Pertemuan G20 dibawah kepemimpinan Indonesia membawa tiga prioritas isu yang diklaim dapat menjawab persoalan krisis multidimensional di dunia hari ini. Tiga isu tersebut yaitu: Pertama, Arsitektur Kesehatan global; Kedua, transformasi digital; dan ketiga, transisi energi.
Terkait dengan isu digital sendiri, dibahas secara spesifik di dalam Kelompok Kerja Digital Ekonomi yang dipimpin oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ada tiga isu yang dibahas yaitu: pertama, konektivitas digital atau tepatnya pembangunan infrastruktur digital; Kedua, keahlian dan literasi digital; dan ketiga, data lintas batas dengan kepercayaan (CBDF with trust) dan aliran data bebas dengan kepercayaan (DFF with trust)
Namun, agenda prioritas ini sekali lagi hanya bertujuan untuk menjadi ‘jualan’ pemerintah indonesia untuk kembali menarik investasi masuk ke Indonesia. Misalnya saja, pembahasan isu konektivitas digital menghasilkan suatu kebutuhan agenda pembangunan infrastruktur yang lebih massif di daerah pedesaan dan terpencil dengan mendorong adanya smart villages dan smart island inititive. Agenda pembangunan Konektivitas digital ini untuk memastikan tidak ada satupun wilayah di dunia tidak terjangkau dengan jaringan internet sehingga akselerasi digital bisa tercapai. Karena ke depan, semua kegiatan ekonomi akan terdigitalisasi, yang hari ini saja sudah dirasakan banyak sekali perubahan dalam kehidupan sehari-hari karena teknologi digital.
Lalu, pembahasan mengenai keahlian dan literasi digital diarahkan pada bagaimana masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan digital yang ada. Pemahaman dan pembiasaan penggunaan internet dan aplikasi digital untuk semua kegiatan sehari-hari menjadi target penting hari ini. Misalnya saja yang paling sering dipakai seperti aplikasi jasa transportasi Gojek, grab, tiket.com. Kemudian, aplikasi market place dimana masyarakat bisa belanja secara daring seperti Lazada, Shopee, Tokopedia. Bahkan untuk Pendidikan juga ada ruang guru. Di sector pertanian juga ada tanihub, tukangsayur.co, sayurbox. Penggunaan social media menjadi penggunaan tertinggi di masyarakat seperti youtube, facebook, Instagram, podcast. Dan, yang hari ini menjadi target adalah aplikasi jasa pinjaman kredit, seperti pay later dan aplikasi pinjol lainnya semakin marak dimanfaatkan oleh masyarakat
Dari sini sebenarnya sangat jelas, bahwa forum G20 itu sedang membahas potensi ekspansi bisnis dan pasar yang lebih luas lagi, dan menarget masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil untuk menjadi lebih konsumtif. Namun, yang menjadi kunci dari penargetan masyarakat dari kegiatan digital dalam kehidupan sehari-hari adalah mengenai DATA yang dihasilkan setiap hari dari penggunaan aplikasi digital. Inilah yang menjadi persoalan mendasar dari transformasi digital.
Dengan perkembangan teknologi digital, model perekonomian telah berubah total. Hari ini, DATA adalah sumber bahan baku utama dari ekonomi dunia. Lalu, pertanyaannya kemudian adalah, untuk apa data tersebut digunakan? Yang paling utama adalah tujuan dari penggunaan data itu sendiri, yang akan menentukan nilainya, serta efek positif dan negatifnya bagi individu dan masyarakat.
Data yang dihasilkan dari aktivitas masyarakat sehari-hari dalam penggunaan aplikasi, web browsing, atau bahkan internet of things devices yang menggunakan sensor (seperti, smart home tv, kulkas, biometric, dan mobil pintar), akan disimpan disuatu sistem ruang penyimpanan data (server) dan kemudian diproses oleh sebuah sistem data analytic yang akan menghasilkan sebuah sistem kecerdasan buatan (artificial intelligent), yang pada akhirnya akan bisa memprediksi perilaku manusia. Dari hasil analisis kecerdasan buatan, maka produk data dapat digunakan untuk membuat kebijakan untuk masyarakat ataupun analisis pasar yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk mentarget konsumen.
Di sisi efek negatif, pihak yang mengontrol data dapat memanipulasi pengalaman dan opini melalui penggunaan alat ekonomi dan perilaku yang dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan bagi masyarakat. Dengan cara ini, dapat menimbulkan penyalahgunaan data. Diskriminasi juga dapat muncul dalam hal gender dan ras, karena data dan algoritme mungkin bias.
Data ada yang bersifat dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi. Semua itu pada akhirnya akan memberikan nilai keuntungan tersendiri dari hasil penambahan nilai pada data melalui pengolahan data mentah untuk mengubahnya menjadi kecerdasan digital (produk data).
Hari ini perusahaan digital raksasa telah menjadi pihak yang diuntungkan dari transformasi digital. Melalui aplikasi digital dan infrastruktur digital yang dimiliki, mereka lah yang meng-kontrol data hari ini, dibandingkan dengan negara. Misalnya, Google, Apple, Amazon, Facebook, pemiliknya telah menjadi orang terkaya didunia menggeser industry tambang.
Tentunya, untuk menjaga kepentingannya, perusahaan digital raksasa menginginkan agar data bisa bergerak secara bebas. Bahkan menghendaki hilangnya segala hambatan pergerakan data lintas batas negara. Dalam prakteknya, bagi negara berkembang hampir semua data disimpan di luar wilayah negara. Hal ini karena penguasaan jaringan internet dan penguasaan pusat penyimpanan data dikuasai oleh perusahaan digital raksasa yang mayoritas ada di AS, Eropa, dan China.
Oleh karena itu, perusahaan digital raksasa menginginkan adanya aturan yang dapat menjamin kepentingan bisnis mereka yang terlindungi dalam sebuah rezim aturan global. Saat ini perusahaan digital besar di AS telah melobby pemerintahnya untuk membuat dan menyepakati sebuah aturan digital di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang Bernama Perjanjian E-commerce. Bahkan, dalam berbagai perundingan perjanjian perdagangan bilateral dan regional juga didesak agar Bab perdagangan digital yang memuat ketentuan free flow of data dapat disepakati.
Namun, mayoritas negara berkembang masih merasa bahwa isu ini harus dibahas secara hati-hati. Mengingat ketentuan ini dapat berpotensi merugikan kepentingan pembangunan ekonomi negara berkembang karena ketentuan tersebut dapat membatasi akses dan control terhadap data oleh negara. Beberapa proses pembahasan mengenai ketentuan liberalisasi data di WTO dan FTA juga mengalami stagnasi. Dalam laporan UNCTAD 2021 juga telah ditegaskan bahwa pengaturan tata Kelola pergerakan data di dalam perjanjian internasional bukanlah tempat yang tepat karena data tidak bisa disamakan dengan perdagangan barang dan jasa.
Dalam pertemuan G20, isu free flow of data juga menjadi prioritas pembahasan. Salah satu proposal yang ditawarkan dalam G20 adalah tentang agenda Data Free Flow with Trust. Proposal ini diajukan saat pertemuan G20 di Osaka, Jepang, tahun 2018. Tapi pembahasannya juga masih belum mencapai kesepakatan mengingat negara berkembang di G20 seperti India, Afrika Selatan, dan Indonesia berkeberatan dengan konsep yang diusung, walaupun telah menyematkan kata “trust”. Dalam pertemuan G20 di Bali, isu Cross-Border data flow with trust masih belum bisa menghasilkan sebuah komitmen konkrit untuk seluruh anggotanya.
Bagi kelompok masyarakat sipil, forum G20 juga bukan yang tepat untuk menyepakati kerangka hukum tata Kelola data global. Hal ini karena, G20 bukanlah sebuah institusi internasional yang resmi untuk Menyusun standar global dan kemudian dapat memaksakannya kepada negara berkembang dan negara kurang berkembang lainnya di dunia.
Untuk itu, pembahasan membentuk kerangka hukum internasional mengenai tata Kelola data global harus dibahas dan disepakati di dalam sebuah institusi internasional yang lebih absah dan mengikat negara, serta berbasis pada prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia jauh dari kontestasi monopoli data oleh perusahaan digital raksasa.****
***
*) Rachmi Hertanti
Peneliti Transnational Institute
Anggota Dewan Pengawas Sahita Institute (HINTS)
Referensi:
- G20 Digital Economy Ministerial Meeting Chairs’ Summary 2022
- G20 Bali Leaders Declaration 2022
- Parminder Jeet Singh, IT for Change, “Cross-Border Data Flow with Data Rights”, September 2022
- UNCTAD Digital Economy Report 2021, “Cross-Border Data Flows and Development: For Whom the Data Flow?”