Jakarta, 9 September 2023. Perundingan Kerjasama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) gagasan Amerika Serikat akan dilanjukan putarannya di Bangkok, Thailand, pada 10-16 September. Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, terlibat menjadi anggota kerjasama tersebut.
Perjanjian US IPEF telah mencapai beberapa substansi elemen perjanjian pada Pilar Supply Chain dan akan diperdalam dalam perundingan.
Rachmi Hertanti, pengamat kerjasama perdagangan internasional sekaligus Peneliti Transnational Insitute, menerangkan perundingan US IPEF dalam pilar rantai pasok akan mengatur komitmen para pihak untuk meminimalkan pembatasan atau hambatan yang tidak perlu yang menciptakan hambatan perdagangan yang mempengaruhi rantai pasokan produk penting termasuk mineral. Bahkan, aturan kewajiban transparansi peraturan dalam IPEF berpotensi untuk membuka campur tangan negara dan investor asing dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan nasional yang akan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.
“Perjanjian Mineral Penting hanya akan kembali mengancam kedaulatan nasional dan bertentangan dengan Konstitusi. Indonesia akan kehilangan kemampuan mendapatkan nilai tambah produksi dalam perdagangan serta terus terdesak dengan berbagai ancaman gugatan atas sengketa perdagangan dan investasi internasional”, tegas Rachmi.
Lebih lanjut, Rachmi kerap mengingatkan desakan Presiden Joko Widodo kepada Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, untuk memulai pembahasan mengenai perjanjian bilateral antara AS-Indonesia tentang mineral penting (critical minerals) yang disampaikan saat pertemuan bilateral diantara keduanya (6/9) haruslah dihentikan. Sebelumnya, AS telah menandatangani Perjanjian Bilateral Mineral Penting dengan Jepang dan tengah merundingkan perjanjian dengan Uni Eropa dan Inggris.
“Perjanjian Mineral Kritis yang dilakukan secara bilateral dengan AS akan Kembali mengatur kewajiban para pihak untuk tidak menerapkan kebijakan pembatasan dan pelarangan ekspor mineral penting, termasuk untuk tidak mengenakan bea ekspor pada mineral-mineral penting. Terlebih, ketentuan dalam perjanjian bilateral tersebut tetap merujuk kepada standar ketentuan WTO Artinya, aturan perjanjian perdagangan internasional Kembali mengalahkan Konstitusi Indonesia yang pada akhirnya menghilangkan kendali negara atas sumber daya alamnya sendiri”, jelas Rachmi.
Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute, menjelaskan desakan negara berkembang untuk mengontrol sumber daya dan memperjuangkan pembangunannya berhadapan dengan kepentingan perusahaan besar dibalik negara-negara maju. Sementara persaingan dagang yang semakin menguat dalam pertarungan geoekonomi dan geopolitik secara global, semakin menyeret dunia pada penguatan polarisasi. Bayang-bayang kolonialisasi menjadi hantu utama eksploitasi sumber mineral dan pada titik tersebut perdagangan bebas menjadi pintu penting bagi kepentingan perusahaan-perusahaan besar kepada negara-negara berkembang.
“Oleh karena itu, IPEF tidak perlu secara terburu-buru diratifikasi. Konstitusi Indonesia mewajibkan DPR RI untuk melakukan analisis dampak atas semua perjanjian internasional yang akan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UUD RI 1945. Sehingga, DPR RI harus memutus secara hati-hati untuk menyetujui Indonesia meratifikasi IPEF”, tegas Olisias.
Narahubung:
Rachmi Hertanti, Peneliti Transnational Institute: r.hertanti@tni.org
Olisias Gultom, Direktur Sahita Instute: olisas@gmail.com