• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Transformasi Digital Di G20 Hanya Mendorong Monopoli Data Oleh Perusahaan Digital Raksasa

Rachmi Hertanti (*

January 30, 2024
in Article
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Pertemuan G20 dibawah kepemimpinan Indonesia membawa tiga prioritas isu yang diklaim dapat menjawab persoalan krisis multidimensional di dunia hari ini. Tiga isu tersebut yaitu: Pertama, Arsitektur Kesehatan global; Kedua, transformasi digital; dan ketiga, transisi energi.

Terkait dengan isu digital sendiri, dibahas secara spesifik di dalam Kelompok Kerja Digital Ekonomi yang dipimpin oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada tiga isu yang dibahas yaitu: pertama, konektivitas digital atau tepatnya pembangunan infrastruktur digital; Kedua, keahlian dan literasi digital; dan ketiga, data lintas batas dengan kepercayaan (CBDF with trust) dan aliran data bebas dengan kepercayaan (DFF with trust)

Namun, agenda prioritas ini sekali lagi hanya bertujuan untuk menjadi ‘jualan’ pemerintah indonesia untuk kembali menarik investasi masuk ke Indonesia. Misalnya saja, pembahasan isu konektivitas digital menghasilkan suatu kebutuhan agenda pembangunan infrastruktur yang lebih massif di daerah pedesaan dan terpencil dengan mendorong adanya smart villages dan smart island inititive. Agenda pembangunan Konektivitas digital ini untuk memastikan tidak ada satupun wilayah di dunia tidak terjangkau dengan jaringan internet sehingga akselerasi digital bisa tercapai. Karena ke depan, semua kegiatan ekonomi akan terdigitalisasi, yang hari ini saja sudah dirasakan banyak sekali perubahan dalam kehidupan sehari-hari karena teknologi digital.

Lalu, pembahasan mengenai keahlian dan literasi digital diarahkan pada bagaimana masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan digital yang ada. Pemahaman dan pembiasaan penggunaan internet dan aplikasi digital untuk semua kegiatan sehari-hari menjadi target penting hari ini. Misalnya saja yang paling sering dipakai seperti aplikasi jasa transportasi Gojek, grab, tiket.com. Kemudian, aplikasi market place dimana masyarakat bisa belanja secara daring seperti Lazada, Shopee, Tokopedia. Bahkan untuk Pendidikan juga ada ruang guru. Di sector pertanian juga ada tanihub, tukangsayur.co, sayurbox. Penggunaan social media menjadi penggunaan tertinggi di masyarakat seperti youtube, facebook, Instagram, podcast. Dan, yang hari ini menjadi target adalah aplikasi jasa pinjaman kredit, seperti pay later dan aplikasi pinjol lainnya semakin marak dimanfaatkan oleh masyarakat

Dari sini sebenarnya sangat jelas, bahwa forum G20 itu sedang membahas potensi ekspansi bisnis dan pasar yang lebih luas lagi, dan menarget masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil untuk menjadi lebih konsumtif. Namun, yang menjadi kunci dari penargetan masyarakat dari kegiatan digital dalam kehidupan sehari-hari adalah mengenai DATA yang dihasilkan setiap hari dari penggunaan aplikasi digital. Inilah yang menjadi persoalan mendasar dari transformasi digital.

Dengan perkembangan teknologi digital, model perekonomian telah berubah total. Hari ini, DATA adalah sumber bahan baku utama dari ekonomi dunia. Lalu, pertanyaannya kemudian adalah, untuk apa data tersebut digunakan? Yang paling utama adalah tujuan dari penggunaan data itu sendiri, yang akan menentukan nilainya, serta efek positif dan negatifnya bagi individu dan masyarakat.

Data yang dihasilkan dari aktivitas masyarakat sehari-hari dalam penggunaan aplikasi, web browsing, atau bahkan internet of things devices yang menggunakan sensor (seperti, smart home tv, kulkas, biometric, dan mobil pintar),  akan disimpan disuatu sistem ruang penyimpanan data (server) dan kemudian diproses oleh sebuah sistem data analytic yang akan menghasilkan sebuah sistem kecerdasan buatan (artificial intelligent), yang pada akhirnya akan bisa memprediksi perilaku manusia. Dari hasil analisis kecerdasan buatan, maka produk data dapat digunakan untuk membuat kebijakan untuk masyarakat ataupun analisis pasar yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mentarget konsumen.

Di sisi efek negatif, pihak yang mengontrol data dapat memanipulasi pengalaman dan opini melalui penggunaan alat ekonomi dan perilaku yang dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan bagi masyarakat. Dengan cara ini, dapat menimbulkan penyalahgunaan data. Diskriminasi juga dapat muncul dalam hal gender dan ras, karena data dan algoritme mungkin bias.

Data ada yang bersifat dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi. Semua itu pada akhirnya akan memberikan nilai keuntungan tersendiri dari hasil penambahan nilai pada data melalui pengolahan data mentah untuk mengubahnya menjadi kecerdasan digital (produk data).

Hari ini perusahaan digital raksasa telah menjadi pihak yang diuntungkan dari transformasi digital. Melalui aplikasi digital dan infrastruktur digital yang dimiliki, mereka lah yang meng-kontrol data hari ini, dibandingkan dengan negara. Misalnya, Google, Apple, Amazon, Facebook, pemiliknya telah menjadi orang terkaya didunia menggeser industry tambang.

Tentunya, untuk menjaga kepentingannya, perusahaan digital raksasa menginginkan agar data bisa bergerak secara bebas. Bahkan menghendaki hilangnya segala hambatan pergerakan data lintas batas negara. Dalam prakteknya, bagi negara berkembang hampir semua data disimpan di luar wilayah negara. Hal ini karena penguasaan jaringan internet dan penguasaan pusat penyimpanan data dikuasai oleh perusahaan digital raksasa yang mayoritas ada di AS, Eropa, dan China.

Oleh karena itu, perusahaan digital raksasa menginginkan adanya aturan yang dapat menjamin kepentingan bisnis mereka yang terlindungi dalam sebuah rezim aturan global. Saat ini perusahaan digital besar di AS telah melobby pemerintahnya untuk membuat dan menyepakati sebuah aturan digital di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang Bernama Perjanjian E-commerce. Bahkan, dalam berbagai perundingan perjanjian perdagangan bilateral dan regional juga didesak agar Bab perdagangan digital yang memuat ketentuan free flow of data dapat disepakati.

Namun, mayoritas negara berkembang masih merasa bahwa isu ini harus dibahas secara hati-hati. Mengingat ketentuan ini dapat berpotensi merugikan kepentingan pembangunan ekonomi negara berkembang karena ketentuan tersebut dapat membatasi akses dan control terhadap data oleh negara. Beberapa proses pembahasan mengenai ketentuan liberalisasi data di WTO dan FTA juga mengalami stagnasi. Dalam laporan UNCTAD 2021 juga telah ditegaskan bahwa pengaturan tata Kelola pergerakan data di dalam perjanjian internasional bukanlah tempat yang tepat karena data tidak bisa disamakan dengan perdagangan barang dan jasa.

Dalam pertemuan G20, isu free flow of data juga menjadi prioritas pembahasan. Salah satu proposal yang ditawarkan dalam G20 adalah tentang agenda Data Free Flow with Trust. Proposal ini diajukan saat pertemuan G20 di Osaka, Jepang, tahun 2018. Tapi pembahasannya juga masih belum mencapai kesepakatan mengingat negara berkembang di G20 seperti India, Afrika Selatan, dan Indonesia berkeberatan dengan konsep yang diusung, walaupun telah menyematkan kata “trust”. Dalam pertemuan G20 di Bali, isu Cross-Border data flow with trust masih belum bisa menghasilkan sebuah komitmen konkrit untuk seluruh anggotanya.

Bagi kelompok masyarakat sipil, forum G20 juga bukan yang tepat untuk menyepakati kerangka hukum tata Kelola data global. Hal ini karena, G20 bukanlah sebuah institusi internasional yang resmi untuk Menyusun standar global dan kemudian dapat memaksakannya kepada negara berkembang dan negara kurang berkembang lainnya di dunia.

Untuk itu, pembahasan membentuk kerangka hukum internasional mengenai tata Kelola data global harus dibahas dan disepakati di dalam sebuah institusi internasional yang lebih absah dan mengikat negara, serta berbasis pada prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia jauh dari kontestasi monopoli data oleh perusahaan digital raksasa.****

***

*) Rachmi Hertanti
Peneliti Transnational Institute
Anggota Dewan Pengawas Sahita Institute (HINTS)


Referensi:

  1. G20 Digital Economy Ministerial Meeting Chairs’ Summary 2022
  2. G20 Bali Leaders Declaration 2022
  3. Parminder Jeet Singh, IT for Change, “Cross-Border Data Flow with Data Rights”, September 2022
  4. UNCTAD Digital Economy Report 2021, “Cross-Border Data Flows and Development: For Whom the Data Flow?”
Previous Post

Pengelolaan Laut Afrika Selatan Dalam Memperkuat Kepentingan Nasional dan Pengaruh Internasional

Next Post

The Song Remaining The Same

Editorial

Editorial

Follow Us

  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto
  • Perang tarif/dagang antar negara yang dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat yakni Donald Trump telah mengakibatkan berbagai dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat.

Dalam berbagai rilis berita, mulai banyak terjadi PHK yang dilakukan oleh pabrik garmen dengan alasan efisiensi dan penurunan ekspor akibat dinaikkannya tarif impor oleh Amerika Serikat. Belum lagi dampak lainnya yang akan terus terjadi dan meluas di sektor lainnya.

Lagi-lagi masyarakat lah yang akan terkena dampak langsung akibat kebijakan perang dagang antar negara. Diperlukan solidaritas sesama masyarakat yang kuat untuk menghadapi berbagai ancaman yang akan terjadi kedepan.
  • Hingga saat ini semenjak diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi akhir Oktober 2024, belum tampak rencana dan proses pembahasan UU Ketenagakerjaan yang baru sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Padahal UU Ketenagakerjaan baru sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum dan memastikan hak buruh dapat segera terpenuhi dengan perlindungan dan kepastian hukum.

Proses pembuatan UU Ketenagakerjaan baru juga harus melibatkan berbagai pihak terutama serikat buruh agar dapat memastikan bahwa UU Ketenagakerjaan baru benar-benar melindungi buruh bukan sekedar pengganti UU lama namun isinya tetap merugikan buruh.

Dan mengawal proses pembuatan UU Ketenagakerjaan baru ini merupakan tugas bersama kita.
  • Digital Trade Justice Training: Building Cross-Sectoral Understanding and Action in South East Asia, May 5-7 2025, Bogor – Indonesia.

Several countries in South-East Asia are actively engaged in free trade negotiations that include binding digital trade chapters—such as the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), the Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF), and bilateral agreements with the EU and other developed economies. 

The resulting digital provisions risk further restricting national policy space and deepening digital dependency, with little regard for local development needs, worker protections, or democratic oversight. From the marginalization of informal workers by platform monopolies to the erosion of policy space for public digital innovation, the digital trade regime is exacerbating existing inequalities. Yet these issues remain obscure and technical, often excluding civil society and trade unions from meaningful participation.

Purpose of the Workshop aims to build the capacity of civil society organisations and trade unions in South-East Asia to critically engage with digital trade rules. By unpacking how these rules are crafted and who they benefit, we seek to deepen collective understanding and develop a shared political economy analysis of this issue. The goal is to foster resistance strategies that centre worker rights, economic justice, and digital sovereignty.
  • Sebagai informasi, perundingan IEU CEPA telah berlangsung sejak 2016 dan telah melalui 19 putaran. Perjanjian ini bersifat komprehensif, mencakup isu-isu strategis seperti perdagangan barang dan jasa, investasi, pengadaan publik, harmonisasi regulasi, serta kerja sama pembangunan kapasitas.

Pemerintah dan Uni Eropa menargetkan proses negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA) rampung pada Semester I 2025 seperti dilansir dalam beberapa portal berita.

Sementara itu berbagai kritik telah dilancarkan dalam perundingan yang tertutup tersebut. Sangat dikhawatirkan bahwa Perjanjian IEU CEPA justru akan membawa dampak buruk bagi masyarakat Indonesia.
  • May Day... May Day...

Selamat Hari Buruh Internasional.

Hanya dengan membangun solidaritas dan perjuangan kelas yang mampu mewujudkan perdamaian dunia.

Dunia yang adil tanpa eksploitasi dan penindasan
  • Dalam retorika dan pidato-pidato mengenai Nasionalisme yang sering dilontarkan Presiden Prabowo, praktek yang terjadi justru bertolak belakang. 

Seperti yang ramai belakangan ini, rencana penghapusan kuota impor dan revisi TKDN juatru akan melemahkan kedaulatan dan ketahanan industri kita. 

Nasionalis kok justru membuka keran impor seluas-luasnya Mr. President??

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute