• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Surat Pernyataan Bersama mengenai bahan baku mentah dalam Indonesia-Uni Eropa (EU) CEPA

February 18, 2025
in Campaign
Home Campaign
Share on FacebookShare on Twitter

Organisasi masyarakat sipil dari Eropa dan Indonesia mendesak:

  • EU dan pemerintah Indonesia harus menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA, karena perjanjian tersebut menimbulkan ancaman terhadap lingkungan dan iklim, serta terhadap hak-hak perempuan, Masyarakat Adat, pekerja, petani kecil, dan nelayan.
  • Indonesia harus mempertahankan ruang kebijakannya untuk membangun rantai nilai energi dan bahan bakunya sendiri, termasuk kemampuan pemrosesan dan pemurnian. Bab Energi dan Bahan Baku (Energy and Raw Materials) dalam CEPA akan membatasi kemampuan Indonesia untuk melindungi pasar domestiknya melalui tarif dan kuota (sementara) serta membangun kapasitas produksinya sendiri.
  • Transisi energi yang adil tidak dapat dicapai dengan melakukan privatisasi layanan publik, dalam hal ini energi. Kontrol publik melalui negara harus diperkuat dan tidak melemah akibat agenda liberalisasi di sektor energi terbarukan.
  • EU dan Indonesia tidak boleh menyetujui Mekanisme Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (ISDS) dalam bentuk apapun., seperti dalam perjanjian EU dengan Meksiko dan Chile. Perlindungan investasi, termasuk Sistem Pengadilan Investasi (ICS), berpotensi melemahkan kapasitas negara dalam merespon tuntutan masyarakat untuk menerapkan kebijakan iklim yang adil secara sosial.
  • Indonesia-Uni Eropa CEPA tidak boleh mengintegrasikan unsur-unsur dari  Omnibus Law Cipta Kerja[1] karena hal ini memperburuk hak asasi manusia dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia. Baik Indonesia maupun EU harus mematuhi standar dan konvensi ILO yang disepakati secara internasional.
  • Kerja sama perdagangan harus memastikan bahwa bahan baku yang diperdagangkan telah diproduksi berdasarkan perjanjian standar uji dan lingkungan tertinggi. Penilaian dampak sosial dan lingkungan harus diwajibkan dalam setiap proyek pertambangan atau pembangkit energi. Hak-hak masyarakat yang terkena dampak pertambangan atas bahan baku penting harus diperkuat dan hak-hak tersebut harus diperhitungkan sejak awal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek apa pun. Persetujuan di awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat adat harus dipastikan dan keputusan mereka harus dihormati.
  • EU harus mengurangi jejak materialnya sendiri agar tetap berada dalam batas-batas keberlanjutan bumi dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya dari negara lain seperti Indonesia. EU harus berkomitmen untuk mengurangi konsumsi bahan mentah penting melalui langkah-langkah berbasis pada kecukupan, efisiensi, didesain dengan tanggung jawab, dan teknologi substitusi.

Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA)
Indonesia dan Uni Eropa telah melakukan perundingan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (CEPA) sejak tahun 2016. Terdapat beberapa perdebatan dalam perundingan tersebut dan salah satu isu utama adalah mengenai bahan baku mentah (raw materials), di dalam Bab Energi dan Bahan Baku Mentah. Bab ini secara khusus mengatur tentang pembukaan akses pasar dan investasi di sektor energi dan bahan baku mentah untuk memastikan tidak ada hambatan terhadap perdagangan dan investasi EU.

Namun, liberalisasi investasi dan perdagangan energi dan bahan baku mentah dalam Indonesia-EU CEPA akan berdampak negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia, lingkungan hidup, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, meskipun kami menyadari pentingnya hubungan yang lebih erat antara EU dan Indonesia yang berbasis solidaritas dan kerja sama, kelompok masyarakat sipil Eropa dan Indonesia ingin menyampaikan kekhawatiran mengenai potensi dampak CEPA, khususnya terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup seiring dengan kemampuan Indonesia untuk memberikan nilai tambah pada bahan bakunya.

Praktik penambangan yang tidak bertanggung jawab dan konsekuensi sosial dan ekologisnya
Meningkatnya permintaan bahan baku mineral penting untuk transisi energi hijau telah memicu eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam secara berlebihan, seperti yang terjadi di Indonesia. Beberapa estimasi menunjukkan bahwa Indonesia memasok lebih dari seperempat pasokan mineral dunia.[2] Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, di samping batu bara, tembaga, kobalt, timah, emas dan bauksit. Di wilayah yang disebut ‘provinsi nikel’ yaitu Sulawesi and Maluku Utara, kerusakan akibat pertambangan terlihat dalam berbagai bentuk. Organisasi masyarakat sipil telah melacak pencemaran laut dan sungai yang mencemari perairan yang dulunya masih asli, mengurangi stok ikan, menyebabkan infeksi kulit pada anak-anak, dan mengancam penghidupan masyarakat lokal dan masyarakat adat.[3] Penambangan nikel di Raja Ampat mengancam sistem terumbu karang dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di planet ini,[4] dan dapat semakin memperburuk konflik bersenjata di Papua Barat yang saat ini menyebabkan hampir 80.000 warga sipil mengungsi.[5] Penambangan juga mendorong deforestasi[6] dan menggusur masyarakat lokal secara paksa.[7] Perempuan pun dipaksa untuk “beradaptasi” dengan situasi tersebut mulai dari berperan sebagai buruh pertambangan dengan kondisi kerja yang buruk, melakukan pekerjaan informal seperti penjual makanan, atau menjadi pekerja seks. Ekstraksi bahan baku mineral penting juga terjadi dengan mengorbankan pekerja dan serikat pekerja.[8]

Dampak sosial dan lingkungan dari ekstraksi mineral untuk transisi energi ramah lingkungan tidak dibahas secara efektif dalam Bab Energi dan Bahan Baku Mentah Indonesia-EU CEPA karena tidak ada implikasi hukum bagi pihak-pihak yang gagal memitigasi dampak tersebut. Ketentuan pada bab perdagangan dan pembangunan berkelanjutan (TSD) pun masih dipertanyakan efektivitasnya, mengingat belum adanya mekanisme penegakan hukum yang mengikat bagi pihak terkait, khususnya korporasi. Hal ini berisiko mengikis kedaulatan Indonesia dalam mengelola sumber daya alam dan nilai tambah dalam negeri serta mendukung periode baru ekstraktivisme. 

Kurangnya nilai tambah dan terhambatnya pembangunan industri Indonesia
Bab Energi dan Bahan Baku Mentah secara khusus mengatur tentang pembukaan akses pasar dan investasi di sektor energi dan bahan baku mentah, serta berfungsi untuk memastikan tidak adanya hambatan terhadap investasi EU di sektor tersebut. Bab ini berupaya memastikan bahwa Indonesia membuka akses pasar dan menghilangkan perlakuan ‘diskriminatif’ di sektor energi dan bahan baku. Hal ini mencakup ketentuan yang melarang pembatasan ekspor, termasuk penghapusan semua bea ekspor atau tindakan apa pun yang mempunyai dampak serupa. Namun ketentuan ini bertentangan dengan kebijakan Indonesia yang membatasi ekspor mineral mentah untuk memenuhi pengolahan dalam negeri.

Tekanan EU terhadap Indonesia untuk menghapuskan pembatasan ekspor mineral mentah menimbulkan pertanyaan atas komitmen EU dalam mendukung produksi nilai tambah dalam negeri di negara-negara mitranya. Lebih parahnya, ketentuan mengenai persyaratan kinerja juga melarang penerapan konten lokal atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan persyaratan transfer teknologi yang sangat dibutuhkan. Larangan ini akan semakin mempersulit Indonesia untuk memperkuat agenda ekonomi hilirisasi untuk membangun produksi nilai tambah dalam negeri. Faktanya, penetapan prioritas kebijakan industri di EU, jika dilakukan dengan cara “business as usual”, hanya akan memperdalam ketimpangan pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam hal ini, keinginan EU untuk menjamin pasokan mineral penting bagi pengembangan industrinya hanya akan melanggengkan praktik bisnis ekstraktif seperti biasanya.

Bab Energi dan Bahan Baku Mentah ini juga mendorong privatisasi dengan melarang intervensi pemerintah dalam penetapan harga energi.  Ketentuan ini hanya akan menguntungkan pihak swasta asing yang berada di Indonesia sebagai produsen listrik independen sehingga pemerintah Indonesia tidak punya pilihan selain membeli listrik dengan harga yang diminta perusahaan. Pada akhirnya, mekanisme ini akan menambah beban keuangan negara dan melemahkan akses masyarakat terhadap listrik yang terjangkau, serta menghambat terwujudnya transisi energi yang berkeadilan.

Perusahaan perlindungan pasokan mineral penting di Indonesia
Perluasan ekstraksi sumber daya oleh Uni Eropa dan privatisasi sektor energi publik di Indonesia hanya akan memperkuat perlindungan terhadap perusahaan multinasional. Hal ini dibuktikan dengan Bab Investasi Indonesia-EU CEPA yang memuat Investment Court System (ICS). Tawaran EU untuk menjalankan ICS hanyalah sebuah rebranding dari mekanisme ISDS yang sudah ada sebelumnya yang memberikan hak khusus kepada perusahaan multinasional untuk menuntut negara. Mengingat tren persaingan global untuk mengamankan pasokan mineral penting dan agenda nasionalisasi sumber daya berdasarkan undang-undang pertambangan Indonesia, hal ini akan membuka lebih banyak potensi tuntutan hukum bagi Indonesia mengingat pengalaman Indonesia di masa lalu dalam gugatan menangani pertambangan mineral. Sektor pertambangan adalah salah satu industri yang paling sering menggunakan mekanisme ISDS. Oleh karena itu, kami melihat bahwa dimasukkannya elemen-elemen tersebut ke dalam Indonesia-EU CEPA akan berdampak pada perlindungan hak-hak masyarakat Indonesia atas korporasi. EU baru-baru ini memutuskan untuk keluar dari Energy Charter Treaty setelah beberapa kasus ISDS, namun masih mempromosikan ketentuan mengenai ICS dalam negosiasi perdagangannya. Hal ini menunjukkan pendekatan munafik dan standar ganda EU terkait sistem ISDS.

Konsekuensi bagi EU
Selain potensi dampak negatifnya bagi Indonesia, kebijakan EU yang mendorong liberalisasi pasar sebenarnya telah merugikan akses EU terhadap bahan-bahan penting. Sementara EU berdebat dengan Indonesia terkait aturan perdagangan, Tiongkok telah menginvestasikan puluhan miliar dalam ekstraksi dan pemurnian nikel di Indonesia. Hasilnya, produsen Tiongkok telah mendapatkan pasokan nikel dalam jumlah besar untuk transisi energinya. Saat ini, 80-825 sebagian besar produksi nikel tingkat baterai di Indonesia diperkirakan akan diproduksi oleh sebagian besar produsen Tiongkok pada tahun ini.[9]

Oleh karena itu, yang harus dilakukan EU adalah membangun kerja sama yang benar-benar setara dengan Indonesia, yang tidak memaksa Indonesia untuk meliberalisasi ekspor bahan mentahnya atau menyerahkan kedaulatannya untuk menentukan harga, namun justru menunjukkan kesediaan EU untuk mendukung nilai tambah Indonesia dan ekonomi berkelanjutan. EU dapat membentuk alternatif terhadap pengolahan nikel milik Tiongkok yang merusak lingkungan dan berbahaya di Indonesia dengan berinvestasi dan mendukung kemampuan pengolahan yang lebih bersih dan bertanggung jawab serta dengan membayar harga yang setimpal untuk sumber daya tersebut. Hal ini akan menetapkan standar praktik perdagangan yang adil, setara dan berkelanjutan.

Organisasi masyarakat sipil dari Eropa dan Indonesia mendesak:

  • EU dan pemerintah Indonesia harus menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA, karena perjanjian tersebut menimbulkan ancaman terhadap lingkungan dan iklim, serta terhadap hak-hak perempuan, Masyarakat Adat, pekerja, petani kecil, dan nelayan.
  • Indonesia harus mempertahankan ruang kebijakannya untuk membangun rantai nilai energi dan bahan bakunya sendiri, termasuk kemampuan pemrosesan dan pemurnian. Bab Energi dan Bahan Baku (Energy and Raw Materials) dalam CEPA akan membatasi kemampuan Indonesia untuk melindungi pasar domestiknya melalui tarif dan kuota (sementara) serta membangun kapasitas produksinya sendiri.
  • Transisi energi yang adil tidak dapat dicapai dengan melakukan privatisasi layanan publik, dalam hal ini energi. Kontrol publik melalui negara harus diperkuat dan tidak melemah akibat agenda liberalisasi di sektor energi terbarukan.
  • EU dan Indonesia tidak boleh menyetujui Mekanisme Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (ISDS) dalam bentuk apapun., seperti dalam perjanjian EU dengan Meksiko dan Chile. Perlindungan investasi, termasuk Sistem Pengadilan Investasi (ICS), berpotensi melemahkan kapasitas negara dalam merespon tuntutan masyarakat untuk menerapkan kebijakan iklim yang adil secara sosial.
  • Indonesia-Uni Eropa CEPA tidak boleh mengintegrasikan unsur-unsur dari  Omnibus Law Cipta Kerja[10] karena hal ini memperburuk hak asasi manusia dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia. Baik Indonesia maupun EU harus mematuhi standar dan konvensi ILO yang disepakati secara internasional.
  • Kerja sama perdagangan harus memastikan bahwa bahan baku yang diperdagangkan telah diproduksi berdasarkan perjanjian standar uji dan lingkungan tertinggi. Penilaian dampak sosial dan lingkungan harus diwajibkan dalam setiap proyek pertambangan atau pembangkit energi. Hak-hak masyarakat yang terkena dampak pertambangan atas bahan baku penting harus diperkuat dan hak-hak tersebut harus diperhitungkan sejak awal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek apa pun. Persetujuan di awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat adat harus dipastikan dan keputusan mereka harus dihormati.
  • EU harus mengurangi jejak materialnya sendiri agar tetap berada dalam batas-batas keberlanjutan bumi dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya dari negara lain seperti Indonesia. EU harus berkomitmen untuk mengurangi konsumsi bahan mentah penting melalui langkah-langkah berbasis pada kecukupan, efisiensi, didesain dengan tanggung jawab, dan teknologi substitusi.

[1]https://www.reuters.com/world/asia-pacific/whats-stake-with-indonesias-controversial-jobs-creation-law-2022-06-09/
[2] https://www.trade.gov/country-commercial-guides/indonesia-mining
[3]https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/indonesia-nickel-mining-operations-in-kabaena-island-in-sulawesi-adversely-affect-bajaus-health-livelihood/
[4]https://suarapapua.com/2024/08/06/delapan-perusahaan-tambang-kantongi-izin-raja-ampat-terancam-tinggal-nama/
[5] https://humanrightsmonitor.org/reports/idp-update-september-2024-new-research-on-idps-in-west-papua-underlines-urgent-need-for-gov-action-action/
[6] https://www.ft.com/content/cd1fd7f3-b3ea-4603-8024-db75ec6e1843
[7] https://news.mongabay.com/2024/02/indonesian-nickel-project-harms-environment-and-human-rights-report-says/
[8] ‘Produksi dulu, baru keselamatan’: di dalam pabrik nikel terbesar di dunia
[9] https://www.ft.com/content/0f8e2fe8-c7cb-4d6a-9436-1cb1806af4e0
[10]https://www.reuters.com/world/asia-pacific/whats-stake-with-indonesias-controversial-jobs-creation-law-2022-06-09/


Organisasi Pendukung

Organisasi global and regional

  • Climate Action Network Europe (CAN Europe)
  • Climate Action Network Southeast Asia (CANSEA)
  • EU Raw Materials Coalition
  • European Coordination Via Campesina
  • European Trade Justice Coalition
  • Fern
  • Friends of the Earth Europe
  • GRAIN
  • Plataforma América Latina y el Caribe mejor sin TLC
  • Publish What You Pay
  • Regions Refocus
  • SIRGE Coalition
  • Transnational Institute

Organisasi Nasional

  • Asamblea Argentina mejor sin TLC, Argentina
  • ATTAC Argentina, Argentina
  • Anders Handeln, Austria
  • Attac Austria, Austria
  • National Garment Workers Federation, Bangladesh
  • 11.11.11, Belgium
  • CNCD 11.11.11, Belgium
  • Global Aktion, Denmark
  • Miljøbevægelsen NOAH- Friends of the Earth Denmark, Denmark
  • ActionAid France, France
  • Aitec, France
  • Alofa Tuvalu, France
  • Alternatiba, France
  • Amis de la Terre / Friends of the Earth, France
  • ANV-COP21, France
  • Attac France, France
  • CADTM France, France
  • Canopée, France
  • CCFD-Terre Solidaire, France
  • CGT (Confédération Générale du Travail), France
  • Collectif national Stop CETA/Mercosur, France
  • Confédération paysanne, France
  • CRID, France
  • Extinction Rebellion France, France
  • Fédération Artisans du Monde, France
  • Fondation Copernic, France
  • France Nature Environnement, France
  • FSU (Fédération Syndicale Unitaire), France
  • Générations Futures, France
  • Notre Affaire à Tous, France
  • Reclaim Finance, France
  • Union Syndicale Solidaires, France
  • Veblen Institute for Economic Reforms, France
  • Nature & Progrès Fédération, France & Belgium
  • Attac Germany, Germany
  • Berliner Wassertisch, Germany
  • Brot für die Welt, Germany
  • FIAN Deutschland, Germany
  • German NGO Forum on Environment & Development, Germany
  • Human Rights Monitor, Germany
  • Misereor, Germany
  • NaturFreunde Deutschlands, Germany
  • Netzwerk gerechter Welthandel, Germany
  • PowerShift e.V., Germany
  • Rettet den Regenwald, Germany
  • Slow Food Deutschland, Germany
  • Stiftung Asienhaus, Germany
  • Umweltinstitut München e.V., Germany
  • Urgewald, Germany
  • Watch Indonesia! Für Menschenrechte, Demokratie und Umwelt in Indonesien und Osttimor e.V., Germany
  • WEED – World Economy, Ecology, & Development, Germany
  • Aceh Wetland Foundation, Indonesia
  • AEER (Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat), Indonesia
  • BAKUMSU, Indonesia
  • Bina Desa, Indonesia
  • Borneo Institute, Indonesia
  • CEMWU KSPSI, Indonesia
  • Farkes Reformaasi, Indonesia
  • FIAN Indonesia, Indonesia
  • Forum penjaga hutan dan sungai harimau pining, Indonesia
  • FSPI (Federasi Serikat Pekerja Indonesia), Indonesia
  • Indonesia AIDS Coalition, Indonesia
  • Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia
  • Indonesia Green Party (Partai Hijau Indonesia), Indonesia
  • JAMTANI (Indonesian Peasant Community Organization), Indonesia
  • Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah ( JATAM SULTENG, Indonesia
  • Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK), Indonesia
  • Koalisi perempuan jaga lingkungan, Indonesia
  • Kolektif Semai, Indonesia
  • Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Indonesia
  • MATEPE Foundation, Indonesia
  • Pemerhati Lingkungan hidup Urai Uni, Indonesia
  • Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Indonesia
  • Persatuan Pegawai PT PLN Indonesia Power, Indonesia
  • Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia ’98, Indonesia
  • Petrasa Foundation, Indonesia
  • Puanifesto, Indonesia
  • Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Indonesia
  • Sahita Institute, Indonesia
  • Satya Bumi, Indonesia
  • Save Our Borneo, Indonesia
  • SERBUK Indonesia, Indonesia
  • Serikat Petani Indonesia, Indonesia
  • Solidaritas Perempuan, Indonesia
  • Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia
  • WALHI Bengkulu, Indonesia
  • WALHI NTT, Indonesia
  • WALHI Papua, Indonesia
  • WALHI Sumatera Utara, Indonesia
  • Yayasan Ambeua Helewo Ruru, Indonesia
  • Yayasan Apel Green Aceh, Indonesia
  • Yayasan Bina Insani Indonesia Kendari / Foundation For Human Development, Indonesia
  • Yayasan Motivator Pembangunan Masyarakat (MPM), Indonesia
  • Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Indonesia
  • YIHUI (Yayasan Insan Hutan Indonesia), Indonesia
  • Observatorio Fairwatch, Italy
  • Mouvement Ecologique asbl / FoE Luxembourg, Luxembourg
  • Both ENDS, Netherlands
  • FNV, Netherlands
  • Handel Anders! coalitie, Netherlands
  • Platform Aarde Boer Consument, Netherlands
  • SOMO, Netherlands
  • Working group Food Justice, Netherlands
  • Trade Justice Pilipinas, Philippines
  • TROCA – Plataforma por um Comércio Internacional Justo, Portugal
  • Earth Thrive, Serbia
  • Observatori del Deute en la Globalització, Spain
  • Ongd AFRICANDO, Spain
  • SETEM Catalunya, Spain
  • Southern and Eastern Africa Trade Information and Negotiation Institute (SEATINI), Uganda
Previous Post

Kripto Semakin Mendesak dalam Sistem Keuangan Indonesia

Next Post

Pekerjakan kembali 11 orang buruh yang di PHK sepihak!

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute