• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

IPEF is only to save US corporations from crisis while continue to eliminate people’s rights

January 30, 2024
in Campaign, Trade Justice
Home Campaign
Share on FacebookShare on Twitter

Press Release
Responding to IPEF Negotiation Round
15 March 2023

Jakarta, 15 March 2023. Indonesian Civil Society Coalition for Economic Justice held a protest today in front of the US Embassy in Jakarta to express its rejection of the Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). In the midst of the global economic crisis, the United States is trying to rebuild its national industrialisation with a less open free trade agreement and push for policy harmonisation based on US standards. The IPEF will hold its second round of negotiations in Bali from 13-19 March 2023.

IPEF was initiated by the United States in September 2022 as a new model of regional free trade agreement involving 13 other partner countries.  The IPEF includes four pillars: (1) trade; (2) supply chain; (3) clean energy, decarbonisation, and infrastructure; and (4) taxation and anti-corruption.  The US government is targeting the completion of the negotiations this year to coincide with the APEC Summit to be held in San Francisco in November 2023. 

Director of Indonesia for Global Justice, Rahmat Maulana Sidik emphasised that the IPEF negotiation process was led by the US, including the drafting of the agreement text, in a closed manner. “With the short period of time and the closed draft text of the agreement to the public, it is certain that there is no meaningful participation by partner countries to provide their input in this agreement process. Moreover, to analyse the social, environmental, and gender impacts that will potentially arise,” he said. US domination of the IPEF process was also exercised through deciding the location for the negotiation rounds and the involvement of US-based multinational companies in the hearing process.

Kartini Samon of GRAIN stated that the Biden administration manoeuvred to avoid debate and resistance from the US Congress by not including market access provisions or tariff reductions and avoiding changes to domestic laws. Following the launch of the IPEF, the US Government released a report containing a priority list for the reduction of non-tariff barriers that will be promoted through the IPEF through the harmonisation of a number of policies and regulations that are seen as technical barriers to trade with the United States. “For Indonesia itself, this policy harmonisation effort through IPEF can cause problems and widespread impacts. In the agricultural sector, for example, efforts to harmonise technical barriers to trade could oblige Indonesia to relax domestic regulations related to the commercialisation and import of genetically modified seeds and food products. This, of course, would greatly benefit the US, which hosts a number of giant producers of genetically modified products. Besides the provisions related to genetically modified products, another rule that is seen as a technical barrier that will be pushed for harmonisation is the mandatory halal certification for imports of livestock products, considering that only 3 out of 14 IPEF member countries have this obligation; Brunei, Malaysia and Indonesia. Harmonisation of halal certification could directly affect livestock farmers and abattoirs as well as consumers in Indonesia,” said Kartini Samon.

Meanwhile, Arie Kurniawaty representing Solidaritas Perempuan stated that IPEF will be the first mega-regional economic agreement for the US, involving 40% of the world’s GDP will produce new rules, processes and commitments that to secure US trade and investment interests to offset China’s dominance, political and military influence in the Asia-Pacific region. “The IPEF is not, and will never be, just about economic trade. Rather, it is a chain of hegemonic power domination for the US, it is like a continuation of the cold war that always harms the sovereignty of nations and the human rights of Asian women and people as developing countries.” she said.  

IPEF uses language that seems to be in favour and good for the interests of sustainable development, such as clean energy being one of the pillars. In fact, this provision is only used by the US to strengthen US domestic industrial development related to the production of green technology for energy transition. Rachmi Hertanti from Transnational Institute stated “The US wants to keep pace with China to become a major player in the production of green technology for energy transition. It is highly unlikely that IPEF will bring US investment into Indonesia to support Indonesia’s industrial downstream agenda. And this precludes Indonesia from benefiting from this co-operation. As a result, the IPEF will only contradict Indonesia’s national interests.

Marthin Hadiwinata from Ekomarin closed with the statement that the fisheries sector in the trade pillar discussed in the IPEF will regulate the prohibition of subsidies in the sector. The rationale for this is that subsidies are considered to encourage uncontrolled exploitation of fisheries resources. Therefore, Indonesia’s domestic regulations that still provide subsidies will be intervened. “The majority of fisherfolks in Indonesia are small and medium scale. Removal of subsidies in the fisheries sector will clearly hamper Indonesian fisherfolks. This will be an obstacle for developing countries like Indonesia to maintain domestic rules, which has also been done in the WTO reform negotiations,” he said.

Contacts for further information:

Arie Kurniawaty – Solidaritas Perempuan,
+62 812 8056 4651

Rahmat Maulana Sidik – Indonesia for Global Justice
+62 812 0025 135

Previous Post

Series Activities : Respon to US-IPEF

Next Post

Sahita Institute Oral Intervention at the 2nd round of Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) negotiations

admin_hints

admin_hints

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute