• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Indonesia Di Bawah Bayang-bayang Kolonialisme Baru Uni Eropa

December 17, 2024
in Publication
Home Collective Idea Publication
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, 7 Desember 2023. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi (MKE), mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa dengan berpegangan pada prinsip-prinsip utama dalam kerjasama Internasional sesuai dengan Konstitusi. Indonesia-EU CEPA berpotensi bertentangan dengan prinsip pengutamaan perlindungan HAM, kedaulatan ekonomi rakyat, dan pemenuhan prinsip demokrasi.

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS), menjelaskan bahwa dalam konteks kedaulatan ekonomi, Indonesia-EU CEPA hanya akan bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang telah berkomitmen untuk merealisasikan transformasi ekonomi Indonesia dengan menciptakan ekonomi berdaya saing tinggi melalui agenda penghiliran industri nasional. Aturan di dalam Indonesia-EU CEPA akan meliberalisasi berbagai aspek yang dibutuhkan oleh industry kecil dan menengah Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut seperti pelarangan kewajiban kandungan lokal (tingkat kandungan dalam negeri/TKDN), liberalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menghilangkan prioritas pada industry kecil dan menengah, pelemahan peran BUMN, dan melarang pembatasan ekspor untuk kewajiban pengolahan dalam negeri.

“Indonesia sedang dibawah bayang-bayang kolonialisme gaya baru yang dilakukan melalui Indonesia-EU CEPA. Komitmen pemerintah untuk memproteksi industry nasional, khususnya industry yang berbasis ekonomi kerakyatan, akan terancam jika Perjanjian perdagangan bebas seperti Indonesia-EU CEPA melarang penerapan aturan tentang pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban pengolahan dalam negeri, serta pensyaratan kandungan lokal. Jika perjanjian semacam ini ditandatangani hari ini oleh Presiden Jokowi, tentunya Indonesia harus menyesuaikan kebijakan nasionalnya dengan isi perjanjian tersebut. Dan dalam waktu jangka Panjang ke depan, Pemerintah Indonesia tidak dapat mengamandemennya atau harus berhadapan dengan berbagai gugatan perdagangan internasional.”, tegas Olisias.

Rachmi Hertanti, Peneliti Transnational Institute, menjelaskan bahwa dalam konteks agenda hilirisasi industry untuk produksi baterai listrik yang digadang-gadang Pemerintah, Indonesia-EU CEPA hanya akan berkontradiksi dengan berbagai kebijakan proteksi industry yang telah diterapkan oleh Indonesia selama ini. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kebijakan yang melindungi industry rakyat dan hal ini tidak cocok dengan semangat Indonesia-EU CEPA yang mendorong liberalisasi secara luas.

Uni Eropa adalah negara yang menentang keras kebijakan Indonesia mengenai pelarangan ekspor mineral mentah untuk menjalankan kewajiban pengolahan di dalam negeri. Dan Indonesia telah kalah atas gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait dengan kebijakan tersebut. Peneliti Koalisi MKE dari Transnational Institute, Rachmi Hertanti, menjelaskan salah satu tujuan utama Uni Eropa mendesak perluasan Kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara ASEAN, Latin Amerika, dan Afrika adalah untuk mengamankan rantai pasokan sumber mineral penting untuk Pembangunan industrinya terutama sejak Komisi Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang EU Critical Raw Material Act (CRMA). Tentunya, Indonesia-EU CEPA akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis EU tersebut agar dapat mengakses bahan baku penting di Indonesia.

“EU akan memerangi peraturan perdagangan yang “tidak adil” terkait mineral penting, khususnya penghapusan pembatasan ekspor mineral mentah dan penerapan bea ekspor yang selama ini diterapkan Indonesia, termasuk pelemahan peran BUMN yang berperan sentral dalam agenda hilirisasi industri. Jika ketentuan ini Kembali disepakati tentu akan sulit bagi pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan ekonominya dan Kembali berpotensi digugat di WTO dan arbitrase internasional melalui mekanisme Investor to State Dispute Settlement (ISDS)”, terang Rachmi

Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), menjelaskan Indonesia-EU CEPA yang menjadi cara untuk mempercepat hilirisasi nikel akan mengancam sumber daya pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Ditambah lagi dengan UU Cipta kerja dan ada Upaya untuk melemahkan undang-undang pesisir di Mahkamah Konstitusi oleh Perusahaan tambang nikel di pulau wawoni. “Indonesia-EU CEPA adalah cara untuk mengeruk sumber daya pesisir laut khususnya mineral kritis yang akan menghancurkan pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga berdampak pada nelayan skala kecil dan komunitas pesisir di Indonesia”, tegas Marthin.

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, menambahkan Bab perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Indonesia-EU CEPA hanya akan terus membuat ketergantungan Indonesia pada Uni Eropa sebagai negara asal korporasi multinasional yang memiliki kemajuan teknologi. “Bab ini mencerminkan kepentingan UE dalam memberikan perlindungan kepada korporasi multinasional atas monopoli teknologi dan penemuan baru teknologi, termasuk kontrol distribusi dan harga. Dengan aturan ini Pemerintah Indonesia tidak dapat mengakses pengetahuan tersebut untuk kepentingan transisi industrinya di segala bidang, khususnya Kesehatan dan pertanian termasuk untuk mendukung produksi teknologi hijau yang dibutuhkan saat ini. Bahkan, perlindungan HAKI terkait dengan digital teknologi dilakukan melalui aturan kerahasiaan pemrosesan data melalui kode sumber (source code). Kode sumber (source code) dilindungi untuk aspek bisnis, bukan untuk keamanan dan keselamatan Masyarakat”, terangnya.

Koalisi juga menegaskan bahwa Indonesia-EU CEPA hanya akan menghilangkan jaminan Perlindungan HAM bagi rakyat. Perundingan Indonesia-EU CEPA memprioritaskan Perlindungan Hak Pengusaha/Investor asing dibanding Hak Rakyat. Berbagai ketentuan dalam Indonesia-EU CEPA hanya akan memberikan kemudahan fasilitas investasi dan memberikan perlindungan investor melalui ketentuan sengketa investasi.

Herman Abdulrohmah, Ketua Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), menjelaskan bahwa untuk memperlancar agenda hilirisasi industry Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja melalui (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022). Kebijakan ini telah merugikan buruh, petani, dan nelayan, termasuk memperdalam kerusakan lingkungan. “Pemerintah Indonesia akan mendasarkan pengikatan komitmennya dalam Indonesia-EU CEPA dengan merujuk pada undang-undang Cipta Kerja. Untuk itu, Indonesia-EU CEPA hanya akan kembali melegitimasi kemerosotan perlindungan HAM untuk rakyat baik di Indonesia maupun di Uni Eropa”, tegas Herman.

Koalisi MKE berharap Pemerintah Indonesia tidak memanfaatkan momentum Pemilu 2024 untuk memuluskan deal bisnis dalam Indonesia-EU CEPA yang terbukti merugikan kepentingan rakyat secara luas. Bahkan, Koalisi MKE juga mengkritisi ketiga kandidat Capres-Cawapres yang membicarakan tentang agenda hilirisasi industry tanpa mengkritis perjanjian perdagangan bebas yang tidak sesuai dengan semangat kedaulatan ekonomi rakyat dan bertentangan dengan kepentingan industry kecil dan menengah serta memarjinalkan pengutamaan produk lokal. Sudah seharusnya penguatan industry lokal dilakukan tanpa liberalisasi ekonomi yang dilegitimasi oleh perjanjian perdagangan internasional, serta melakukan review seluruh perjanjian perdagangan internasional yang dimiliki Indonesia.


Tags: Jaringan Koalisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE)
Previous Post

Transisi Hijau Yang Menempatkan Pekerja Sebagai Pusatnya

Next Post

Rebut Demokrasi Sejati Dalam Mewujudkan Transformasi  Yang Adil Dan Berdaulat

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute