• Call: +62
  • E-mail: sahita.institute@hints.id
Sahita Institure
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication
No Result
View All Result
Sahita Institute
No Result
View All Result

Siaran Pers Diskusi Publik Hilirisasi dan Perlindungan Buruh “Pemerintah Belum Serius Melindungi Buruh Dalam Agenda Hilirisasi”

February 4, 2025
in Energy Transtition
Home Campaign Energy Transtition
Share on FacebookShare on Twitter

Jakarta, 4 Desember 2024 – Sejumlah serikat buruh menilai agenda hilirisasi industri yang menjadi agenda prioritas pembangunan Pemerintahan Prabowo-Gibran masih kental dengan praktek eksploitasi pekerja. Jaminan terhadap perlindungan buruh belum serius dilakukan dan rendahnya upaya penegakan hukum bagi perusahaan yang melanggar pemenuhan hak-hak buruh, termasuk keselamatan buruh. 

Hal ini disampaikan pada diskusi publik bertajuk “Hilirisasi dan Perlindungan Buruh” yang berlangsung pada 4 Desember 2024 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Sahita Institute, KASBI, FPBI dan KPR. Diskusi publik turut dihadiri Wakil Menteri Ketenagakerjaan Bpk. Immanuel Ebenezer Gerungan, S.Sos sebagai keynote speaker. Turut juga dihadiri para stakeholder dari kalangan pengusaha, serikat buruh, Kementerian, NGO dan peneliti yang terkait dengan isu hilirisasi.

Hilirisasi tampak menjadi program yang diandalkan oleh Pemerintah Prabowo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan juga meningkatkan nilai tambah serta pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, Framing Paper yang disusun oleh Sahita Institute (Hints), KASBI, FPBI, dan KPR memberikan pandangan kritisnya. Apakah hilirisasi yang dikampanyekan kepada rakyat akan benar-benar terjadi secara berkeadilan sosial? lalu apakah bisa dipastikan rakyat akan menikmati hasilnya? Bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi Rezim Prabowo-Gibran menjawab ini?

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Republik Indonesia, Immanuel Ebenezer Gerungan, dalam pidato pembukaannya menekankan pentingnya penuntasan segera berbagai persoalan buruh. “Kementerian Ketenagakerjaan secara aktif akan selalu memfasilitasi dialog dengan berbagai pihak, khususnya buruh”, tegas Wamenaker. 

Direktur Sahita Institute, Olisias Gultom, menyatakan bahwa agenda hilirisasi dan transisi energi yang dijawab dengan pendekatan pasar hanya akan memperdalam daya rusak bumi dan mengorbankan banyak hal, baik bagi manusia maupun sistem kehidupan di planet bumi. Karena itu, dibutuhkan agenda pembangunan ekonomi dan industri yang dibangun melalui kedaulatan rakyat dengan membongkar struktur kekuatan kolonial dan neokolonial negara yang mendominasi tatanan ekonomi global saat ini.  

“Karenanya pembangunan hilirisasi yang dilakukan seharusnya merupakan pembangunan berbasis kedaulatan ekonomi rakyat melalui proses yang demokratis, baik dalam konteks kontrol terhadap kepemilikan, model produksi dan ekstraksi, distribusi, dan konsumsi. Hal ini mensyaratkan kehadiran negara yang benar-benar demokratis dan bersih serta seutuhnya menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan mandat kedaulatan rakyat, khususnya pasal 33 UUD RI 1945”, tegas Olisias.

Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI menyoroti “Hilirisasi industri jangan sampai menyebabkan dampak buruk bagi kaum buruh, sehingga banyak yang luka dan cacat, apalagi sampai merenggut nyawa buruh yang diakibatkan karena kelalaian perusahaan dalam hal pelaksanaan K3, fasilitas kesehatan buruk, jam kerja panjang, upah murah, tempat tinggal kumuh, beban kerja berat, intimidasi dan union busting. Sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan ketat dan tegas agar kesejahteraan buruh terjamin dan terlindungi secara maksimal. Sebab tujuan besar dari hilirisasi industri adalah untuk kemakmuran rakyat, utamanya kaum buruh, bukan investor!”

Ardiansah, Sekretaris Jenderal Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) menekankan bahwa Fakta dilapangan yang masih banyak terjadi pelanggaran ketenagakerjaan ini menunjukkan masih belum maksimalnya fungsi pengawas ketenagakerjaan. “Oleh karena itu, kami mendesak agar Hilirisasi industri harus diikuti dengan melakukan penegakan hukum dan aturan yang berlaku, maka  menjadi penting bagi pemerintah untuk  optimalisasi lembaga  pengawasan ketenagakerjaan di bawah kementerian tenaga kerja dan dinas tenaga kerja dari tingkat pusat hingga daerah untuk memastikan pengusaha mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku dan memberi sanksi tegas bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran aturan ketenagakerjaan”, tuntut Ardiansah.

Lebih lanjut dijelaskan, industri hilirisasi mineral mendorong transformasi ekonomi Indonesia yang diarahkan untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari komoditas bernilai tambah rendah menjadi industri bernilai tambah tinggi. Namun demikian, terdapat keraguan besar apakah Indonesia telah mendapatkan nilai tambah dari industri pengolahan nikel.

Sebagai penutup, Framing Paper berjudul “Transformasi Ekonomi Berkedaulatan Rakyat dari Perspektif Kelompok Buruh Indonesia” menekankan bahwa Industrialisasi atau hilirisasi yang dilakukan terhadap sumber daya alam, seperti pada pertambangan mineral bagi industri energi harus dapat menjamin terjadinya distribusi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Distribusi tersebut setidaknya perlu memperhitungkan: a. adanya pemasukan bagi negara secara optimal, yang dilakukan secara efektif dan terbebas dari praktik-praktik koruptif atau manipulatif.; b. Terpenuhinya perlindungan dan kesejahteraan yang layak bagi kaum pekerja.; c. Memberikan dampak kesejahteraan dan jaminan perlindungan kehidupan bagi masyarakat sekitar atau yang terdampak pada proses industrialisasi yang dilakukan. *****

Ringkasan Framing Paper (lebih detail bisa dibaca di link ini: https://hints.id/2024/12/transformasi-ekonomi-berkedaulatan-rakyat-dari-perspektif-gerakan-buruh-indonesia/

Agenda gerakan buruh dalam perlindungan hak-hak buruh dan rakyat dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Undang-undang Cipta Kerja dan turunannya yang merugikan kepentingan buruh dan rakyat harus dibatalkan, segera membentuk Undang-undang Perlindungan Buruh dengan cara-cara yang demokratis terpimpin oleh rakyat.
  2. Menghentikan praktek buruh murah, baik melalui sistem kerja yang fleksibel maupun  pemberian standar upah murah.
  3. Membangun mekanisme penegakan hukum yang efektif dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar hak-hak buruh. 
  4. Buruh dan rakyat bersama-sama menggugat pembangunan hilirisasi yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan serta sumber-sumber penghidupan sesuai dengan Amanat Konstitusi. 
  5. Mendorong kepastian distribusi kesejahteraan rakyat atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam melalui agenda-agenda kesejahteraan sosial yang tepat sasaran dan bertanggung jawab. 
  6. Pendidikan sebagai pemenuhan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa, harus juga ditujukan pada pemenuhan pengetahuan dan keterampilan yang terarah dan terhubung bagi pembangunan industri yang berkeadilan sosial.

Untuk memastikan hilirisasi tidak mendorong komodifikasi dan privatisasi maka perlu:

  1. Menggugat seluruh kebijakan liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor sumber daya alam, dalam rangka mempertahankan kontrol rakyat atas penguasaan sumber daya alam dan ekonomi nasional berdasarkan mandat konstitusi.
  2. Mendorong penghapusan praktik koruptif dari berbagai aspek penegakan hukum di Indonesia, khususnya di badan-badan BUMN.
  3. Menjamin terjadinya distribusi manfaat pengelolaan sumber daya alam oleh negara melalui BUMN untuk seluas-luas kemakmuran rakyat. 
  4. Memastikan proses reorganisasi dan pembiayaan BUMN dan membuka ruang partisipasi dan kontrol rakyat melalui cara-cara demokratis.
  5. Membangun model rantai produksi dan nilai industri turunan yang membuka ruang partisipasi ekonomi kolektif rakyat.

 

 

 

Narahubung Media :
Muslim Silaen – Sahita Institute (Hints), 0858 4299 0045

Organisasi yang terlibat :
Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI)
Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
Konfederasi KASBI
Sahita Institute (Hints)
Transnational Institute

Previous Post

Transformasi Ekonomi Berkedaulatan Rakyat Dari Perspektif Gerakan Buruh Indonesia

Next Post

Sahita Institute: Indonesia di Bawah Bayang-bayang Kolonialisme Baru Uni Eropa

Editorial

Editorial

Discussion about this post

Follow Us

  • Dunia sedang mengalami perubahan besar dalam konstelasi ekonomi-politik global. Ini ditandai dengan kemunduran relatif AS sebagai kekuatan imperialis utama bersama mitra strategisnya di Barat, perlambatan ekonomi kapitalis sejak krisis Keuangan Besar 2008–yang diperparah dengan pandemi covid-19, dan munculnya kekuatan-kekuatan alternatif seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang disebut sebagai ‘penguatan’ Global South dengan visi yang condong mengarah pada tatanan dunia multipolar. Tentu, terlalu dini untuk mendeklarasikan kekalahan AS dan  Barat di saat kekuatan tersebut masih memegang kendali kuat pada bidang militer dan teknologi. 

Begitu pula perang tarif yang dilancarkan oleh Donald Trump perlu dipertimbangkan sebagai tujuan imperialis AS untuk menegaskan kembali  kekuatannya. Akan tetapi, kebangkitan kekuatan Global South tidak bisa diremehkan, mengingat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mencerminkan kemampuan mereka sebagai pemain penting dalam percaturan ekonomi-politik global.

Perubahan besar memicu perdebatan tentang arah masa depan tatanan dunia. Dalam konteks ini, multipolaritas yang diaspirasikan Global South sering dipandang sebagai peluang untuk membuat tatanan global yang lebih demokratis. Inisiatif seperti BRICS+ dan OPEC+, kerjasama ekonomi Selatan-Selatan, serta diplomasi energi dan pangan menjadi sinyal dari upaya negara-negara periferi untuk membangun tatanan yang lebih setara. Namun, pertanyaan penting muncul: apakah ini benar-benar menjanjikan pembebasan, atau hanya mengganti wajah kekuasaan global yang tetap bersifat eksploitatif? Dalam praktiknya, kerja sama ini kerap tidak lepas dari kepentingan elite negara dan korporasi besar, serta belum sepenuhnya mengakar pada gerakan rakyat yang sejati.

Dalam waktu yang sama, imperialisme global juga ikut menyesuaikan dirinya. Salah satu wajah barunya adalah melalui apa yang disebut sebagai green colonialism — yakni kolonialisasi dalam bentuk menggunakan proyek-proyek transisi energi "hijau" yang dibaliknya justru memperparah perampasan tanah, penggusuran masyarakat adat, dan pencaplokan sumber daya alam oleh perusahaan.
  • Sering mendengar pepatah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara (Pemerintah Indonesia) berikan kepada Paman Sam...😁"

Negeri kita sejak dahulu terkenal dengan budaya ramah tamahnya, kali ini kembali terbukti dengan keramahannya kepada Investasi asing dalam hal ini Amerika Serikat.

Say good bye to "TKDN"
  • Upaya menghapus hambatan tarif tersebut merupakan salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Agreement on Reciprocal Trade) antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Jika ini benar-benar terjadi tentu dampak yang akan timbul bagai pil pahit yang harus ditelan oleh industri yang ada di Indonesia. Membanjirnya produk impor asal Amerika Serikat semakin membanjiri komoditas yang sudah penuh sesak dengan komoditas asal negara lain dan semakin memojokkan kondisi industri Indonesia semakin ke tepi jurang.

Apakah memang sudah waktunya mengibarkan bendera One Piece?

#onepice
  • Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19 persen untuk Indonesia. 

Gedung Putih menyebut pengelolaan data pribadi masyarakat merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengusahakan reformasi itu selama bertahun-tahun.

Masalah besar atas arus data lintas negara adalah korporasi besar bidang teknologi sangat diuntungkan dari perluasan digitalisasi ekonomi dengan mengendalikan data di dunia global. “Siapa yang mengontrol data pada dasarnya dapat mendominasi domain digital. Dan mereka menginginkan hak mutlak untuk mengontrol data yang dihasilkan dalam bisnis. Saat ini mereka juga melakukan lobi mempertahankan monopoli data” ujar Olisias Gultom. Jangan sampai kesepakatan ini menjadi kekhawatiran bersama dimulainya Kolonialisme Data yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
  • “Indonesia akan membayar tarif 19 persen kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke negara kita,” kata Trump melalui media sosialnya, Kamis (16/7). Selain soal tarif, kesepakatan yang diteken kedua negara juga mencakup sejumlah komitmen dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat. Trump mengungkapkan Indonesia akan membeli komoditas energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS. Ia juga menyatakan Indonesia telah sepakat membeli 50 unit pesawat Boeing terbaru, yang sebagian besar merupakan tipe Boeing 777.

Adapun Trump juga menyebut bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, bagi produk-produk asal Amerika Serikat yang masuk ke Indonesia.

Pentingnya kehati-hatian dalam setiap perjanjian dagang dengan negara besar seperti Amerika Serikat agar Indonesia tidak terjebak dalam pola dagang yang merugikan secara struktural, serta prinsip kemandirian dan daya saing nasional harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan perdagangan internasional yang ditempuh pemerintah. Dan semoga perjanjian dagang ini tidak mengarah kepada kolonialisme modern.
  • Transformasi ekonomi global saat ini dijalankan melalui perubahan model industri, dari berbasis fosil ke arah industri hijau. Agenda transisi energi—yang diklaim sebagai solusi krisis iklim—sesungguhnya merupakan bagian dari politik industri global yang menggunakan isu energi terbarukan dan teknologi hijau sebagai sektor strategis. 

Tujuan sesungguhnya untuk merespons krisis kapitalisme dan mempertahankan dominasi industri oleh negara-negara utama. Narasi “hijau” yang dikembangkan ini, dibelakangnya terdapat skema perdagangan, keuangan, dan investasi yang memperkuat ketimpangan ekonomi global dan memperpanjang relasi neo-kolonial antara negara utara dan negara-negara selatan.

Simposium ini dilakukan oleh Panitia Bersama (Hints, KASBI, KPR, KSN, Sempro, PWYP, Sembada dan SMI) di Indonesia dalam rangka menyambut pertemuan internasional Beyond Development Working Group. Acara yang berlangsung tanggal 1 – 3 Juli 2025 ini bertujuan untuk berdiskusi, saling tukar pendapat dan analisis organisasi terkait Kebijakan Industri di Indonesia terdampak atas Transformasi Ekonomi Hijau yang merubah geopolitik dan geoekonomi global.
  • Perang antar satu negara dengan negara lain sudah tentu yang menjadi korbannya adalah rakyat di masing-masing negara tersebut.

Perang yang terkadang memperebutkan sumber daya alam, eksistensi negaranya, memperluas teritori, bahkan hanya kepentingan segelintir elit dan konglomerat negaranya.

Stop Perang!! Saatnya bangun kerjasama dan solidaritas sesama rakyat internasional melawan Imperialisme.
  • WTO (Word Trade Organization) adalah sebuah organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk membuka perdagangan antarnegara dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Keputusan di WTO diambil melalui konsensus atau kesepakatan bersama dari seluruh negara anggota.

Amerika Serikat dahulu adalah pelopor utama lahirnya sistem perdagangan multilateral berbasis aturan melalui WTO. Namun kini, justru AS yang kerap bertindak sepihak, melemahkan institusi yang dahulu ia perjuangkan. Dari penarikan diri terhadap kewajiban multilateral hingga memblokir fungsi Badan Banding WTO, serta yang terkini melakukan kebijakan perang tarif impor dengan “sesuka hatinya” terhadap negara lain yang juga sesama negara anggota WTO.

Lalu apa fungsi dari WTO saat ini?? Mengapa tidak dibubarkan saja sekalian??

#endwto

© 2022 - Sahita Institute

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
No Result
View All Result
  • Home
  • About Us
  • Campaign
    • Trade Justice
    • Digital Justice
    • Energy Transtition
  • Collective Idea
    • Visual Movement
    • Article
  • News
  • Publication

© 2022 Sahita Institute