Isnawati – Kamis, 5 Desember 2024
STRATEGI.ID – Sejumlah serikat buruh menilai agenda hilirisasi industri yang menjadi agenda prioritas pembangunan Pemerintahan Prabowo-Gibran masih kental dengan praktek eksploitasi pekerja.
Jaminan terhadap perlindungan buruh belum serius dilakukan dan rendahnya upaya penegakan hukum bagi perusahaan yang melanggar pemenuhan hak-hak buruh, termasuk keselamatan buruh.
Hal ini disampaikan pada diskusi publik bertajuk “Hilirisasi dan Perlindungan Buruh” yang berlangsung pada 4 Desember 2024 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Sahita Institute, KASBI, FPBI dan KPR. Diskusi publik turut dihadiri Wakil Menteri Ketenagakerjaan Bpk. Immanuel Ebenezer Gerungan, S.Sos sebagai keynote speaker. Turut juga dihadiri para stakeholder dari kalangan pengusaha, serikat buruh, Kementerian, NGO dan peneliti yang terkait dengan isu hilirisasi.
Hilirisasi tampak menjadi program yang diandalkan oleh Pemerintah Prabowo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan juga meningkatkan nilai tambah serta pembukaan lapangan pekerjaan.
Namun, Framing Paper yang disusun oleh Sahita Institute (Hints), KASBI, FPBI, dan KPR memberikan pandangan kritisnya. Apakah hilirisasi yang dikampanyekan kepada rakyat akan benar-benar terjadi secara berkeadilan sosial? lalu apakah bisa dipastikan rakyat akan menikmati hasilnya?
Bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi Rezim Prabowo-Gibran menjawab ini?
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Republik Indonesia, Immanuel Ebenezer Gerungan, dalam pidato pembukaannya menekankan pentingnya penuntasan segera berbagai persoalan buruh. “Kementerian Ketenagakerjaan secara aktif akan selalu memfasilitasi dialog dengan berbagai pihak, khususnya buruh”, tegas Wamenaker.
Direktur Sahita Institute, Olisias Gultom, menyatakan bahwa agenda hilirisasi dan transisi energi yang dijawab dengan pendekatan pasar hanya akan memperdalam daya rusak bumi dan mengorbankan banyak hal, baik bagi manusia maupun sistem kehidupan di planet bumi.
Karena itu, dibutuhkan agenda pembangunan ekonomi dan industri yang dibangun melalui kedaulatan rakyat dengan membongkar struktur kekuatan kolonial dan neokolonial negara yang mendominasi tatanan ekonomi global saat ini.
“Karenanya pembangunan hilirisasi yang dilakukan seharusnya merupakan pembangunan berbasis kedaulatan ekonomi rakyat melalui proses yang demokratis, baik dalam konteks kontrol terhadap kepemilikan, model produksi dan ekstraksi, distribusi, dan konsumsi.
Hal ini mensyaratkan kehadiran negara yang benar-benar demokratis dan bersih serta seutuhnya menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan mandat kedaulatan rakyat, khususnya pasal 33 UUD RI 1945”, tegas Olisias.
Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI menyoroti “Hilirisasi industri jangan sampai menyebabkan dampak buruk bagi kaum buruh, sehingga banyak yang luka dan cacat, apalagi sampai merenggut nyawa buruh yang diakibatkan karena kelalaianperusahaan dalam hal pelaksanaan K3, fasilitas kesehatan buruk, jam kerja panjang, upah murah, tempat tinggal kumuh, beban kerja berat, intimidasi dan union busting. Sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan ketat dan tegas agar kesejahteraan buruh terjamin dan terlindungi secara maksimal. Sebab tujuan besar dari hilirisasi industri adalah untuk kemakmuran rakyat, utamanya kaum buruh, bukan investor!”
Ardiansah, Sekretaris Jenderal Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) menekankan bahwa Fakta dilapangan yang masih banyak terjadi pelanggaran ketenagakerjaan ini menunjukkan masih belum maksimalnya fungsi pengawas ketenagakerjaan. “Oleh karena itu, kami mendesak agar Hilirisasi industri harus diikuti dengan melakukan penegakan hukum dan aturan yang berlaku, maka menjadi penting bagi pemerintah untuk optimalisasi lembaga pengawasan ketenagakerjaan di bawah kementerian tenaga kerja dan dinas tenaga kerja dari tingkat pusat hingga daerah untuk memastikan pengusaha mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku dan memberi sanksi tegas bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran aturan ketenagakerjaan”, tuntut Ardiansah.
Lebih lanjut dijelaskan, industri hilirisasi mineral mendorong transformasi ekonomi Indonesia yang diarahkan untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari komoditas bernilai tambah rendah menjadi industri bernilai tambah tinggi.
Namun demikian, terdapat keraguan besar apakah Indonesia telah mendapatkan nilai tambah dari industri pengolahan nikel.
Rachmi Hertanti, Peneliti Transnational Institute, menilai bahwa Indonesia masih bergantung pada teknologi dan investasi dari luar.
“Tentunya, tanpa adanya transfer teknologi dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai, serta agenda penelitian dan pengembangan (R&D) yang rendah di industri teknologi tengah atau hilir, seperti sel baterai, Indonesia masih berpotensi terjebak dalam produksi bernilai tambah rendah dan tetap menjadi pemasok bahan baku untuk industri perusahaan transnasional”, tegas Rachmi.
Sebagai penutup, Framing Paper berjudul “Transformasi Ekonomi Berkedaulatan Rakyat dari Perspektif Kelompok Buruh Indonesia” menekankan bahwa Industrialisasi atau hilirisasi yang dilakukan terhadap sumber daya alam, seperti pada pertambangan mineral bagi industri energi harus dapat menjamin terjadinya distribusi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Distribusi tersebut setidaknya perlu memperhitungkan
1. Adanya pemasukan bagi negara secara optimal, yang dilakukan secara efektif dan terbebas dari praktik-praktik koruptif atau manipulatif
2. Terpenuhinya perlindungan dan kesejahteraan yang layak bagi kaum pekerja
3. Memberikan dampak kesejahteraan dan jaminan perlindungan kehidupan bagi masyarakat sekitar atau yang terdampak pada proses industrialisasi yang dilakukan. *****
Source : https://www.strategi.id/nusantara/10414092610/diskusi-publik-bersama-kementerian-ketenagakerjaan-ri-pemerintah-belum-serius-melindungi-buruh-dalam-agenda-hilirisasi?page=3#google_vignette
Discussion about this post