Jakarta (06/09) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) menilai bahwa Pemerintah Indonesia abaikan kedaulatan rakyat karena tergesa-gesa menyelesaikan perundingan perjanjian berbau kolonial yaitu Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA) pada masa transisi pemerintahan. Secara garis besar, Koalisi MKE mengkritisi ketergesaan Pemerintah Indonesia menandatangani I-EU CEPA di tengah masa transisi karena nihilnya partisipasi dan transparansi kepada publik.
Terlebih, Uni Eropa akan terus konsisten dengan agenda neokolonialismenya. Koalisi MKE mengingatkan bahwa draft perjanjian dengan UE tersebut akan berdampak buruk bagi rakyat Indonesia. Misalnya adalah penguasaan suplai bahan mentah untuk diekspor ke UE dengan harga murah, kenaikan impor produk pertanian dari UE, hambatan terhadap industrialisasi lokal, ekspansi pasar jasa untuk korporasi UE, serta perluasan dan penguatan monopoli teknologi dan pengetahuan. “Perjanjian ini bau kolonial,” demikian Koalisi MKE menyimpulkan.
Agung Prakoso dari Indonesia for Global Justice (IGJ) menyoroti penyelesaian perundingan yang terburu-buru dengan target waktu sebelum masa administrasi Presiden Joko Widodo berakhir. Hal ini akan berimplikasi pada substansi perundingan. “Saat ini Indonesia sedang dalam masa transisi pemerintahan baru yang terpilih, demikian juga UE yang sedang dalam masa transisi ke Parlemen baru. Seharusnya baik Indonesia maupun Uni Eropa tidak membuat keputusan strategis seperti CEPA pada masa transisi karena akan berdampak pada pemerintahan baru. Terutama karena substansi dari perundingan.” Percepatan proses negosiasi berpotensi mengabaikan detail-detail dalam naskah negosiasi. Terlebih I-EU CEPA selama ini prosesnya sangat tertutup, tidak transparan, serta tidak melibatkan masyarakat sipil.
Di tengah krisis darurat demokrasi Indonesia, penyelesaian perundingan I-EU CEPA perlu melalui proses konsultasi yang demokratis sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.13/PUU-XVI/2018 terhadap UU Perjanjian Internasional. Salsabila Putri dari Puanifesto menyatakan bahwa “Putusan MK mengharuskan dilakukannya penilaian dan analisis dampak secara komprehensif atas sebuah perjanjian internasional yang memiliki potensi untuk menimbulkan dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU.” Selain itu, ia juga mendesak agar “Pelaksanaan Putusan MK ini harus terus dikawal dan dipastikan agar proses penilaian dampak I-EU CEPA segera dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI yang baru sebelum perundingan selesai dan ditandatangani.”
Gembar-gembor Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa Uni Eropa mempraktekan gaya kolonialisme dalam perundingannya hanya menjadi pemanis. Hal ini disebabkan kesepakatan yang dicapai oleh Pemerintah Indonesia dan EU kembali mendorong ketentuan-ketentuan yang meliberalisasi dan memprivatisasi sektor-sektor publik penting bagi kehidupan rakyat, termasuk menggadaikan kedaulatan atas sumber-sumber daya ekonomi penting atas nama investasi.
FIAN Indonesia mempertanyakan standing position kepentingan Indonesia, sebab dalam kedudukan politik ekonomi global, perjanjian I-EU CEPA dilakukan oleh dua belah pihak dengan kekuatan politik sekaligus kekuatan modal yang sangat timpang. Mufida, Peneliti FIAN Indonesia, menyampaikan, “Bahkan sejak dalam perumusan, Indonesia justru tunduk pada apa yang ‘ditawarkan’ (re: diminta) oleh Uni Eropa demi transaksi ekonomi yang tidak sebanding dengan pengerukan dan akumulasi kapital oleh Uni Eropa, tanpa lebih dahulu memperhitungkan dampak dalam Human Rights Impact Assessment. Di sisi yang sama, kehidupan rakyat Indonesia akan semakin terjajah dalam persoalan pangan, dimulai dari sektor hulu berupa privatisasi sekaligus liberalisasi benih yang dikontrol oleh korporasi serupa UPOV 1991. Hilangnya kemampuan produksi sejak dalam benih, secara paralel, mendorong kebijakan impor pangan besar-besaran atas nama memenuhi ketahanan pangan. Padahal, sejak awal, perjanjian tersebut didesain untuk mematikan kemampuan Indonesia dan mengarahkannya pada kebergantungan terhadap Uni Eropa”.
Bagi Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ, “Indonesia mengalami banyak tantangan dalam kebijakan perdagangan internasional. Melakukan liberalisasi melalui perjanjian dagang akan mengunci kebijakan karena FTA ini akan mengikat dan berimplikasi pada sektor lainnya. Karena selama ini pun pemerintah telah meliberalisasi, dan menurunkan tarif sektor barang dan jasanya.” Menurut beliau, yang menjadi tantangan bagi ekspor barang Indonesia ke Uni Eropa adalah hambatan non tarif, seperti isu sanitasi, isu lingkungan, kuota, dan hambatan teknis.
Rachmi Hertanti, Peneliti dari Transnational Institute dan anggota Koalisi MKE, menekankan bahwa “Bab energi dan raw materials dalam I-EU CEPA hanya akan menghilangkan kedaulatan energi Indonesia dengan membuka ruang privatisasi sektor energi yang akan membebankan rakyat.” Ia juga menambahkan bahwa “Kalahnya Indonesia dari Uni Eropa di WTO berpotensi memberikan celah bagi Uni Eropa untuk kembali menekan Indonesia untuk membuka ekspor mineral mentah untuk Uni Eropa, juga berdampak pada ruang kebijakan Pemerintah Indonesia atas kedaulatan sumber daya alam.”
Direktur Sahita Institute (HINTS), Olisias Gultom, menjelaskan dalam sektor perdagangan digital, I-EU CEPA akan memberikan keleluasaan bagi liberalisasi pasar melalui sektor digital terutama pada kebebasan aliran data lintas negara, penyimpanan data tanpa skema perlindungan yang jelas, hingga penghapusan pajak untuk transmisi elektronik. “Keleluasaan ini hanya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan big tech, yang selama ini telah dan akan semakin mendominasi perdagangan digital. Ini menjadi berbahaya terlebih jika mengingat bahwa UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia maupun General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa belum memadai di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat dan adaptif”.
Terkait dengan bab Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan (Trade and Sustainable Development/TSD), Tuti Suwartini mewakili FARKES Reformasi mempertanyakan “bagaimana posisi pemerintah terkait labor provisions yang ada di bab TSD mengingat Omnibus Law Cipta Kerja mengandung pasal-pasal yang melanggar ILO Labor Standard dan mendegradasi hak-hak buruh.” Ia juga menambahkan bahwa beberapa organisasi di tingkat nasional sedang menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Sementara di tingkat internasional juga sedang dilakukan upaya melalui mekanisme kebebasan berserikat (CAS mechanism) di ILC – ILO Labor Conference tahun 2023.
Terakhir, terkait dengan bab Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia AIDS Coalition (IAC), menyoroti potensi dari naskah perjanjian untuk semakin memperkuat monopoli paten oleh perusahaan farmasi. Hal ini disebabkan oleh masuknya klausul-klausul yang menetapkan standar perlindungan HKI yang lebih ketat, atau TRIPS Plus. TRIPS Plus memiliki beragam bentuk, seperti perpanjangan masa perlindungan paten, pembatasan impor paralel, serta eksklusivitas data dan pasar, yang dikhawatirkan masuk dalam naskah perjanjian. “Monopoli akan menyebabkan harga obat menjadi mahal, memperlambat masuknya obat generik, serta membatasi akses masyarakat ke obat-obatan terjangkau. Meski disampaikan bahwa bab HKI tidak dikomitmenkan dan tidak terdapat klausul TRIPS Plus dalam naskah perjanjian terakhir, kita tetap tidak boleh lengah,” ujar Ferry Norila, Koordinator Komunikasi, Kampanye, & Advokasi IAC di Jakarta, Jumat (6/9).
Sehubungan dengan berbagai permasalahan ini, Koalisi MKE yang diwakili FARKES Reformasi, FIAN Indonesia, Indonesia AIDS Coalition (IAC), Indonesia for Global Justice (IGJ), Puanifesto, dan Sahita Institute (HINTS), bersama dengan INFID telah menyampaikan secara langsung Surat Terbuka rakyat Indonesia kepada Presiden Jokowi yang menggugat Perundingan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-EU melalui Deputi VII Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) pada tanggal 19 Agustus 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) terbentuk pada 2016 terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan akar rumput yang bergerak pada isu hegemoni korporasi dan ekonomi politik global dalam konteks feminis, kesehatan, perikanan, pangan, agrikultur, digital, ketenagakerjaan, dan lingkungan.
Narahubung:
Salsabila Putri (salsabilaaziziah@proton.me)