• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Kerjasama Rantai Pasok Mineral Penting Memaksa Indonesia Inkonsisten Dengan Konstitusi

January 30, 2024
in News, Trade Justice
Home Collective Idea News
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, 9 September 2023. Perundingan Kerjasama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) gagasan Amerika Serikat akan dilanjukan putarannya di Bangkok, Thailand, pada 10-16 September. Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, terlibat menjadi anggota kerjasama tersebut.

Perjanjian US IPEF telah mencapai beberapa substansi elemen perjanjian pada Pilar Supply Chain dan akan diperdalam dalam perundingan.

Rachmi Hertanti, pengamat kerjasama perdagangan internasional sekaligus Peneliti Transnational Insitute, menerangkan perundingan US IPEF dalam pilar rantai pasok akan mengatur komitmen para pihak untuk meminimalkan pembatasan atau hambatan yang tidak perlu yang menciptakan hambatan perdagangan yang mempengaruhi rantai pasokan produk penting termasuk mineral. Bahkan, aturan kewajiban transparansi peraturan dalam IPEF berpotensi untuk membuka campur tangan negara dan investor asing dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan nasional yang akan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.

“Perjanjian Mineral Penting hanya akan kembali mengancam kedaulatan nasional dan bertentangan dengan Konstitusi. Indonesia akan kehilangan kemampuan mendapatkan nilai tambah produksi dalam perdagangan serta terus terdesak dengan berbagai ancaman gugatan atas sengketa perdagangan dan investasi internasional”, tegas Rachmi.

Lebih lanjut, Rachmi kerap mengingatkan desakan Presiden Joko Widodo kepada Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, untuk memulai pembahasan mengenai perjanjian bilateral antara AS-Indonesia tentang mineral penting (critical minerals) yang disampaikan saat pertemuan bilateral diantara keduanya (6/9) haruslah dihentikan. Sebelumnya, AS telah menandatangani Perjanjian Bilateral Mineral Penting dengan Jepang dan tengah merundingkan perjanjian dengan Uni Eropa dan Inggris.

“Perjanjian Mineral Kritis yang dilakukan secara bilateral dengan AS akan Kembali mengatur kewajiban para pihak untuk tidak menerapkan kebijakan pembatasan dan pelarangan ekspor mineral penting, termasuk untuk tidak mengenakan bea ekspor pada mineral-mineral penting. Terlebih, ketentuan dalam perjanjian bilateral tersebut tetap merujuk kepada standar ketentuan WTO Artinya, aturan perjanjian perdagangan internasional Kembali mengalahkan Konstitusi Indonesia yang pada akhirnya menghilangkan kendali negara atas sumber daya alamnya sendiri”, jelas Rachmi.

Olisias Gultom, Direktur Sahita Institute, menjelaskan desakan negara berkembang untuk mengontrol sumber daya dan memperjuangkan pembangunannya berhadapan dengan kepentingan perusahaan besar dibalik negara-negara maju. Sementara persaingan dagang yang semakin menguat dalam pertarungan geoekonomi dan geopolitik secara global, semakin menyeret dunia pada penguatan polarisasi. Bayang-bayang kolonialisasi menjadi hantu utama eksploitasi sumber mineral dan pada titik tersebut perdagangan bebas menjadi pintu penting bagi kepentingan perusahaan-perusahaan besar kepada negara-negara berkembang.

“Oleh karena itu, IPEF tidak perlu secara terburu-buru diratifikasi. Konstitusi Indonesia mewajibkan DPR RI untuk melakukan analisis dampak atas semua perjanjian internasional yang akan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UUD RI 1945. Sehingga, DPR RI harus memutus secara hati-hati untuk menyetujui Indonesia meratifikasi IPEF”, tegas Olisias.


Narahubung:
Rachmi Hertanti, Peneliti Transnational Institute: r.hertanti@tni.org
Olisias Gultom, Direktur Sahita Instute: olisas@gmail.com

Previous Post

Pertemuan RI-Uni Eropa di Yogyakarta Diprotes, Aktivis: Untungkan Investor Asing, Rugikan Buruh dan Petani

Next Post

Transisi Hijau Yang Menempatkan Pekerja Sebagai Pusatnya

Editorial

Editorial

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute