• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Proses Negosiasi Rcep Yang Eksklusif

SERIAL - Catatan Kritis Masyarakat Sipil Terhadap Perjanjian RCEP Bag.1

June 12, 2024
in Article
Home Collective Idea Article
Share on FacebookShare on Twitter

I. Minimnya Partisipasi Publik
Sebagai salah satu perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia, proses perundingan RCEP berlangsung cukup lama. Negosiasi perjanjian ini mulai diluncurkan pada 20 November 2012, putaran pertama perundingan berlangsung pada 13 Mei 2013, dan terus berlanjut hingga putaran perundingan ke-31 pada 7 Juli 2020. Negosiasi RCEP juga melibatkan empat buah Pertemuan Tingkat Tinggi (summit), termasuk saat penandatanganan hasil perjanjian RCEP pada 15 November 2020.

Meskipun perundingan perjanjian ini berlangsung hingga delapan tahun, salah satu masalah utama negosiasi RCEP adalah begitu sedikitnya ruang bagi masyarakat sipil untuk ikut berpartisipasi. RCEP mendapatkan kritik secara luas sebagai perjanjian perdagangan yang dirancang secara eksklusif diantara negosiator-negosiator negara-negara yang terlibat. Sejak awal, Sekretariat ASEAN tidak pernah mengundang kelompok masyarakat sipil untuk berdiskusi dan menjaring pandangan publik mengenai RCEP. Pemerintah Indonesia juga tidak pernah memberikan undangan kepada masyarakat sipil untuk berkonsultasi. Selama delapan tahun negosiasi, Pemerintah Indonesia juga tidak pernah merilis hasil hasil kesepakatan sementara yang telah dicapai dalam RCEP. Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan Pemerintah Uni Eropa yang kerap merilis hasil kesepakatan sementara untuk tujuan diseminasi publik.

Pemerintah Indonesia baru membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil saat Indonesia terpilih menjadi tuan rumah putaran perundingan RCEP. Indonesia mengadakan satu sesi pertemuan antara para negosiator RCEP dengan perwakilan kelompok masyarakat sipil. Setidaknya, Indonesia dua kali menyelenggarakan ruang dialog ini, yaitu saat Putaran Perundingan ke-16 di Tangerang, Jawa Barat, Desember 2016, dan Putaran Perundingan ke-25 di Bali, Februari 2019. Perlu ditekankan bahwa pertemuan ini terjadi karena tekanan dan lobi yang terus-menerus dari kelompok masyarakat sipil, bukan karena ada inisiatif yang datang dari Pemerintah Indonesia sendiri.

Di satu sisi, ruang-ruang dialog seperti ini baik dan merupakan cerminan dari aktivitas serupa yang muncul saat negosiasi berlangsung di Australia, India, dan beberapa negara lain. Di sisi lain, sayangnya, pertemuan-pertemuan ini tidak mencerminkan proses konsultasi yang mendalam dan partisipatif. Salah seorang aktivis masyarakat sipil yang hadir dalam pertemuan di Tangerang menyatakan bahwa pertemuan berlangsung sangat singkat. Pemerintah Indonesia dan para negosiator RCEP hanya menyediakan press release yang sangat umum, seperti peserta-peserta RCEP, berapa lama proses negosiasi, tujuan RCEP untuk memperluas pasar, dan lain-lain.

Proses ini hanya berlangsung satu jam tanpa para negosiator menjawab seluruh pertanyaan peserta masyarakat sipil secara mendetail. Padahal, selama pertemuan tersebut, kelompok masyarakat sipil juga menghadirkan sejumlah petani lokal, nelayan, buruh, dan pasien penyakit tertentu yang akan terdampak negatif akibat RCEP. Pertemuan lebih terkesan seperti sosialisasi yang bersifat satu arah, daripada dialog dua arah yang konstruktif. Lebih jauh, kelompok masyarakat sipil juga mengalami kesulitan dalam menindaklanjuti hasil pertemuan-pertemuan ini. Para negosiator yang dikontak oleh sejumlah aktivis selalu mengatakan “teks hasil perundingan selalu berubah-ubah”.

Akibatnya, masyarakat sipil tidak pernah mendapat bukti apakah concern mereka sudah masuk dalam teks perundingan atau tidak. Selama perundingan berlangsung, baik publik maupun masyarakat sipil juga tidak pernah mendapatkan naskah teks hasil negosiasi dari pemerintah. Baru setelah para Kepala Negara Anggota RCEP menandatangani perjanjian tersebut pada 15 November 2020, teks final negosiasi dirilis secara luas. Transparansi dan kurangnya partisipasi publik merupakan isu yang muncul untuk semua negara RCEP, tidak hanya di Indonesia. Sejak awal, para negosiator RCEP memang tidak mencantumkan referensi apapun mengenai negosiasi dan partisipasi publik dalam dokumen-dokumen resminya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keterlibatan masyarakat sipil hanya muncul ketika ada kesediaan dari negara tuan rumah untuk menyelenggarakan pertemuan dengan aktor-aktor non-negara.

Hal ini muncul saat negara-negara demokrasi menjadi tuan rumah negosiasi, seperti terjadi di Australia, India, dan Indonesia. Sayangnya, hal ini tidak terjadi saat negara-negara seperti Tiongkok, Vietnam dan Singapura menjadi tuan rumah putaran negosiasi. Dalam konteks ini, negosiasi-negosiasi RCEP seolah menjadi saksi dari kegagalan ASEAN untuk menjadi organisasi yang bersifat people-centered. Sebagai sebuah perjanjian ekonomi yang berdampak bagi berbagai lapisan masyarakat, RCEP merupakan perjanjian yang sangat potensial untuk mewujudkan visi ASEAN yang inklusif. Sayangnya, proses – proses negosiasi RCEP seolah menunjukkan bahwa people-centered hanyalah menjadi sekedar retorika dan ASEAN kembali pada karakter awalnya yang elitis.Proses yang baik akan menghasilkan teks perjanjian yang berkualitas.

Sayangnya, selama ini perundingan RCEP abai terhadap partisipasi publik. Padahal, perjanjian ini bukanlah sekedar perjanjian ekonomi yang pasti membawa dampak positif tanpa membawa dampak negatif. Sebagai sebuah perjanjian perdagangan bebas, RCEP pasti membawa dampak distributif; akan ada pihak-pihak yang mendapat untung, sementara sebagian lain mendapatkan kerugian. Publik perlu untuk mendapatkan akses atas kebijakan yang
nantinya berdampak pada kehidupan mereka, sehingga mereka bisa mengantisipasi dan bahkan turut serta dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Proses negosiasi yang eksklusif dan tidak partisipatif inilah yang membuat DPR harus mempertimbangkan kembali usulan Pemerintah Pusat untuk meratifikasi RCEP.

II. Kajian Dampak Versi Pemerintah Jauh Dari Transparansi Publik
Permasalahan lainnya dalam desain kebijakan RCEP adalah minimnya upaya peningkatan daya saing Indonesia. Mengingat RCEP merupakan perjanjian dagang, menjadi hal yang lumrah jika publik mengharapkan pemerintah untuk mempersiapkan produk-produk Indonesia agar mampu menembus pasar luar negeri dan agar bertahan menghadapi kompetitor di pasar domestik. Sayangnya, upaya penyiapan ini masih belum muncul bahkan hingga negosiasi RCEP selesai. Hal ini terlihat dari dua hal, yaitu minimnya kajian analisis dampak RCEP yang bisa diakses publik dan ketiadaan strategi peningkatan daya saing.

Pertama, kajian analisis dampak perjanjian merupakan hal yang wajib dipersiapkan pemerintah sebelum memulai proses perundingan internasional. Analisis seperti ini memberikan gambaran mengenai seberapa baik atau buruk sebuah perjanjian dagang bagi produk ekspor-impor dan pengusaha Indonesia. Idealnya, analisis seperti ini muncul jauh sebelum dimulainya proses negosiasi, karena menjadi justifikasi apakah sebuah negara benar-benar membutuhkan perjanjian dagang atau tidak. Publik juga harus mendapat kesempatan untuk mengakses hasil-hasil kajian ini agar dapat memberikan input bagi pemerintah mengenai potensi-potensi dampak yang muncul bagi berbagai lapisan masyarakat.

Terkait RCEP, sayangnya, Pemerintah Indonesia belum menyajikan analisis dampak yang memadai. Analisis dampak memang ada, tetapi hanya ada sedikit hasil kajian yang bisa diakses publik. Sampai saat tulisan ini dibuat, Pemerintah Pusat hanya memiliki satu dokumen yang bisa diakses publik, yaitu hasil kajian tahun 2015 oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan yang berjudul “Analisis Potensi dan Manfaat Rantai Nilai Kawasan Regional Comprehensive Economic Partnership Bagi Indonesia”. Dalam berbagai rilis resmi di media massa pasca penandatanganan RCEP pada 15 November 2020, pejabat pemerintahan selalu mengutip hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tahun 2019 dan BPPP tahun 2016 bahwa RCEP akan menguntungkan perekonomian Indonesia. Hanya saja, kedua dokumen hasil kajian ini tidak pernah bisa diakses publik. Lebih jauh, dalam sesi tanya jawab seminar “Bedah Bab Trade in Goods (TIG) dan Rules of Origin (ROO) dalam Perjanjian RCEP” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi pada 16 Maret 2021, pejabat Kementerian Perdagangan sendiri mengakui bahwa mereka tidak mempublikasikan feasibility study dan cost and benefit analysis (CBA) terkait RCEP.

Mereka memilih untuk menyosialisasikannya saja pada berbagai kesempatan, yang sayangnya, tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai berapa banyak, kapan, dimana, dan siapa saja peserta dari kegiatan-kegiatan sosialisasi ini. Pandangan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Keadilan Ekonomi menyebutkan bahwa tidak ada sosialisasi dari Pemerintah terkait RCEP, khususnya mengenai hasil analisis awalnya, termasuk informasi teks di dalam proses negosiasi yang berpotensi berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Di sisi lain, dokumen-dokumen penelitian ini juga muncul dalam waktu yang sangat terlambat. Launching negosiasi RCEP sudah berlangsung sejak tahun 2012, tapi penelitian-penelitian baru muncul tahun 2015, 2016, dan 2019. Seharusnya, kajian analisis dampak mulai jauh sebelum dimulainya negosiasi, karena menjadi justifikasi penting bahwa Indonesia membutuhkan atau tidak membutuhkan perjanjian dagang ini. Keterlambatan ini memberi kesan bahwa seolah-olah penelitian akademik hanya menjadi cap stempel pemerintah untuk menjustifikasi validitas perundingan RCEP.

Minimnya penelitian akademik juga problematik karena publik tidak mendapatkan gambaran lengkap mengenai sejauh mana kekompetitifan produk-produk Indonesia dalam RCEP. Sama seperti proses negosiasi RCEP, pemerintah bertahan dengan cara-cara yang eksklusif dan tidak transparan dalam hal kajian/ penelitian/ analisis dampak RCEP terhadap ekonomi Indonesia. Cara-cara seperti ini membuat pemerintah hanya menyuplai publik dengan informasi-informasi selektif yang bernuansa positif terhadap RCEP.

Sebagai contoh, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo mengutip hasil studi BKF Kementerian Keuangan tahun 2019 bahwa partisipasi dalam RCEP akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,05 persen selama periode 2021-2032, dan keluarnya Indonesia dari perjanjian ini akan berakibat turunnya PDB Indonesia sebesar 0,07 persen.(8) Nada positif yang sama juga muncul saat Iman Pambagyo mengutip penelitian BPPP Kemendag tahun 2016 bahwa RCEP akan menyumbang welfare gains sebesar US$ 1,52 miliar. Kutipan data seperti ini, tanpa adanya rilis resmi dokumen penelitian, membuat informasi yang didapat publik menjadi sangat parsial. Data-data seperti ini bersifat agregat dan belum memberikan gambaran riil mengenai bagaimana produk A atau B bersaing dengan produk-produk sejenis dari negara-negara anggota RCEP, produk mana yang mampu memenangkan persaingan, dan produk mana saja yang akan kalah.

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia secara aktif mengonstruksi diskusi publik bahwa RCEP pasti baik untuk perekonomian Indonesia. Di sisi lain, penelitian yang berbeda memberikan hasil analisis yang berbeda mengenai RCEP. Rashmi Banga dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mempublikasikan hasil penelitiannya secara utuh mengenai dampak RCEP terhadap perdagangan negara-negara anggota. Penelitian ini memberikan analisis yang mendetail mengenai keseimbangan neraca perdagangan, volume ekspor-impor, dan produk – produk spesifik tiap negara anggota pasca implementasi RCEP dengan memperhitungkan Sensitive List dan Tariff-Rate Quotas (TRQs) dari rilis teks dokumen resmi RCEP. Penelitian ini menemukan bahwa perbaikan neraca perdagangan justru akan terjadi bagi negara maju, khususnya Jepang dan Selandia Baru.

Jepang akan mengalami peningkatan surplus sebesar US$ 11,9 miliar dan Selandia Baru sebesar US$ 263 juta per tahun. Sementara itu, bagi negara anggota ASEAN, RCEP justru akan memperparah defisit neraca perdagangan mereka sebesar US$ 8,5 miliar per tahun. Malaysia akan menerima defisit paling besar, yaitu US$ 4 miliar, diikuti oleh Kamboja dengan US$ 2,3 miliar. Indonesia sendiri akan mendapat tambahan defisit sebesar US$ 152 juta per tahun. Khusus untuk Indonesia, ekspor memang akan meningkat sebesar US$ 162,5 juta per tahun pasca implementasi RCEP. Hanya saja, peningkatan ekspor ini relatif lebih kecil daripada impor yang akan meningkat sebesar US$ 315 juta per tahun. Produk apparel and clothing membentuk 41 persen dari total peningkatan impor ini, diikuti oleh besi baja sebesar 9 persen dan produk daging 8 persen. Sekitar 71 persen dari produk-produk impor ini berasal dari Tiongkok. Permasalahan kedua terkait dengan strategi peningkatan daya saing. Isu utamanya adalah pemerintah sendiri saat ini masih dalam tahap merancang strategi yang cocok.

Hal ini disampaikan oleh pejabat Kementerian Perdagangan dalam seminar “Bedah Bab TIG dan ROO dalam RCEP” tanggal 16 Maret 2021, dimana pemerintah masih perlu untuk memetakan produk mana yang kompetitif, mana yang membutuhkan perlindungan, bagaimana posisinya dalam rantai pasok di kawasan, dan lain-lain. Rancangan strategi ini juga masih terus berjalan karena setiap produk memerlukan strategi yang berbeda, ada yang menjadi pemasok bahan baku (forward linkage), ada yang akan memanfaatkan bahan baku dari negara RCEP lain (backward linkage), dan beberapa lainnya yang akan ditingkatkan nilai tambahnya. Lagi-lagi, hal ini menunjukkan keterlambatan pemerintah dalam merespons perkembangan atau dinamika regional. Strategi peningkatan daya saing ini seharusnya sudah ada jauh sebelum negosiasi RCEP selesai, sehingga saat RCEP masuk tahap implementasi, Indonesia sudah siap untuk bersaing.

Indonesia memang memiliki Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan dokumen semacam ini bisa menjadi rujukan peningkatan daya saing. Hanya saja, sejauh ini RIPIN hanya menjadi dokumen rujukan Kementerian Perindustrian saja dan tidak menjadi pedoman bagi kementerian/ lembaga lain, padahal isu kekompetitifan merupakan isu lintas sektoral. Dalam observasi sejumlah pengamat, Indonesia sendiri punya banyak pesaing ketat dari negara-negara RCEP lain. Bimo Grahito Wicaksono dari Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa biaya produksi yang tinggi di Indonesia, khususnya untuk biaya logistik dan energi, telah membuat produk-produk Indonesia kesulitan untuk bersaing dengan produk-produk dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand.

Tanpa ada dokumen strategi dan implementasi peningkatan daya saing yang dilakukan segera, posisi Indonesia bisa dengan mudah disusul oleh negara-negara lain, seperti Filipina. Sementara itu, Eny Sri Hartati dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memiliki pandangan senada dengan temuan penelitian Banga, Gallagher dan Sharma di atas. Indonesia mendapat tekanan persaingan ekonomi yang besar dari Tiongkok, yang produk-produknya memiliki similaritas hingga 80 persen dengan produk Indonesia. Apalagi, di masa pandemi covid-19, sektor ekonomi digital tumbuh sangat pesat di Indonesia dengan banyak produknya yang merupakan produk impor asal Tiongkok. Sementara itu, hingga saat ini Indonesia belum punya payung hukum untuk melindungi sektor ekonomi digital Indonesia.


Referensi

  1. Pandangan-pandangan ini diuraikan oleh Rahmi Hartanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), dalam wawancara mendalam pada 23 April 2021, 13.30 – 15.00 WIB secara daring.
  2. Lutfiyah Hanim, Third World Network, dalam seminar “Analisis Dampak HAM terhadap Perjanjian RCEP”, diselenggarakan oleh Indonesia for Global Justice pada 30 November 2020 secara daring, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=vXRvOLjcWXg
  3. Wawancara dengan Rachmi Hartanti, 23 April 2021.
  4. Jane Kelsey, “Reflections on the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) Round in Jakarta”, infojustice.org, 15 Desember 2016, http://infojustice.org/archives/37545
  5. Kementerian Perdagangan, 2015, “Analisis Potensi dan Manfaat Rantai Nilai Kawasan Regional 15 – PROSES NEGOSIASI RCEP YANG EKSKLUSIF BAGIAN 1 KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEADILAN EKONOMI POLICY PAPER – 10/2021 Comprehensive Economic Partnership Bagi Indonesia”, diakses dari http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Analisis_Potensi_Rantai_Nilai_Kawasan_RCEP_Bagi_Indonesia.pdf
  6. Misalnya, lihat pada Tira Santia, “Menelaah Manfaat RCEP Bagi Indonesia”, 24 November 2020, diakses dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/4416706/menelaah-manfaat-rcep-bagi-indonesia; CNN Indonesia, “Pertumbuhan Ekonomi Diklaim Akan Naik 0,05 Persen Berkat RCEP”, 15 November 2020, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201115172105-532-570044/pertumbuhanekonomi-diklaim-akan-naik-005-persen-berkat-rcep
  7. Wawancara dengan Rachmi Hartanti, 23 April 2021.
  8. Tira Santia, “Menelaah Manfaat RCEP”.
  9. Disarikan dari Rashmi Banga, Kevin P. Gallagher, and Prerna Sharma, “RCEP: Goods Market Access Implications for ASEAN”, Global Economic Governance Initiative (GEGI) Working Paper 045, (Boston: Boston University, Maret 2021), diakses dari https://www.bu.edu/gdp/2021/03/24/rcep-goodsmarket-access-implications-for-asean/
  10. Eny Sri Hartati, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dalam seminar Bedah Bab Trade in Goods (TIG) dan Rules of Origin (ROO) dalam Perjanjian RCEP, 16 Maret 2021.
  11. Bimo Grahito Wicaksono, Kementerian Perindustrian, dalam seminar Bedah Bab Trade in Goods (TIG) dan Rules of Origin (ROO) dalam Perjanjian RCEP, 16 Maret 2021.
  12. Eny Sri Hartati, dalam seminar Bedah
Previous Post

Geopolitik Global & Nasionalisme Sumber Daya di Indonesia

Next Post

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute