Rilis Media Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi
Mengenai Pertemuan dengan Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa
Selasa, 20 Juni 2023 -Jakarta
Jakarta, 22 Juni 2023 – Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) mendapat kesempatan untuk berdiskusi secara langsung dengan delegasi Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa (UE) pada hari Selasa, 20 Juni 2023, di Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Koalisi MKE mengemukakan keprihatinannya atas proses perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA) yang sedang digencarkan oleh kedua belah pihak. Koalisi menilai bahwa perundingan I-EU CEPA hanya akan merugikan masyarakat dan tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Koalisi juga menyampaikan kekecewaan pada proposal Uni Eropa dalam perjanjian tersebut.
OMS anggota Koalisi MKE yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan, Sahita Institute (Hints). Sementara beberapa anggota Parlemen Uni Eropa yang hadir di antaranya adalah Bernd Lange selaku ketua Komite Perdagangan Internasional, Heidi Hautala, dan Helmut Scholz.
Koalisi MKE menyampaikan bahwa I-EU CEPA akan memberikan kerugian lintas sektor, mulai di sektor kesehatan, pangan, perdagangan digital, investasi, pertambangan minerba, hingga keadilan gender. Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana menyampaikan bahwa proposal UE di dalam bab Perlindungan Kekayaan Intelektual akan memberikan ancaman serius pada akses terhadap obat terjangkau di Indonesia. Proposal tersebut berisi klausul mengenai perpanjangan masa perlindungan paten, perlindungan data, serta pembatasan impor paralel, yang merupakan elemen-elemen dari TRIPS Plus. Dengan demikian, proposal tersebut akan menjadi ancaman serius bagi ketersediaan dan keterjangkauan obat-obat esensial di Indonesia, juga menghalangi produksi obat generik yang lebih murah.
Di bab yang sama, Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ menyampaikan bahwa selain sektor kesehatan, sektor lain yang akan dipersulit adalah pertanian karena proposal UE meminta Indonesia untuk meratifikasi UPOV 1991. UPOV 1991 adalah rezim kekayaan intelektual untuk benih. Ia menambahkan jika aturan ini disahkan maka akan melanggar hak-hak petani atas benih, dan merugikan Indonesia yang 33% masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.
Dalam sektor perdagangan digital, I-EU CEPA akan memberikan keleluasaan bagi liberalisasi pasar melalui sektor digital terutama pada kebebasan aliran data lintas negara, penyimpanan data tanpa skema perlindungan yang jelas, hingga penghapusan pajak untuk transmisi elektronik. Hal ini disampaikan oleh Olisias Gultom dari Hints. Ia mengungkapkan bahwa keleluasaan ini hanya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan “big tech,” yang selama ini telah dan akan semakin mendominasi perdagangan digital. Ini menjadi berbahaya terlebih jika mengingat bahwa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia maupun General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa belum memadai di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat dan adaptif.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik mengingatkan bahwa agar Uni Eropa jangan melakukan rebranding International Court System (ICS) sebagai dalih mengakomodir mekanisme ISDS (Investor State Dispute Settlement) dalam perundingan Indonesia-EU CEPA. Karena, hal ini akan mengancam penegakan kedaulatan negara”. Ungkap Maulana.
Hal lain yang menjadi concern bagi Koalisi MKE adalah terkait bab Energi dan Bahan Mentah, yang mana UE berusaha untuk mencegah larangan ekspor bahan mentah. Seperti yang diketahui, Indonesia saat ini berupaya untuk membatasi ekspor bahan minerba mentah terutama nikel. Upaya ini berlarut hingga dibawa oleh UE ke penyelesaian sengketa di WTO, padahal hal ini merupakan amanat konstitusi untuk memanfaatkan kekayaan alam bagi kepentingan dalam negeri. Upaya pembatasan ekspor bahan mentah di I-EU CEPA akan mencegah upaya-upaya Indonesia dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut, ini disampaikan oleh Peneliti dari Koalisi MKE, Rachmi Hertanti. Beliau juga menambahkan FTA seharusnya tidak menjadi instrumen yang akan menghalangi hak untuk membangun negara-negara di selatan global dan kembali menciptakan ketergantungan lain ke utara global. I-EU CEPA pun bertentangan dengan rencana Pemerintah untuk memaksimalkan manfaat dari minerba.
Di atas permasalahan-permasalahan sektoral tersebut, Koalisi MKE juga menyoroti bahwa perjanjian ini akan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama perempuan. Utamanya di sektor kesehatan dalam hal menjamin kesehatan reproduksi, juga sektor pangan dalam konteks perempuan petani. Salsabila dari Solidaritas Perempuan menyampaikan sebagai contoh, I-EU CEPA mendorong UPOV 1991 akan menghilangkan pengetahuan mengenai benih tradisional yang banyak dimiliki oleh perempuan petani. Hal ini kemudian menambah beban pemenuhan pangan sebagai bagian dari peran domestik yang dilekatkan pada perempuan.
Koalisi MKE sejatinya telah sejak lama mendorong agar pembahasan I-EU CEPA segera dihentikan karena tidak menguntungkan Indonesia. Terlebih di tengah kepentingan UE dan Indonesia di sektor ekspor nikel. UE juga baru mengeluarkan EU Deforestation Regulation (EUDR)yang akan membatasi empat komoditi hutan dan perkebunan Indonesia. Koalisi MKE menilai I-EU CEPA tidak akan mengatasi masalah yang mungkin akan timbul dari inisiatif UE yang lain seperti EUDR dan juga gugatan UE di WTO.
Narahubung:
Ferry Norila, Indonesia AIDS Coalition (IAC) – fnorila@iac.or.id
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – rahmat.maulana@igj.or.id
Olisias Gultom, Sahita Institute – olisias@gmail.com
Salsabila Putri, Solidaritas Perempuan – bila@solidaritasperempuan.org
Lutfiyah Hanim – lutfiyah.hanim@gmail.com
Rachmi Hertanti – rachmi.hertanti@gmail.com