pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang mempertahankan ruang hidup bagi bangsa-bangsa yang sedang tumbuh agar tetap bisa bernapas di tengah sistem global yang makin menekan.

Sudah saatnya para pemimpin dunia menurunkan ego dan menghentikan kompetisi kebijakan yang saling melukai. Negara-negara berkembang membutuhkan waktu dan ruang untuk beradaptasi, untuk tumbuh, dan untuk menghirup angin perekonomian yang adil dan berkelanjutan.

“Jika dunia terus bergerak dengan logika yang hanya menguntungkan segelintir negara, maka krisis berikutnya bukan soal angka, tapi soal kemanusiaan. Negara berkembang butuh oksigen agar tetap hidup dalam sistem global, bukan dibiarkan sesak oleh kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi mereka,” ujar Suroto.

Pemerintah Indonesia telah berlayar dengan arah yang benar, menjaga disiplin fiskal, menahan defisit, dan memperkuat fondasi ekonomi domestik. Namun laut global sedang bergolak, dan gelombangnya tidak bisa dihadapi sendirian.

Yang dibutuhkan kini bukan hanya strategi ekonomi, melainkan kebijaksanaan global: keberanian untuk menenangkan dunia yang kehilangan keseimbangannya, dan kemurahan hati untuk memberi ruang bagi negara-negara berkembang menghirup udara kemajuan. [DWI]

Source News 

Previous Post

Simposium Nasional Soal Industri Hijau

Next Post

Gerakan Rakyat Melawan Imperialisme Global di Tengah Tatanan Multipolar

Editorial

Editorial

Discussion about this post

Follow Us

  • Unpacking the ASEAN-Canada Free Trade Agreement (ACAFTA): Risk and Threats of Investor Lawsuit to State for People, Environment, and Democracy

ASEAN and Canada are currently negotiating ASEAN - Canada Free Trade Agreement (ACAFTA). This agreement is central for Canada to respond the current geopolitical situation, particularly in relation to competition for securing access to critical minerals.

One of key concerns of CSOs and Communities is the inclusion of the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) mechanism which has repeatedly been used by multinational corporations to sue governments over public interest policies including the ones aimed at protecting the environment, indigenous rights, and public health.

In light of this concern, there is a pressing need to raise awareness and build capacity among civil society organizations and grassroots communities across ASEAN and Canada to critically discuss and examine the ACAFTA process and content.

Indonesia CSO Coalition for Economic Justice, Focus on the Global South, FTA Watch Thailand, Third World Network, AFTINET, Transnational Institute, and Canadian Centre for Policy Alternatives are hosting the webinar on:

Date: Thursday, 30 October 2025
Time: 19:00-21:00 Jakarta/Bangkok | 20:00-22:00 Malaysia/Manila | 08:00-10:00 Ottawa

Please register via bit.ly/AseanCanadaWebinar. Interpretation will be available in Indonesian and Thai.
  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute