oleh: Benni Agung
Perlahan tapi pasti, AI mulai membuat kebanyakan dari kita bergantung padanya. Salah satu yang paling kentara (terlihat) adalah kerja-kerja desain, tidak jarang ketika melihat e-flyer yang bertebaran di sosial media merupakan karya-karya yang dibuat menggunakan AI. Beberapa tahun lalu tidak semua orang bisa, membuat sebuah e-flyer. Meskipun bukan lulusan desain ataupun seni rupa, paling tidak seseorang harus punya akses terhadap perangkat lunak dan menguasai aplikasi seperti Photoshop atau Coreldraw–hanya bagi orang-orang tertentu saja. Hari ini, dengan semakin mapannya AI seperti Stable Diffusion, Dall-E, dan Midjourney, semua orang bisa membuat sebuah karya, salah satunya e-flyer. Cukup masuk ke web-nya, registrasi, memasukan keywords tertentu, dan jadilah karya tersebut. Fenomena itu memunculkan berbagai perdebatan, sama seperti disrupsi-disrupsi lain ketika revolusi teknologi terjadi. Pada satu sisi hal tersebut semakin mempercepat dan mempermudah kerja bagi sebagian orang; tetapi pada sisi lain membuat membuat seseorang terhempas dan kehilangan pekerjaan.
Paling tidak ada dua case yang dapat diamati dari perdebatan yang terjadi akibat intervensi AI dalam kerja-kerja kreatif. Pertama, kemenangan Jason M Allan di tempat pertama, dalam kategori digital arts/digitally-manipulated photography di Colorado State Fair Fine Arts Competition. Peristiwa itu menjadi kontroversial, karena kemenangan gambar karya Allan yang bernama “Théâtre D’opéra Spatial” dibuat menggunakan Midjourney–sebuah sistem AI yang ketika diberikan perintah tertulis akan menghasilkan gambar. Banyak seniman-seniman yang akhirnya memberikan komentar sinis atas peristiwa itu. “Seni sudah mati, Bro. Sudah berakhir. AI menang dan manusia kalah,” “Ini sangat menjijikan…Saya bisa paham bagaimana AI dapat bermanfaat, tapi mengklaim bahwa Anda adalah seniman dengan membuatnya? Jelas bukan.” Masih sangat banyak orang-orang (seniman) yang berkomentar dengan nada serupa (sinis).
Kedua, pada percakapan di twitter ketika masa kampanye menjelang Pemilu di Indonesia misalnya, beberapa orang mengomentari bahkan mengkritik salah satu partai peserta Pemilu agar tidak menggunakan gambar-gambar kampanye yang dibuat oleh AI. Alasannya hampir serupa, hal itu dapat membuat pekerja-pekerja desain terancam. Bahkan ada juga yang menyampaikan bahwa beberapa rekan mereka (pekerja desain) di lay-off–menghemat cost–karena dalam membuat desain-desain di perusahaannya, perusahaan menganggap siapa saja sudah bisa menggunakan AI–tinggal memasukan perintah tertulis di Midjourney, Dall-E, dsb.–dan tidak lagi membutuhkan seorang desain grafis yang expert.
Apa yang dipertaruhkan? Bagaimana reposisi strategis perjuangan kelas pekerja dengan perkembangan AI ini?
— — — —
Workerism, Living Labor-Dead Labor, Labor Proses
Kita akan mengurai persoalan di muka melalui perspektif workerism–filsafat, politik, teori yang lahir di Italia medio 70-an–yang sama-sama menentang kapitalisme seperti varian lainnya dalam marxisme. Perbedaannya dengan marxisme ortodoks yaitu mereka melihat fundamental perkembangan kapitalisme adalah: pekerja. Bukan tersentral pada kapitalisme itu sendiri. Sesuatu yang membuat kita berubah itu bukan sistem, kapitalisme berkembang bukan karena ada peneliti-peneliti libertarian seperti Hayek, Rothbard, Garry Backer, dll., yang menginovasikan kapitalisme menjadi semutakhir sekarang. Bukan!. Menurut workerism, pada dasarnya manusia itu ‘selow-selow aja’; tapi ketika pada suatu saat dia terganggu, dia harus maju, berpikir, menemukan teknologi dst. Sama halnya dengan kapitalisme yang pada dasarnya konservatif, adem-adem saja dengan status-quo dan business as usual-nya; suatu hari ketika rodanya macet, tidak ada lagi profit baru (decline rate of profit)–krisis–ini yang memaksanya untuk inovatif. Sumber kemacetan tersebut datangnya dari mana? Resistensi kelas pekerja.
Ada dua konsep kerja dari segi bentuk: living labor dan dead labor. Living labor adalah kerja yang kreatif yang bisa menciptakan sesuatu tanpa terpaku pada satu hal saja. Beda dengan dead labor yang dikristalisasikan dalam model-model loop–sibernetik/algoritmik, dan bahkan diberlakukan ke dalam teknologi. Marx sendiri menggunakan istilah “art” artistik; yang membuat sebuah kerja menjadi hidup adalah karena dia artistik, artistik dalam artian kreatif–dapat membuat sesuatu di luar koridor dari konvensinya, kebiasaan, bahkan perintah.
“It is true that animals also produce. They build nests and dwellings, like the bee, the beaver, the ant, etc. But they produce only their own immediate needs or those of their young; they produce one-sidedly, while man produces universally; they produce only when immediate physical need compels them to do so, while man produces even when he is free from physical need and truly produces only in freedom from such need; they produce only themselves, while man reproduces the whole of nature; their products belong immediately to their physical bodies, while man freely confronts his own product. Animals produce only according to the standards and needs of the species to which they belong, while man is capable of producing according to the standards of every species and of applying to each object its inherent standard; hence man also produces in accordance with the laws of beauty.” (Marx; 1844)
— — —
Ketika kita bicara tentang kerja dalam teori sosial kritis; kerja dalam konsepsi memiliki variabel yang ada di dalamnya. Proses-proses konkret yang dilakukan pekerja dalam menghabiskan waktu-hidupnya (yang hilang) mengaplikasikan tenaga kerjanya (ada energi yang keluar: mental, fisik), dibantu modal–dead labour yang dipakai untuk bekerja–(mesin, skill, pengetahuan, dst.), terhadap material (bahan dasar, substrat, dst.), untuk menghasilkan sebuah produk (dalam kapitalisme: komoditas). Semisal, Anda masak. Ada waktu yang habis; ada tenaga kerja energi yang digunakan untuk memegang pisau, memotong bawang, menggorengnya; modalnya panci, gas LPG, kompor, pengetahuan Anda; materialnya apa, misal mau masak ayam, materialnya ayam, dan hasilnya adalah ayam balado, ayam goreng, dst. Bagaimana ketika kita melihat itu dalam artistic work’s work process. Sama, proses konkret yang dilakukan pekerja dalam menghabiskan waktu hidupnya, mengaplikasikan tenaga kerjanya, dibantu modal (craft/keterampilan seni, palet, software, dst.), terhadap material (medium)–pemahaman terhadap medium dalam seni menjadi penting. Kalau kita melukis mediumnya kanvas, kalau bikin gerabah maka mediumnya tanah liat, kalau olah tubuh mediumnya adalah badan. Untuk menghasilkan produk akhir: sebuah karya (lukisan, lagu, tarian, patung).
Seni, Medium, dan Materialisme-Dialektis
Seni adalah hasil aplikasi kreativitas manusia-pekerja-hidup melalui works-process terhadap prakondisi-prakondisi material (medium). Sehingga kerja artistik itu mensyaratkan pertama-tama, pemahaman menyeluruh akan medium; namun juga kemampuan imajinatif-kreatif untuk mengeksploitasi titik-titik indecisive/uncertain (i.e. kontradiksi internal materi) untuk menciptakan hal-hal baru, bahkan baru dalam artian yang secara sengaja dilencengkan. Sehingga kerja-kerja artistik itu adalah eksploitasi keterhinggaan (finitude) menuju ketakterhinggaan—realisasi nilai dari materi (kreativitas living labor). Kontradiksi internal medium yang fana membuatnya menjadi wadah (atau “palungan”) bagi lahirnya sublimitas seni absolut.
Medium, tidak hanya kayu, kanvas, kain, dst., tapi juga kode, program, spreadsheet excel, ledger-ledger akuntansi, model bisnis, kurva bell, diagram, uang, cryptocurrency, visual, ide, gagasan, bahasa, tanda, GIF…juga tubuh, dst. Medium juga bisa berupa abstraksi/konsep seperti gender, seksualitas, agama, keyakinan, dst. Seperti misal, karya-karya dataviz Valentina d’Efillippo, mediumnya adalah spreadsheet data puluhan ribu row di convert menjadi karya seni, outputnya bisa dilihat di sini. Dalam konteks medium yang dimainkan adalah: data, grafis, dan warna. Kemudian ada juga Meet Tatsuo Horiuchi, membuat karya seni dari Excel. Mediumnya Excel. Kemudian, Stelarc, seniman dari Australia, dia mengimplan telinga dilengan kanannya. Mediumnya organ tubuh. Terakhir juga karya EEGKISS, EEG sederhananya adalah alat mengukur gelombang otak. Salah satu cara melihat otak kita masih bekerja, microelectric. Setiap aktivitas kita beda-beda. Lancet dan Maal di Jerman orang-orang berciuman, gelombang otak dari aktivitas itu divisualisasikan dijadikan karya seni. Mediumnya adalah korelat neural atau mikro electric yang dikeluarkan oleh otak.
Terdapat juga sebuah kolektif XenoFeminis, dengan nama “Gyne Punk” mereka adalah kolektif seniman yang juga dokter. Mereka bereksperimentasi dengan rahimnya, badannya sendiri. Mereka ingin tahu, “bagaimana caranya ketika sedang PMS tidak menyebalkan, tidak merasa sakit. Ketika melahirkan supaya tidak sakit.” Semua persoalan yang sangat feminim, dilakukan intervensi melalui teknologi, dan itu dijadikan instalasi karya seni. Mediumnya adalah tubuh, rahim, dan hormon.
Balik ke pertanyaan di awal. Apa sih implikasi seni AI terhadap kerja dan pekerja?. Pertama, semua kerja itu adalah kerja artistik sekalipun Anda bukan seniman. Tapi, kalau Anda merasa kerja Anda tidak artistik, karena apa, itu karena ia diringkus dalam rupa-rupa pemodelan: koding dan teknologi. Maka seketika kerja itu menjadi kerja tidak artistik. Sebelum kerja itu di teknologisasi, dimasukkan ke dalam assembly line di dalam kapitalisme, maka itu adalah kerja yang kreatif. Teknologi itu bukan mengambil pekerjaan manusia; teknologi kapitalis merebut potensi kreatif non-kapitalis dari kerja-kerja manusia–yang tidak untuk boss Anda!, itu yang hilang. Karena ketika pulang kerja “Anda sudah lelah. Anda dibuat tidak memikirkan sesuatu diluar bagaimana karir Anda naik.” Kreativitas tetap boleh, sejauh masih dalam koridor yang ditetapkan. Semua kerja itu basically kreatif, kapitalisme yang membuatnya jadi monoton.
SO WHAT?
Kebencian tipikal terhadap seni AI didasari pada pengkultusan dan esensialisasi medium–seolah-olah medium yang paling tinggi, kanvas, tubuh, dsb.– dan pengingkaran hakikat kreatif dari kerja. Padahal medium hanya akan menjadi medium sejauh kreativitas manusia.
Pemahaman dominan mengenai karya seni yang terjebak pada esensialisasi medium–bahkan di kalangan seniman sendiri–sudah tunduk pada wacana resmi/formil, hegemonik, dan teknokratik dari Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) ala negara yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dst. Refleksi ontologis dari perspektif workerism amat penting untuk menghalau kompartementalisasi dari kekuasaan dominan (via pendidikan, ekonomi pengetahuan, dst.) untuk mati-matian mengantisipasi (hedging) ketidakmenentuan zaman demi kepentingan kelas berkuasa. Cult of expertise, etc.
Seni sudah ditaklukan oleh kapitalisme, bukan dengan otomatisasi kerja-seni; pada satu sisi mengkoridorisasi seluruh refleks kreativitas artistik pekerja dalam koridor akumulasi modal (kerja, karir, dst), dan pada sisi lain membentuk kreativitas manusia hanya pada satu medium saja (dengan wacana ekspertis dan spesialisasi). Dengan menaklukan potensi artistik dari kerja, kapitalisme berhasil mencuri masa depan non-kapitalis dari rakyat pekerja sedunia. Kapitalisme kontemporer menyesatkan kita untuk percaya pada kekuatan realitas (medium, nasib, zaman, diri, identitas, dst), seraya mengaburkan potensi perubahan (mutasi, reversible, strayed, hacked, dst), yang selalu melekat dalam realitas, dan mendis-insentif pekerja untuk berkreasi di luar logika pekerja-penyintas (worker-survivor) kapitalisme. Menyadari potensi artistik dari seluruh bentuk kerja di sektor apapun (i.e. potensi untuk menyelewengkan keterampilan, medium, dan waktu kerja), adalah langkah awal. Mengorkestrasikan potensi-potensi, merebut kendalinya secara teknologis secara terorganisir dan strategis adalah hal berikutnya. Pekerja perlu menguasai refleks kreatifnya dan menginfleksinya (mengubah, membelokkan) ke upaya yang hendak mengkooptasi refleks tersebut. Tanpa demikian, refleks artistik/kreatif pekerja akan selalu menjadi liability alias beban bagi perjuangan kelas pekerja.
Daftar Pustaka
Marx, K. 1844. “Economic and Philosophical Manuscripts,” dlm. Early Writings, terj. R. Livingstone & G. Benton (London: Penguin, 1992)