Sikap Terhadap Pemilu 2024
(Disarikan dari Pernyataan Sikap Kesatuan Perjuangan Rakyat – KPR)
Melihat kondisi ekonomi dan politik secara struktural memberikan gambaran kepada kita bahwa tidak akan banyak perubahan dalam skema pemerintahan lima (5) tahun mendatang. Secara struktural kita dapat melihat bahwa politik Indonesia adalah bias atau tidak memiliki keberpihakan politik kelas. Adapun panggung politik yang ada, tidak lebih pada upaya mengutak-atik kemungkinan pihak elit mengatur kue investasi diantara sesama mereka.
Kita akan melihat dalam Pemilu 2024 tidak terdapat kepentingan rakyat yang mendasar. Janji selama ini soal kesejahteraan dan sebagainya, itu hanya sampai pada janji. Pengkhianatan janji yang selalu dilakukan pada setiap periode kekuasaan. Rangkaian proses lima tahunan menuju pemilu 2024 memperlihatkan sekali lagi tiada agenda rakyat didalamnya. Dengan masifnya gerakan rakyat menolak RUU Cipta Kerja, RUU KUHP, RUU KPK, RUU IKN, RUU Kesehatan dan banyak kebijakan, posisi rezim penguasa sejak 2019 hingga 2022 sama sekali bertolak belakang dengan kepentingan rakyat.
Perkembangan ekonomi dan politik di Indonesia selama 10 tahun terakhir tidaklah berbeda. Meskipun ada naik turunnya masalah pasar, kebijakan fiskal dan moneter, serta upaya liberalisasi untuk meningkatkan investasi, pertumbuhan ekonomi tetap stagnan karena mengutamakan pembangunan berbasis investasi dan utang. Draft Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 telah menetapkan visi “Indonesia EMAS 2045” dengan target meningkatkan kontribusi PDB dari sektor Kemaritiman dan Industri Manufaktur, serta transformasi ekonomi melalui industrialisasi dan hilirisasi industri. Namun, agenda RPJPN cenderung lebih mengutamakan kebutuhan rantai pasok global daripada komoditas kebutuhan lokal, dan pengelolaannya dikuasai oleh elit yang lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dalam pengaturan investasi.
Sehingga perubahan politik dan ekonomi yang terjadi secara struktural dalam lima tahun ke depan tampaknya akan tetap dalam skema lama, yang tidak memihak kepada rakyat. Isu tentang jaminan sosial, penguatan ekonomi rakyat, distribusi kepada alat produksi tanah dan laut tiada sama sekali kepentingan rakyat, mengikuti agenda RPJPN disatu sisi dan kepentingan kroni ekonomi di sisi yang lain, di sambungkan dengan tren dan desakan globalisasi dan tren kapitalisme global.
Keadilan sosial yang seharusnya ditegakkan melalui penegakan hukum dan pemerataan akses sosial masih jauh dari terwujud. Ketidaksesuaian antara janji dan kenyataan pasca Pemilu semakin memperdalam kesenjangan antara kelas proletar dan elit borjuasi. Pilihan Capres-Cawapres pada Pemilu tidak menawarkan solusi konkret terhadap masalah ekonomi politik Indonesia. Ketiga kandidat calon presiden tidak menunjukkan keseriusan dalam menangani masalah seperti kapitalisme, neoliberalisme, dan ketidakadilan ekonomi. Kita membutuhkan figur alternatif yang berani dan tegas, serta mampu menerapkan nilai-nilai konstitusi. Namun, figur semacam itu tidak akan muncul tanpa dukungan rakyat yang sadar dan terorganisir.
Wajah politik saat ini mencerminkan hasil dari proses politik yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir, yang disertai dengan apatisme. Sehingga, penting bagi Gerakan rakyat untuk mengungkap kebusukan yang dilakukan oleh seluruh kontestan pemilu baik caleg dan capres, menunjukkan rasionalitas politik dengan membeberkan fakta-fakta kejahatan terhadap rakyat para kontestan baik Capres ataupun caleg-caleg yang didukung partai.
Kendali demokrasi elit dan partai politik dapat dilihat didalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perubahan aturan melalui MK untuk memuluskan omnibuslaw cipta kerja akhirnya juga dilakukan untuk merubah UU Pemilu untuk penyekenggaraan pemilu 2024. Hal inilah yangbmembuat mekanisme prosedural dalam demokrasi di buat sesuai kebutuhan penguasa melalui UU Partai politik dan UU Pemilu.
Pemilu 2024: Demokrasi Prosedural Elit Politik Indonesia
Problem Pemilu yang selama ini dikritik adalah pembatasan ruang demokrasi bagi rakyat (pemilu borjuis), dan hanya upaya legitimasi atas kekuasaan elit semata melalui proses demokrasi yang prosedural. Makanya syarat menjadi peserta Pemilu dibuat begitu sulit, dan adanya ambang batas presiden 20% sehingga calon-calon yang hadir adalah calon-calon problematis (Oligarki, pelanggar HAM, pengusung politik identitas, dsb) yang akan semakin memuluskan eksploitasi kapital. Dalam hal ini negara Kembali hanya menjadi sebuah komite untuk mengatur urusan-urusan elit borjuasi.
Problem demokrasi yang terus menerus dipelihara oleh rezim untuk mempertahankan status quo adalah problem demokrasi bagi rakyat, bagi aktivis pro demokrasi. Kebebasan berpendapat, berideologi, mengeluarkan pikiran tidak pernah dilindungi dan dijamin oleh negara pada prakteknya. Begitu juga dalam politik, demokrasi politik di Indonesia adalah demokrasi yang hanya boleh (baca=dibatasi) berideologi agamis dan nasionalis, yang termanifestasi pada ideologi partai politik di Indonesia. Akan tetapi baik partai yang mengaku agamis dan nasionalis itu masih berwatak kelas yang sama, sama-sama kelas borjuasi yang mendominasi. Partai politik peserta Pemilu dominan tidak mempunyai bangunan sistem politik yang benar dan merakyat. Tidak menerapkan demokrasi itu sendiri dalam tubuh partai. Selama cara-cara yang tidak demokratis masih dilanggengkan, selama itu pula demokrasi tidak tercapai.
Sepanjang partisipasi pemilu dilandaskan pada kepentingan pragmatis prosedural Pemilu, maka jalannya demokrasi tak berubah. Jauhnya tempat rakyat dan tempat elit politik dan partai politik borjuasi telah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang jauh pula dari suara-suara rakyat. Tidak ada pilihan lain bagi rakyat selain menggerakkan dirinya sendiri merebut demokrasi sejati dengan memperjuangkan langsung hak-hak dasarnya secara ekonomi dan politik. Sehingga keterlibatan pemilu tanpa mekanisme melalui kemungkinan rakyat menagih janji dan komitmen politik ketika terlibat dalam pemilu maka jeratan pemilu prosedural tanpa kontrol rakyat hanya akan menghasilkan komitmen-komitmen yang rapuh.
Posisi Politik Gerakan Rakyat Dalam Pemilu 2024
Dalam Pemilu 2024, kondisi gerakan sosial saat ini stagnan dan tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Seruan-seruan dari golput maupun intervensi sebenarnya tidak mengindikasikan adanya agenda yang jelas dalam gerakan sosial. Narasi-narasi yang berkembang dalam ruang publik tidak mengatasi problem-problem struktural yang dihadapi rakyat, seperti Omnibus Law, pendidikan, reforma agraria, lingkungan, dan demokrasi sejati. Bahkan, beberapa kelompok yang sebelumnya bagian dari gerakan sosial justru mendukung salah satu calon dan terlibat dalam memainkan narasi tandingan hanya untuk menjatuhkan salah satu lawan kandidat Capres dengan melegitimasi isu HAM dan demokrasi.
Gerakan rakyat tidak boleh membiarkan pemilu didominasi oleh elit borjuasi. Organisasi rakyat harus turut serta mempengaruhi konsep politik dan kesadaran massa, serta tidak boleh menjadi apatis terhadap intervensi pemahaman politik yang dibutuhkan. Evaluasi terhadap pemilu sebelumnya perlu dilakukan untuk membongkar kelemahan sistem, dan gerakan rakyat harus aktif dalam memberikan pendidikan politik kepada massa serta membangun rivalitas politik melalui gagasan dan program gerakan.
Bagi gerakan rakyat, partisipasi dalam Pemilu haruslah aktif dan terencana. Rakyat tidak boleh apatis terhadap proses ini, tetapi harus memahami skema penyelenggaraan pemilu dan turut serta dalam setiap tahapannya. Penting untuk menyampaikan program Revolusioner yang bisa mungkin dilakukan rakyat. Tanpa proses politik yang membawa aspirasi dan peran rakyat secara menyeluruh, maka kepentingan rakyat dalam pemilu hanya akan menjadi komoditas kampanye kontestan tanpa menegaskan bahwa rakyat memiliki pilihan lain untuk menjalankan demokrasi dan kehidupan sosial rakyat.
Wujudkan Agenda Politik Gerakan Rakyat Indonesia
Pemilu merupakan agenda jangka pendek, namun seperti gerakan sosial lainnya, gerakan rakyat butuh melihat untuk memanfaatkan ruang-ruang tersebut. Kebutuhan gerakan sosial di Indonesia harus bertransformasi menjadi gerakan politik dan mendorong sebuah kelahiran partai alternatif. Pertanyaan tentang gerakan golput tidak dapat dilokalisir menjadi massa yang terorganisir, capaian secara gerakan terhadap pilihan melakukan intervensi ketikan momen pemilu dan pertanyaan lainnya. Refleksi atas gerakan rakyat sudah harus beranjak dari gerakan yang penting menunaikan kewajiban menuju level merealisasikan tujuannya dalam mencapai program-program untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Dominasi partai politik borjuasi yang sebagian besar orang-orangnya adalah kelas pengusaha dan pemodal harus dilawan dengan kekuatan gerakan rakyat demokratik. Gerakan rakyat demokratik adalah persatuan gerakan rakyat kelas-kelas di dalam masyarakat yang termarjinalkan,tertindas, dan terjajah. Dengan membangun barisan pelopor persatuan strategis yang menghimpun basis-basis organisasi rakyat. Mereka dipersatukan oleh pemikiran dan kebutuhan yang sama atas perlawanan terhadap kapitalisme. Gerakan rakyat harus sadar akan posisi kelasnya, dan membangung agenda gerakan rakyat sendiri.
Pemilu bukanlah tujuan, pemilu sebagai mekanisme demokrasi adalah sebuah ruang untuk menghadirkan kemungkinan gerakan rakyat menyediakan program-program kesejahteraan rakyat. Gerakan rakyat harus mengambil peran dan mengintervensi proses politik di tengah-tengah rakyat serta siap dalam membangun rivalitas politik melalui tarung gagasan juga program-program gerakan.
Rakyat masih dominan terhegemoni oleh partai politik borjuasi, dengan kesadaran pragmatis dan oportunis, mereka mendukung/memilih partai politik ataupun paslon capres dalam ranah yang tampak di permukaan, dalam kerangka berpikir pragmatis pula, tidak mengulitinya sampai ke dalam, karena masyarakat masih terjebak dalam politik pencitraan yang di dalamnya mengandung bayi yang bernama Otoritarianisme. Dan itu adalah tugas sejarah gerakan rakyat yang sadar untuk menyadarkan rakyat lainnya yang belum sadar. Selama Indonesia tidak meluruskan sejarah dari demokrasi itu sendiri maka selama itu pula Indonesia terjebak dalam jeratan penjajahan dan penindasan oleh kapitalisme global.
Gerakan rakyat, terutama Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) akan hadir sebagai misi dalam merasionalisasikan massa rakyat tentang kepentingan rakyat di Pemilu. Hal itu mesti dilakukan sembari membangun pemahaman yang cukup konkrit kepada massa untuk memperluas penyadaran dan pengorganisasian rakyat untuk menjadi sekolah-sekolah politik riil.
Yang dibutuhkan oleh organisasi gerakan rakyat sekarang adalah bagaimana rakyat bisa berpartisipasi dalam organisasi gerakan rakyat, dari level tingkatan perjuangan, seperti mendirikan serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat petani dll. Sebagai wadah persatuan dan perjuangan melawan musuh rakyat yang menjadi biang keladi permasalahan negara. Ini adalah bentuk perjuangan demokratik yang belum meluas dan dominan pada rakyat. Seharusnya gerakan rakyat bisa menghancurkan warisan Orde Baru yang berupa Deideologi,Depolitisasi, dan Deorganisasi.
Penting juga untuk melakukan pendidikan politik secara terus-menerus, bukan hanya pada masa menjelang Pemilu. Gerakan rakyat juga harus mengkritik sistem politik di Indonesia, seperti menggugat (yudicial review) produk politik berupa UU Pemilu dan UU Parpol. Karena UU tersebut telah mereduksi makna dan praktek demokrasi, yang beralih kepada demokrasi borjuasi yang sarat akan korupsi dan menyusahkan rakyat. Sistem politik yang dibangun di Indonesia adalah demokrasi liberal yang mengakomodir kepentingan kapital (modal). Sistem politik di Indonesia tidak berlandaskan kebutuhan demokratik rakyat kelas bawah.
Gerakan rakyat harus terus memperluas kesadaran politik dan mengorganisir rakyat untuk melawan struktur politik yang tidak demokratis. Proses demokratisasi juga harus berlanjut setelah pemilu agar menjadi tahapan dalam mengkualitaskan pemahaman kepada rakyat dalam mencicil pembangunan partai alternatif. ***