• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Transisi Hijau Yang Menempatkan Pekerja Sebagai Pusatnya

December 17, 2024
in Publication
Home Collective Idea Publication
Share on FacebookShare on Twitter

Buruh melihat transisi energi

Melihat pendekatan saat ini terhadap agenda transisi energi. Terlihat bahwa fokusnya lebih pada perlindungan nilai ekonomi daripada pada perlindungan komunitas. Ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proteksi terhadap tenaga kerja dan ekosistem. Transisi energi seharusnya menjadi alat untuk mempermudah, bukan untuk monopoli kepentingan tertentu. Kita perlu waspada terhadap risiko bahwa transisi energi dapat digunakan untuk kepentingan monopoli, bukan untuk manfaat bersama.

Transisi energi bukanlah konsep yang baru. Namun, kita perlu mengkritisi bahwa transisi ini harus adil dan bermanfaat bagi semua pihak, bukan hanya segelintir kepentingan. Hilirisasi juga harus melibatkan asas kemanfaatan bersama dan kebutuhan nasional, bukan hanya mendorong peralihan energi tetapi juga peningkatan kegiatan ekonomi ekstraksi mineral. Hal ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang lebih luas dari transisi energi.

Narasi tentang transisi energi cenderung mengarah pada ekonomi berbasis pasar yang dapat dimanfaatkan oleh korporasi besar. Agenda transisi energi melalui hilirisasi industry tambang mineral harus menjadi perhatian kritis bagi Gerakan buruh. Ini terkait dengan kemudahan dan fasilitas investasi yang dapat menguntungkan perusahaan, tetapi mungkin merugikan pekerja dalam hal fleksibilitas pasar tenaga kerja. Dengan demikian, penting untuk terus mempertanyakan apakah agenda ini sejalan dengan tujuan kesejahteraan sosial yang lebih luas.

Transisi energi saat ini di drive oleh kepentingan bisnis dan korporasi besar membuat ketergantungan pada teknologi dan modal, turut mendorong model pertumbuhan bersifat ekstraktif. Kaum buruh perlu mempertimbangkan ulang posisi politik mereka terkait agenda transisi. Mereka harus mendukung alternatif agenda pembangunan yang berfokus pada lingkungan dan keadilan bagi kaum buruh. Tujuan utama transisi energi haruslah produksi yang ramah lingkungan dan adil, dengan mengembalikan hak-hak buruh yang terpinggirkan.

Dampak transisi energi dan hilirisasi kepada buruh.

Transisi energi merupakan permasalahan yang tak terpisahkan dari peran gerakan buruh. Diskusi yang telah dilakukan sejauh ini telah menggambarkan dampak substansial yang dimilikinya. Sebelumnya, kita kurang memahami bahwa transisi energi memiliki konsekuensi langsung pada kehidupan buruh, terutama para buruh perempuan yang terkena dampak polusi udara yang bersumber dari proses transisi ini. Partisipasi dalam pengambilan keputusan regulasi seringkali kurang transparan dan tidak partisipatif, yang mengabaikan risiko dan dampak negatif yang mungkin dialami oleh masyarakat yang terlibat dalam transisi ini.

Perlu diperhatikan bahwa transisi energi bukanlah proses yang datang dengan sendirinya tanpa konsekuensi. Ada ketidaksetaraan dalam kepemilikan lahan dan dominasi kekuasaan dalam masyarakat yang turut mempengaruhi proses ini. Akumulasi primitif telah berkontribusi pada dampak lingkungan yang kita hadapi saat ini. Penting untuk diingat bahwa jika transisi energi tidak diatur sesuai dengan kebutuhan negara, maka kedaulatan energi negara dapat terganggu. Sebagai contoh, permasalahan di Jakarta menunjukkan bahwa upaya pengurangan polusi yang diatur oleh pemerintah juga berdampak pada kondisi pekerja, seperti pengaturan shift dan waktu kerja yang dapat memengaruhi kehidupan buruh.

Agenda transisi energi juga telah menghasilkan perubahan dalam industri manufaktur dan pengolahan mineral yang berdampak pada buruh. Peralihan produksi kendaraan dari mesin pembakaran internal ke kendaraan listrik memberikan dampak pada efisiensi tenaga kerja, sementara dalam industri pengolahan mineral, buruh menghadapi tantangan seperti upah yang tidak sesuai dengan lembur yang dilakukan dan hubungan kerja yang tidak pasti. Kesejahteraan dan keamanan kerja yang kurang memadai juga menjadi persoalan yang perlu ditangani secara serius dalam konteks ini.

Tuntutan buruh pada agenda transisi energi yang berkeadilan

Hilirisasi energi diarahkan terutama ke sektor listrik, sedangkan sumber energi lain tidak diberikan perhatian yang sebanding. Energi fosil, yang memiliki dampak lingkungan yang signifikan, seringkali dikuasai oleh negara-negara besar yang tidak memiliki sumber daya sendiri. Petrokimia dan sektor-sektor strategis lainnya juga seringkali berada dalam genggaman kontrol yang kuat. Di tengah situasi ini, Indonesia tampaknya belum sepenuhnya mendapatkan manfaat yang layak dari eksploitasi sumber daya alamnya sendiri. Ada perasaan bahwa transisi energi seolah-olah telah diarahkan untuk kepentingan monopoli, dengan sedikit manfaat yang sampai pada masyarakat Indonesia.

Namun, sisi lain dari kisah ini adalah bahwa ada peluang yang tersedia bagi Indonesia untuk mengubah arah politiknya dalam konteks transisi energi. Politik yang memihak monopoli dapat dipertanyakan dan dilawan dengan tekad dan kedaulatan yang tepat. Ada ruang bagi Indonesia untuk menjadi lawan kapitalisme monopoli dan mempertimbangkan solusi alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan. Ini mengharuskan kita untuk menjembatani kesenjangan antara kesadaran lingkungan dan aspirasi untuk transisi yang adil dengan keterlibatan aktif serikat buruh.

Bagi Gerakan buruh, agenda transisi energi tetap menjadi kebutuhan mendesak dalam merespons krisis iklim global yang disebabkan oleh model Pembangunan ekstraktif yang telah lama dianut. Oleh karena itu, sangat penting bagi Gerakan buruh untuk menawarkan visi alternatif tentang transisi energi yang berkeadilan. Visi ini seharusnya didasarkan pada prinsip kebutuhan bersama yang berakar dalam proses partisipatif dari masyarakat, yang bertujuan untuk mengubah struktur akses, kepemilikan, produksi-distribusi, dan manfaat yang ada. Gerakan buruh perlu secara aktif terlibat dalam eksplorasi dan kajian mendalam tentang demokrasi dalam konteks transisi energi. Dengan begitu, kita dapat merancang transisi energi yang tidak hanya berkelanjutan secara lingkungan, tetapi juga adil secara sosial dan ekonomi.

Poin Tuntutan buruh dalam transisi energi

  1. Payung hukum dan sosial dari transisi energi yang adil, lestari dan sejahtera.
  2. Distribusi informasi yang utuh mengenai transisi energi
  3. Mendorong partisipasi penuh dan bermakna rakyat untuk transisi energi
  4. Peningkatan kapasitas (upskilling) untuk pekerja yang berisiko digantikan oleh mesin dan digitalisasi, jaminan untuk pekerja.
  5. Mendorong penegakan hukum dari pemerintah bagi perusahaan yang melanggar prinsip transisi energi.
  6. Memajukan politik perburuhan dan kebijakan perburuhan yang di hapus oleh UU Omnibuslaw untuk mencapai produk hukum perlindungan buruh, konsepsi upah, penguatan melalui PKB atau Saham Buruh (demokratisasi).
  7. Memperkuat jaringan internasional dan peningkatan pengetahuan bagi serikat buruh

Drafting Team:

  1. KPR – kprbpn@gmail.com
  2. KASBI – penguruspusat@kasbi.or.id
  3. FPBI – infopusat.fpbi@gmail.com
  4. Transnational Institute –  r.hertanti@tni.org
  5. Hints – SahitaInstitute@gmail.com
  6. Trend Asia – info@trendasia.org
  7. LIPS – info@lips.or.id

For English :

download here
Previous Post

Kerjasama Rantai Pasok Mineral Penting Memaksa Indonesia Inkonsisten Dengan Konstitusi

Next Post

Indonesia Di Bawah Bayang-bayang Kolonialisme Baru Uni Eropa

admin_hints

admin_hints

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute