• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Presiden Terpilih Diminta Peduli Masyarakat dan Lingkungan di Industri Hilir Nikel

October 22, 2024
in News
Home Collective Idea News
Share on FacebookShare on Twitter

Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang diselenggarakan pada 9-10 Oktober 2024 telah menghasilkan komunike bersama yang mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia bagi kelompok sosial terpinggirkan serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.

Komunike bersama tersebut meminta agar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024 tidak menjadikan hilirisasi nikel hanya sebagai alat pertumbuhan ekonomi semata. Sebab, realitas di lapangan menunjukkan banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar wilayah hilirisasi nikel.

Kelompok tersebut menyatakan bahwa hilirisasi nikel harus menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, mereka masih meragukan komitmen pemerintah untuk memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.

Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/masyarakat (organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak, dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) tersebut menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus lebih serius memperhatikan hak asasi manusia kelompok sosial terpinggirkan serta dampak lingkungannya.

Ketua Panitia sekaligus Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan konferensi ini sangat penting guna segera mengurangi dampak buruk sektor pertambangan dan industri mineral kritis.

“Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan menghargai hak masyarakat setempat serta perlindungan lingkungan. Kami mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mendengarkan langsung aspirasi warga terdampak dan segera mengambil langkah konkret dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab,” kata Linda dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin, 14 Oktober 2024.

“Hilirisasi nikel seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak-hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama,” imbuhnya.

Permintaan nikel dan dampak lingkungan
Perencanaan permintaan nikel di Indonesia belum dijelaskan secara memadai dalam dokumen strategis nasional, termasuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), atau dokumen turunan lainnya.

Meskipun industri nikel terus tumbuh pesat, perhatian terhadap dampak lingkungan, terutama emisi karbon, masih minim. Hal ini terlihat dari minimnya pemantauan lingkungan terhadap industri tersebut, yang jelas berdampak negatif terhadap ekosistem.

Kelompok yang peduli terhadap pembiayaan sistem perbankan dan industri, Koalisi Tanggap Bank Indonesia, menyoroti memburuknya kondisi ini akibat masifnya pembiayaan di sektor nikel yang juga didukung regulasi yang menempatkan nikel sebagai kebutuhan dasar transisi energi hijau.

“Padahal, perbankan sebagai pemberi modal korporasi memiliki peran sebagai katalisator dan akselerator pembiayaan, namun eksploitasi nikel secara gegabah justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat. Perbankan perlu mengintegrasikan praktik pembiayaan yang bertanggung jawab dan mendukung terlaksananya pemenuhan hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan,” kata Herni Ramdlaningrum, aktivis Koalisi Tanggap Bank Indonesia.

Ia mencontohkan, pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga belum optimal, terutama di tingkat daerah. Selain itu, keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi dan tumpang tindih kebijakan antara Jakarta dan daerah juga semakin memperumit keadaan.

“Akibatnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan hidup sering kali tidak efektif.
Terlebih lagi, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memusatkan kewenangan perizinan usaha di tingkat pusat, mempersempit ruang bagi masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan,” ujarnya.

Koalisi juga melihat mekanisme pemulihan bagi masyarakat yang terdampak sering kali mandek, terutama di daerah-daerah di mana pemerintah daerah memiliki konflik kepentingan akibat kepemilikan saham di industri pertambangan nikel.

“Industri nikel memegang peranan penting dalam mendukung transisi energi, namun pertumbuhan sektor ini yang pesat harus dibarengi dengan perhatian serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri pertambangan nikel, memperburuk krisis lingkungan yang sedang berlangsung,” kata Meliana Lumbantoruan, Wakil Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

Ia berpendapat, pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antarlembaga, baik di pusat maupun daerah. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin, agar kegiatan industri berjalan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak dapat terwujud lebih efektif.

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute (HINTS), menekankan bahwa semua pemangku kepentingan perlu mewaspadai praktik korupsi yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal dalam industri ini. Ia mencontohkan kurangnya keselarasan dalam hal akses terhadap penghidupan yang layak bagi pekerja.

“Pembangunan industri atau hilirisasi harus sejalan dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial. Ini harus segera dilakukan sebelum terjadi kesalahan yang lebih besar dan kerusakan yang lebih parah mengancam seluruh aspek kehidupan,” katanya.

sumber : http:/www.indonesiabusinesspost.com
Previous Post

Sikap Tegas Pemberantasan Korupsi Prabowo-Gibran Syarat Realisasi Hilirisasi Berkedaulatan Rakyat

Next Post

Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia, Palu, Sulawesi Tengah

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute