Jakarta, 21 Oktober 2024. Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Ke-8 (20/10) menekankan fokus kerja yang akan diembannya selama periode 2024-2029, beberapa diantaranya yakni agenda hilirisasi sumber daya alam, swasembada pangan dan energi, dan penggunaan digitalisasi dalam agenda pemberantasan korupsi.
Sahita Institute (Hints) melihat bahwa komitmen pemberantasan korupsi Presiden Prabowo adalah kunci sesungguhnya untuk merealisasikan agenda hilirisasi sumber daya alam di Indonesia guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dan keras! Memastikan birokrasi dalam kabinet Merah Putih yang ‘gemuk’ ini mampu melakukan pelayanannya sesuai tugas dan fungsinya secara bersih dan sinergis serta mengatasi ego antar kabinet dan tradisi birokratis rente adalah sebuah keharusan! Semua itu harus dilakukan secara serius oleh Kabinet Prabowo-Gibran dalam kerjanya lima tahun mendatang, dengan tetap berjalan dalam koridor demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat.
Terkait hal tersebut, Sahita Institute (Hints) memiliki beberapa catatan kritis yang masih menjadi persoalan fundamental khususnya mengenai agenda pembangunan ekonomi melalui hilirisasi industri sumber daya alam dan digitalisasi di Indonesia dalam upaya mendorong agenda prioritas kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Pertama, soal hilirisasi industri. Klaim pemerintah atas agenda hilirisasi sumber daya alam sebagai manifestasi kedaulatan ekonomi Indonesia pada kenyataannya telah menghasilkan model pembangunan ekonomi yang cenderung disetir dan lebih menguntungkan kepentingan oligarki atau elit pengusaha nasional dengan dukungan birokrat berwatak pengusaha dan berpotensi memperkuat praktek perburuan rente. Tentunya ini juga membuat Indonesia akan terjebak pada ekstraksi yang berlebih dan tidak terkontrol yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar belaka dan meninggalkan pencapaian tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat.
Presiden Prabowo dalam pidatonya menekankan bahwa kekayaan alam harus dikelola berdasarkan demokrasi yang berpusat pada kedaulatan rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Ini artinya, penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam oleh negara harus didasari pemahaman sebagai bagian dari kepemilikan rakyat secara kolektif. Penguasaan dan pengelolaan oleh negara pada prakteknya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi kita tahu, bahwa BUMN telah menjadi lembaga yang dikenal korup dan menjadi alat memfasilitasi kepentingan bisnis rente para oligarki yang pada akhirnya membuat keuntungan yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat menjadi tidak terealisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan agenda pembangunan Hilirisasi yang seperti itu sesungguhnya telah melanggar konstitusi.
Jika memang Presiden Prabowo berkomitmen untuk secara berani dan tegas memberantas korupsi di Indonesia, maka sudah seharusnya prioritas agenda yang dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mereorganisasi kelembagaan seluruh BUMN dan mengembalikan pada Mandat Konstitusi yang sejati agar agenda hilirisasi sumber daya alam dapat dinikmati secara adil dan merata bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Kasus-kasus seperti korupsi pada ‘korupsi timah’, ‘korupsi BTS’ dan lainnya harus segera dituntaskan dan dihentikan sebagai wujud nyata janji sebagai presiden dan Wapres serta menteri. Menurut Sahita Institute hal ini adalah adalah kunci penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat.
Kedua, soal digitalisasi. Komitmen Presiden Prabowo memberantas korupsi akan dilakukan dengan pemanfaatan teknologi digital dalam segala proses administrasi dan birokrasi negara. Kami melihat bahwa teknologi digital yang memiliki potensi dan keluwesan yang sangat besar tetapi tetap saja memiliki kelemahan dan ancaman yang harus diwaspadai. Praktek-praktek pemanfaatan digital pada pelayanan publik seperti pendidikan, pelayanan tender (government procrument) selama ini belum terbebas dari praktek koruptif, bias diskrimintif dan sistem pengamanan data yang belum memadai.
Pengaturan dan kontrol terhadap source code, khususnya pada semua pelayanan publik harus dilakukan dalam menjamin kinerja digital yang memadai dan efektif. Perlindungan yang berlebih terhadap source code atas nama kerahasiaan dagang dan hak cipta, hanya akan melahirkan sistem digital yang berpotensi merugikan masyarakat baik akibat bias negatif, algoritma yang merugikan dan pengambilan data serta sistem yang bertentangan dengan kemanusiaan. Bahkan berpotensi melahirkan cara korupsi baru dan pengambilan data strategis.
Indonesia belum memiliki aturan yang tegas mengenai transparansi atas algoritma atau source code. Bahkan, Undang-undang Perlindungan Data Pribadi masih belum cukup untuk dapat menjamin adanya kontrol dan transparansi terhadap source code, khususnya dalam merespon perkembangan massif Artificial Intellegence (AI) yang dikuasai oleh perusahaan teknologi multinasional. Selama ini, berbagai upaya dilakukan untuk meliberalisasi aliran data lintas batas baik di perjanjian perdagangan bebas, WTO, dan G20 cenderung lebih melindungi kepentingan perusahaan teknologi multinasional dalam mengekstraksi data penting, strategis, dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dilakukan dengan menjamin mereka mendulang profit.
Oleh karena itu, jika memang teknologi digital dijadikan kunci dari pemberantasan korupsi di Indonesia, maka seharusnya Presiden Prabowo melakukan agenda prioritas terkait kontrol terhadap sistem digital khususnya pada pelayanan publik, Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Data Pribadi yang melibatkan perwakilan masyarakat didalamnya, serta aturan pemanfaatan digital khususya dalam mengantisipasi perkembangan Kecerdasan Buatan.
******
Kontak Narasumber:
Olisias Gultom
Direktur Sahita Institute (Hints)