• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Belajar kolektif Koalisi MKE Pada Isu Digital

January 30, 2024
in Article
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta – Pada Jumat 24 Maret 2023, Sahita Institute (Hints) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) mengadakan “Belajar Kolektif Pada Isu Digital”. Diskusi ini diadakan karena pesatnya perkembangan teknologi dan fasilitas digital, terus meluas dan semakin nyata mendorong perubahan-perubahan pada banyak hal. Semua sektor tengah menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Seperti pedang bermata dua, dampak yang ditimbulkan senantiasa memberikan dua sisi yang seringkali kontradiktif. Pada satu sisi memberikan dampak yang positif atau sangat membantu, tetapi pada sisi lain juga memberikan dampak negatif atau dapat merugikan khususnya masyarakat.

Diskusi ini diikuti oleh lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi MKE seperti Fian Indonesia, IGJ, KPR, Solidaritas Perempuan (SP), SP Farkes, Access Now, dan juga Kaoem Telapak. Masing-masing lembaga tersebut juga mewakili berbagai sektor dan komunitas dalam memandang isu digital. Diskusi sangat interaktif dengan berbagai tanggapan dan pandangan dari peserta yang hadir.

Dalam pembukaan diskusi tersebut, Olisias Gultom dari Hints menyampaikan bahwa “Isu digital terus berkembang dan memang tidak pernah habis didiskusikan dan perlu memang di antara kita berdiskusi saling membagi perkembangan pengetahuan tentang itu karena dalam situasi yang seperti sekarang selalu ada yang baru. Yang kedua ketika saya di Bali waktu itu ketemu dengan beberapa teman dari beberapa negara ternyata mereka mengalami hal yang juga sama seperti di kita bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang digitalnya ternyata suka berada pada level yang berbeda-beda ini diantara komunitas”. “Dan harapannya dalam diskusi kali ini bisa saling memperkuat, dan kita berharap mungkin teman-teman di dalam proses ini nanti kita mendapatkan gagasan-gagasan dan inspirasi inspirasi baru”.

Selanjutnya Olisias Gultom mengemukakan : “Aku pikir kita mulai dari membahas menyamakan bagaimana kita memahami yang dimaksud dengan digitalisasi. Karena terlalu luas aku mengacu ke beberapa perjanjian. Beberapa perjanjian itu menggunakan istilah yang tidak sama ada, yang menggunakan istilah e-commerce, ada yang menggunakan istilah digital trade, ada juga yang menggunakan istilah digital ekonomi. Kalau bagi aku bahasanya yang lebih jelas adalah aktivitas ekonomi yang difasilitasi digital. Aku lebih merasa itu lebih tepat kalau mau kita gunakan karena ada fasilitas di dalam itu. Dalam perkembangannya ada persoalan yang kita listing 11 persoalan yang muncul. Ada 11 poin yang dibahas di dalam perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan isu digital”.

Sementara itu Galesh dari Access Now berpendapat, “Sebenarnya realita di negara ini di mana pemerintah dan hukumnya tuh sampah”. “Ketika kita bicara digitalisasi aku sepakat tadi Bang olis sudah bilang negara akan selalu terlambat, bukan cuman terlambat mereka bahkan tidak punya kerangka untuk memahami teks atau digitalisasi ini seperti apa dan dalam modus per akhir hari ini mereka justru menjadi operator untuk kepentingan mereka. Tadi udah ditunjukin ada berbagai di Indonesia berapa banyak yang cuman buat cuci duit”.

Muslim Silaen dari IGJ juga menyampaikan. “Bagaimana sebenarnya digitalisasi ini bekerja. Apakah dia sekedar misalkan memberikan format-format kita kepada aktivitas manual sebelumnya, kemudian Bagaimana posisi data dan bagaimana posisi infrastruktur di situ, serta bagaimana digitalisasi itu menjadi lebih sempurna”

Namun, Fian Indonesia yang diwakilkan oleh Shabia memiliki pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan digitalisasi berkaitan dengan pertanian/pangan. “Itu sedang diterapkan di pertanian juga, bahwa ketika mereka sudah enggak bisa akses konten yang tidak premium gitu untuk tahu pestisida apa sih yang cocok, nanti mereka harus diarahkan untuk konten yang premium gitu. Dan nanti malah tentunya bisa terjadi ketergantungan karena konten premium. Akhirnya kelompok taninya aja yang beli sama-sama kan makin wajib”.

Diskusi yang bertepatan dengan acara berbuka puasa ini pada akhirnya harus ditutup dengan menyepakati secara bersama-sama akan terus melakukan berdiskusi, berbagi pengalaman dan pengetahuan akan perkembangan isu digital yang dialami oleh setiap sektor. Diskusi ini, selain dalam rangka menambah dan memperkuat pengetahuan diantara MKE, juga akan menjadi bahan awal dalam melakukan advokasi, setidaknya pembangunan narasi yang dianggap penting oleh koalisi.

Penulis : Ramadhan Rizki

Previous Post

Perkembangan perundingan Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF)

Next Post

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Menyerukan Penolakan terhadap I-EU CEPA saat Bertemu dengan Parlemen Uni Eropa

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute