• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Menyerukan Penolakan terhadap I-EU CEPA saat Bertemu dengan Parlemen Uni Eropa

January 30, 2024
in Campaign, Trade Justice
Home Campaign
Share on FacebookShare on Twitter

Rilis Media Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi
Mengenai Pertemuan dengan Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa
Selasa, 20 Juni 2023 -Jakarta

Jakarta, 22 Juni 2023 – Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) mendapat kesempatan untuk berdiskusi secara langsung dengan delegasi Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa (UE) pada hari Selasa, 20 Juni 2023, di Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Koalisi MKE mengemukakan keprihatinannya atas proses perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA) yang sedang digencarkan oleh kedua  belah pihak. Koalisi menilai bahwa perundingan I-EU CEPA hanya akan merugikan masyarakat dan tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Koalisi juga menyampaikan kekecewaan pada proposal Uni Eropa dalam perjanjian tersebut.

OMS anggota Koalisi MKE yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan, Sahita Institute (Hints). Sementara beberapa anggota Parlemen Uni Eropa yang hadir di antaranya adalah Bernd Lange selaku ketua Komite Perdagangan Internasional, Heidi Hautala, dan Helmut Scholz.

Koalisi MKE menyampaikan bahwa I-EU CEPA akan memberikan kerugian lintas sektor, mulai di sektor kesehatan, pangan, perdagangan digital, investasi, pertambangan minerba, hingga keadilan gender. Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana menyampaikan bahwa proposal UE di dalam bab Perlindungan Kekayaan Intelektual akan memberikan ancaman serius pada akses terhadap obat terjangkau di Indonesia. Proposal tersebut berisi klausul mengenai perpanjangan masa perlindungan paten, perlindungan data, serta pembatasan impor paralel, yang merupakan elemen-elemen dari TRIPS Plus. Dengan demikian, proposal tersebut akan menjadi ancaman serius bagi ketersediaan dan keterjangkauan obat-obat esensial di Indonesia, juga menghalangi produksi obat generik yang lebih murah.

Di bab yang sama, Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ menyampaikan bahwa selain sektor kesehatan, sektor lain yang akan dipersulit adalah pertanian karena proposal UE meminta Indonesia untuk meratifikasi UPOV 1991. UPOV 1991 adalah rezim kekayaan intelektual untuk benih. Ia menambahkan jika aturan ini disahkan maka akan melanggar hak-hak petani atas benih, dan merugikan Indonesia yang 33% masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.

Dalam sektor perdagangan digital, I-EU CEPA akan memberikan keleluasaan bagi liberalisasi pasar melalui sektor digital terutama pada kebebasan aliran data lintas negara, penyimpanan data tanpa skema perlindungan yang jelas, hingga penghapusan pajak untuk transmisi elektronik. Hal ini disampaikan oleh Olisias Gultom dari Hints. Ia mengungkapkan bahwa keleluasaan ini hanya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan “big tech,” yang selama ini telah dan akan semakin mendominasi perdagangan digital. Ini menjadi berbahaya terlebih jika mengingat bahwa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia maupun General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa belum memadai di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat dan adaptif.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik mengingatkan bahwa agar Uni Eropa jangan melakukan rebranding International Court System (ICS) sebagai dalih mengakomodir mekanisme ISDS (Investor State Dispute Settlement) dalam perundingan Indonesia-EU CEPA. Karena, hal ini akan mengancam penegakan kedaulatan negara”. Ungkap Maulana.

Hal lain yang menjadi concern bagi Koalisi MKE adalah terkait bab Energi dan Bahan Mentah, yang mana UE berusaha untuk mencegah larangan ekspor bahan mentah. Seperti yang diketahui, Indonesia saat ini berupaya untuk membatasi ekspor bahan minerba mentah terutama nikel. Upaya ini berlarut hingga dibawa oleh UE ke penyelesaian sengketa di WTO, padahal hal ini merupakan amanat konstitusi untuk memanfaatkan kekayaan alam bagi kepentingan dalam negeri. Upaya pembatasan ekspor bahan mentah di I-EU CEPA akan mencegah upaya-upaya Indonesia dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut, ini disampaikan oleh Peneliti dari Koalisi MKE, Rachmi Hertanti. Beliau juga menambahkan FTA seharusnya tidak menjadi instrumen yang akan menghalangi hak untuk membangun negara-negara di selatan global dan kembali menciptakan ketergantungan lain ke utara global. I-EU CEPA pun bertentangan dengan rencana Pemerintah untuk memaksimalkan manfaat dari minerba.

Di atas permasalahan-permasalahan sektoral tersebut, Koalisi MKE juga menyoroti bahwa perjanjian ini akan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama perempuan. Utamanya di sektor kesehatan dalam hal menjamin kesehatan reproduksi, juga sektor pangan dalam konteks perempuan petani. Salsabila dari Solidaritas Perempuan menyampaikan sebagai contoh, I-EU CEPA mendorong UPOV 1991 akan menghilangkan pengetahuan mengenai benih tradisional yang banyak dimiliki oleh perempuan petani. Hal ini kemudian menambah beban pemenuhan pangan sebagai bagian dari peran domestik yang dilekatkan pada perempuan.

Koalisi MKE sejatinya telah sejak lama mendorong agar pembahasan I-EU CEPA segera dihentikan karena tidak menguntungkan Indonesia. Terlebih di tengah kepentingan UE dan Indonesia di sektor ekspor nikel. UE juga baru mengeluarkan EU Deforestation Regulation  (EUDR)yang akan membatasi empat komoditi hutan dan perkebunan Indonesia. Koalisi MKE menilai I-EU CEPA tidak akan mengatasi masalah yang mungkin akan timbul dari inisiatif UE yang lain seperti EUDR dan juga gugatan UE di WTO.

Narahubung:
Ferry Norila, Indonesia AIDS Coalition (IAC) – fnorila@iac.or.id
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – rahmat.maulana@igj.or.id
Olisias Gultom, Sahita Institute – olisias@gmail.com  
Salsabila Putri, Solidaritas Perempuan – bila@solidaritasperempuan.org
Lutfiyah Hanim – lutfiyah.hanim@gmail.com
Rachmi Hertanti – rachmi.hertanti@gmail.com

Previous Post

Belajar kolektif Koalisi MKE Pada Isu Digital

Next Post

Ancaman Indonesia-EU CEPA Dalam Digital

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute