Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang diselenggarakan pada 9-10 Oktober 2024 telah menghasilkan komunike bersama yang mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia bagi kelompok sosial terpinggirkan serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.
Komunike bersama tersebut meminta agar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 tidak menjadikan hilirisasi nikel hanya sebagai alat pertumbuhan ekonomi semata. Sebab, realitas di lapangan menunjukkan banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar wilayah hilirisasi nikel.
Kelompok tersebut menyatakan bahwa hilirisasi nikel harus menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, mereka masih meragukan komitmen pemerintah untuk memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.
Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/masyarakat (organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak, dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) tersebut menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus lebih serius memperhatikan hak asasi manusia kelompok sosial terpinggirkan serta dampak lingkungannya.
Ketua Panitia sekaligus Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan konferensi ini sangat penting guna segera mengurangi dampak buruk sektor pertambangan dan industri mineral kritis.
“Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan menghargai hak masyarakat setempat serta perlindungan lingkungan. Kami mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mendengarkan langsung aspirasi warga terdampak dan segera mengambil langkah konkret dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab,” kata Linda dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin, 14 Oktober 2024.
“Hilirisasi nikel seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak-hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” imbuhnya.
Permintaan nikel dan dampak lingkungan
Perencanaan permintaan nikel di Indonesia belum dijelaskan secara memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), atau dokumen turunan lainnya.
Meskipun industri nikel terus tumbuh pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon, masih minim. Hal ini terlihat dari minimnya pemantauan lingkungan terhadap industri tersebut, yang jelas berdampak negatif terhadap ekosistem.
Kelompok yang peduli terhadap pembiayaan sistem perbankan dan industri, Koalisi Tanggap Bank Indonesia, menyoroti memburuknya kondisi ini akibat masifnya pembiayaan di sektor nikel yang juga didukung regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan dasar transisi energi hijau.
“Padahal, perbankan sebagai pemberi modal korporasi memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, namun eksploitasi nikel secara gegabah justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Perbankan perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan yang bertanggung jawab dan mendukung terlaksananya pemenuhan hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan,” kata Herni Ramdlaningrum, aktivis Koalisi Tanggap Bank Indonesia.
Ia mencontohkan, pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga belum optimal, terutama di tingkat daerah. Selain itu, keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi dan tumpang tindih kebijakan antara Jakarta dan daerah juga semakin memperumit keadaan.
“Akibatnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan hidup sering kali tidak efektif.
Terlebih lagi, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memusatkan kewenangan perizinan usaha di tingkat pusat, mempersempit ruang bagi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan,” ujarnya.
Koalisi juga melihat mekanisme pemulihan bagi masyarakat yang terdampak sering kali mandek, terutama di daerah-daerah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan akibat kepemilikan saham di industri pertambangan nikel.
“Industri nikel memegang peranan penting dalam mendukung transisi energi, namun pertumbuhan sektor ini yang pesat harus dibarengi dengan perhatian serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri pertambangan nikel, memperburuk krisis lingkungan yang sedang berlangsung,” kata Meliana Lumbantoruan, Wakil Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Ia berpendapat, pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antarlembaga, baik di pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak dapat terwujud lebih efektif.
Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS), menekankan bahwa semua pemangku kepentingan perlu mewaspadai praktik korupsi yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal dalam industri ini. Ia mencontohkan kurangnya keselarasan dalam hal akses terhadap penghidupan yang layak bagi pekerja.
“Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial. Ini harus segera dilakukan sebelum terjadi kesalahan yang lebih besar dan kerusakan yang lebih parah mengancam seluruh aspek kehidupan,” katanya.