• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Siaran Pers Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia Hasilkan Komunike Bersama: Pemerintah Prabowo-Gibran Didesak Untuk Perbaiki Tata Kelola dan Mitigasi Dampak Buruk Industri Hilir Nikel Indonesia

October 18, 2024
in Campaign
Home Campaign
Share on FacebookShare on Twitter

Palu/Jakarta, 14 Oktober 2024 – Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang berlangsung pada 9-10 Oktober telah mengeluarkan komunike bersama yang mendesak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.

Komunike bersama menegaskan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan alat semata untuk pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.

Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan. Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas (organisasi masyarakat sipil, Masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus mempertimbangkan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal  dan dampak lingkungan secara lebih serius.

Ketua panitia sekaligus direktur eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan bahwa pertemuan ini sangat krusial dengan kehadiran berbagai organisasi yang aktif dalam advokasi, guna segera mengurangi dampak destruktif dari sektor pertambangan dan industri mineral kritis. “Konferensi dan lokakarya ini telah mengungkap fakta lapangan yang tidak bisa diabaikan, memperjelas komitmen kami untuk bersinergi dalam mengadvokasi isu-isu pertambangan dan industri nikel. Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan.”

“Kami mendesak pemerintah baru Prabowo-Gibran untuk mendengar langsung suara warga terdampak dan segera mengambil langkah nyata dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab. Hilirisasi nikel tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” lanjut Linda.



Proyeksi Kebutuhan Nikel dan Dampak Lingkungan Masih Buram dalam Perencanaan Nasional

Perencanaan kebutuhan nikel di Indonesia belum mendapat kejelasan yang memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk RPJPN, RPJMN, maupun dokumen turunan lainnya. Meskipun industri nikel terus berkembang pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon yang dihasilkan, masih minim. Hal ini terbukti dari lemahnya pengawasan lingkungan terhadap industri ini, yang secara nyata memberikan dampak buruk terhadap ekosistem.

Koalisi ResponsiBank Indonesia menyoroti kondisi yang semakin parah ini karena masifnya pembiayaan pada sektor nikel yang juga didukung oleh regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan pokok transisi energi hijau. “Padahal bank sebagai pemberi pinjaman modal perusahaan memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, tapi dengan eksploitasi ugal-ugalan nikel justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Bank perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan bertanggungjawab yang melaksanakan dukungan kepada terlaksananya pemenuhan HAM dan pelestarian lingkungan,” ucap Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia.

Pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga masih jauh dari kata optimal, terutama di tingkat daerah. Keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi serta tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah semakin mempersulit situasi. Dampaknya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan sering kali tidak berjalan efektif.

Lebih jauh, UU Minerba 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang memusatkan wewenang izin operasi di tingkat pusat, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Mekanisme pemulihan bagi masyarakat terdampak pun kerap mandek, terutama di wilayah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan karena kepemilikan saham dalam industri tambang nikel.

“Industri nikel memang memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi, namun perkembangan pesat sektor ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang masih jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri tambang nikel, justru memperparah krisis lingkungan yang sedang terjadi,” ungkap Meliana Lumbantoruan, Deputi Direktur PWYP Indonesia.

Pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak bisa terwujud dengan lebih efektif.” lanjut Meliana

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS)  menegaskan “Seluruh pemangku kepentingan perlu memperhatikan bahwa praktik-praktik korupsi telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal pada industri ini. Di tambah lemahnya keberpihakan pada akses penghidupan yang layak untuk para perkerja. Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial. Saat ini sangat mendesak harus dilakukan sebelum kesalahan yang lebih besar terjadi dan mengakibatkan kerusakan parah pada semua aspek kehidupan.”

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Ketenagakerjaan yang Diabaikan

Perkembangan pesat industri nikel yang tidak sejalan dengan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kebutuhan energi dan pangan masyarakat di wilayah tersebut. Daya beli masyarakat semakin merosot akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya upaya nyata untuk merehabilitasi lingkungan pasca bencana ekologis, yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan utama, seperti nelayan, dan terbatasnya peluang pekerjaan alternatif bagi masyarakat yang terdampak aktivitas tambang dan hilirisasi nikel.

Fakta bahwa meskipun perusahaan tambang beroperasi di wilayah mereka, kontribusi ekonomi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal nyaris tidak terasa. Keuntungan besar yang diraih perusahaan-perusahaan tersebut diperoleh dengan mengalihkan resiko-resiko dampak sosial dan ekonomi yang terpaksa ditanggung warga sekitar.

Direktur INKRISPENA, Wasi Gede, menekankan bahwa pendekatan kesejahteraan tidak dapat diterapkan berdampingan dengan pendekatan militeristik dan kekerasan yang saat ini dominan di wilayah-wilayah industri nikel. “Tidak mungkin petani, pekerja, atau warga di wilayah tambang dan kawasan2 industri pengolahan mineral kritis akan sejahtera selama pendekatan yang dipakai pemerintah dan dunia bisnis masih tetap mengedepankan militerisme dan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.”

Penguatan masyarakat adat dan masyarakat lokal menjadi krusial dalam menghadapi kehadiran industri mineral kritis di Indonesia. Hal ini terutama penting terkait penyampaian informasi yang jelas mengenai kehadiran industri di kampung dan wilayah mereka. Menurut Rudiansyah dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konsep Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).

“Persoalan hak masyarakat adat dan lokal tidak hanya sebatas ganti rugi lahan, namun juga mencakup pemahaman mendalam tentang mengapa, untuk apa, dan apa akibat dari proyek-proyek industri mineral kritis terhadap kehidupan mereka. Karena pada akhirnya, merekalah yang pertama dan terutama menjadi objek eksploitasi—baik yang sudah, sedang, maupun akan menjadi bagian dari konsesi industri ini,” jelas Rudiansyah.

Dengan begitu, upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi dan mereka mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai dampak industri mineral kritis terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Di sektor ketenagakerjaan, lemahnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menunjukkan kurangnya tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan pekerja. Banyak pekerja yang tidak mendapat perlindungan memadai, sementara regulasi hukum yang ada sudah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan industri. Diskriminasi upah juga mencolok, baik antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mengatakan “Intensitas kerja yang tinggi dengan sistem tiga  shift-tiga regu di industri nikel tidak hanya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai Penyakit Akibat Kerja (PAK). Pekerja sering kali mengalami kelelahan berlebih, gangguan tidur, serta masalah kesehatan kronis seperti gangguan pernapasan dan nyeri otot-sendi, yang diperparah oleh kurangnya penerapan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).” 

“Selain itu, upah yang tidak setara dan minimnya perlindungan kesehatan bagi pekerja, menunjukkan lemahnya kebijakan ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi kesejahteraan mereka. Sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar, masyarakat justru harus menanggung beban sosial dan kesehatan yang semakin meningkat akibat aktivitas industri ini.” Lanjutnya.

Industri nikel yang sedang berkembang di Indonesia merupakan penarik investor, sehingga sektor bisnis yang bekerja di sektor ini mendapatkan banyak dukungan. “Seharusnya aliran dana dari investor tidak hanya memberikan fasilitas kepada perusahaan untuk menggerakkan bisnisnya, tetapi juga memiliki multiplier effect seperti memberikan manfaat ekonomi yang berkeadilan, akses kerja layak, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal yang lebih baik.” kata Herni Ramdlaningrum, dari Koalisi ResponsiBank Indonesia.

Kerusakan Lingkungan, Punahnya Keanekaragaman Hayati, dan Ancaman Kesehatan Serius

“Booming” industri mineral kritis yang dipromosikan sebagai solusi transisi energi ternyata menciptakan krisis baru. Alih-alih beralih ke energi bersih, pemerintah terus memberikan izin untuk pembangunan PLTU batubara captive (off-grid) di dalam kawasan industri nikel. Dimana kita tahu batubara adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim di dunia. tanpa memperhitungkan dampak bencana terhadap lingkungan dan masyarakat. Keputusan ini jelas menunjukkan pengabaian total terhadap keberlanjutan lingkungan.

Dalam konteks ini, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menekankan, “Praktik eksploitasi mineral kritis di Indonesia yang tampak tidak mengenal batas jelas melupakan tantangan krisis yang sedang kita hadapi. Indonesia, bersama dunia, saat ini tidak hanya sedang menghadapi krisis iklim, namun juga krisis biodiversitas dan krisis polusi yang sama-sama dampaknya bersifat lintas batas, saling terkait, dan dengan konsekuensi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang strategi eksploitasi mineral kritisnya untuk tidak memperparah situasi krisis tersebut.”

Aktivitas tambang nikel juga telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran air dan udara yang merusak, serta punahnya keanekaragaman hayati yang menjadi penyangga ekosistem. Kehancuran lingkungan ini bukan hanya ancaman terhadap flora dan fauna, tetapi juga memperbesar potensi bencana ekologis yang tak terhindarkan—seperti banjir, tanah longsor, dan degradasi tanah—yang membuat lingkungan tak lagi layak huni.

Namun, dampak terburuknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Pencemaran yang dihasilkan telah memicu krisis kesehatan yang parah. Penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit yang menyebar luas, iritasi mata, dan sanitasi buruk yang memperparah stunting pada anak-anak adalah bukti nyata. Kesehatan masyarakat dikorbankan demi keuntungan industri, sementara pemerintah pusat atau daerah dan perusahaan seolah menutup mata terhadap penderitaan yang semakin meluas.

Richard Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka mengatakan “praktik-praktik kotor greenwashing jelas-jelas sudah terjadi di Industri nikel. Korban sudah berjatuhan setiap hari, bingkai praktik ramah lingkungan yang digemborkan pemerintah untuk investasi nikel sangat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Kondisi riil di lapangan yang menderita jauh dari kata good mining practice. Yang hadir saat ini di warga adalah krisis air, penyakit pernapasan, banjir dan longsor.”

Narahubung Media :
Annisa N. Fadhilah – Tuk Indonesia, 087884446640
Arie Utami – Indonesia Cerah, 08111770920


Komunike Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bisa diunduh disini
Dokumentasi kegiatan bisa diunduh disini




Organisasi dan masyarakat yang terlibat :

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Auriga NusantaraPerempuan Mahardhika
BEK Solidaritas Perempuan KendariPerhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
BEK Solidaritas Perempuan PaluPusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Tadulako
BEK Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya PosoPWYP Indonesia
CNV InternationaalResponsiBank Indonesia
Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum Universitas IndonesiaSahita Institute – HINTS
Fakawele ProjectSatya Bumi
FIKEP-KSBSISBIMI
Ford FoundationSekretariat Nasional Solidaritas Perempuan
Forest Watch Indonesia (FWI)Solidar Suisse
Forum Ambunu Bersatu (Morowali)SPIM
FPBISPIM-KPBI MOROWALI
FPESPN Morowali
FSPMITara Climate Foundation
ICWTifa Foundation
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)Transparency International Indonesia
Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena)Trend Asia
Institute for National and Democracy Studies (INDIES)TuK INDONESIA
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)WALHI Maluku Utara
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi TengahWALHI Sulawesi Selatan
Koalisi Perempuan IndonesiaWALHI Sulawesi Tengah
Koalisi Save SageaWALHI Sulawesi Tenggara
Konfederasi KASBIYayasan Ambeua Helewo Ruru
KPA Sulawesi TengahYayasan Indonesia CERAH
LBH MakassarYayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU)
Lokataru FoundationYayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)
Masyarakat Desa TompiraYayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah
Masyarakat Komunitas TorobuluYayasan Pikul
Nexus3 FoundationYayasan Tanah Merdeka (YTM)
Previous Post

Melawan Kolonialisme Hijau : Reposisi Geo-Strategis Dunia Selatan untukTransisi yang Adil

Next Post

KOMUNIKE Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia

Editorial

Editorial

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute